Selasa 11 Apr 2017 06:00 WIB

Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (V)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Kebetulan sebelum seri lanjutan ini dikirim, Dr Ahmad Muttaqin Alim dari Pusat Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah menghadiahi saya autobiografi Malala yang ditulis bersama Christina Lamb, I am Malala (New York-Boston-London: Back Bay Books, 2013). Dengan tambahan sumber autobiografi Malala ini, terpaksa kisah dalam “Resonansi” ini sedikit surut ke belakang, karena ada bagian-bagian yang menarik untuk disertakan.

Autobiografi setebal 293 halaman ini patut benar dibaca oleh rakyat Indonesia sebagai sumber ilham dan agar tidak mudah ditipu oleh kelompok-kelompok radikal yang berkedok agama. Pengalaman pahit rakyat Pakistan di Lembah Swat bisa saja berlaku di mana pun bila negara tidak awas dan tidak tegas dalam membendung arus radikalisme yang memperdagangkan agama untuk tujuan yang nista.

Pada halaman 239-240 terbaca penjelasan juru bicara Taliban Pakistan Ehsanul Ehsan mengapa Malala harus dibunuh: “Malala telah dijadikan target karena peran modelnya dalam mengkhotbahkan sekularisme .... Dia masih muda tetapi dia sedang menganjurkan budaya Barat di wilayah Pashtun. Dia pro-Barat; dia bicara anti-Taliban; dia menyebut Presiden Obama sebagai idolanya.”

Tidak banyak jumlah bocah sepanjang sejarah begitu ditakuti karena perannya yang heroik dalam membela kebenaran yang diyakininya, seperti halnya Malala, sekalipun nyawa tantangannya. Pemerintah Pakistan sebenarnya cukup menghargai perjuangan Malala bagi tegaknya perdamaian dengan bukti diberikan kepadanya Pakistan National Peace Prize tahun 2011. Tetapi pemerintah harus bersikap ekstra hati-hati karena kekuatan Taliban belum lagi lumpuh sepenuhnya.

Mulla Fazullah, dua bulan sebelum tragedi Malala itu, pernah mengancam dengan kalimat ini: “Siapa saja yang berpihak kepada pemerintah untuk melawan kami akan tewas di tangan kami.” Taliban bahkan telah menggunakan dua laki-laki lokal Swat yang bertugas mengumpulkan informasi tentang Malala dan jalan yang dilaluinya ke sekolah dan mereka mampu melakukan serangan dekat pos tentara di Swat.”(Lih Malala, hlm 240).

Dengan demikian bocah ini memang sudah sejak lama diintai untuk dihabisi. Dan itulah yang berlaku pada 9 Oktober 2012 dengan menembaki Malala dan dua temannya yang lain di atas bus pulang dari sekolah milik ayahnya yang diberi nama Kushal School itu. Atas kehendak Allah, ketiga bocah yang ditembak ini, tidak seorang pun yang tewas. Semuanya selamat. Kini ketiganya telah jadi saksi hidup betapa terorisme tega membunuh bocah yang semula diperkirakan tidak bakal terjadi. Malala sendiri sebelumnya juga berpendapat bahwa Taliban tidak mungkin membunuh anak-anak. Jika ada yang harus dibunuh, maka ayahnya Ziauddin Yousafzailah yang harus menjadi sasaran utama, bukan dirinya. Ziauddin adalah sosok intelektual yang punya jaringan luas untuk melawan segala bentuk terorisme.

Jauh sebelumnya, seorang yang menyebut dirinya mufti bernama Ghulamullah melalui seorang perempuan telah mengancam Ziauddin yang dikategorikan sebagai pendiri sekolah haram. Kita kutip: “Ziauddin sedang menjalankan sebuah sekolah haram di bangunan Anda dan membawa malu pada tetangga. Anak-anak perempuan ini harus pakai cadar.” Mufti itu kemudian mengatakan kepada perempuan tersebut: “Ambil kembali bangunan itu darinya dan saya akan menyewanya untuk kepentingan madrasah saya. Jika Anda melakukan ini Anda akan terima bayaran sekarang dan juga akan mendapatkan pahala di akhirat kelak.” (Malala, hlm 84).

Tetapi rupanya perempuan itu menolak kehendak mufti itu. Ini komentar marah dari Ziauddin terhadap sikap mufti itu: “Seorang dokter yang setengah jadi merupakan bahaya bagi kehidupan seseorang, maka ... seorang mulla yang tidak sepenuhnya terpelajar menjadi bahaya bagi iman.”(Malala, hlm 85). Tuan dan puan bisa membayangkan betapa konservatifnya sebagian kiai di Pakistan. Indonesia jauh lebih maju, padahal Negara Pakistan adalah wujud dari impian Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair yang diakui dunia dengan pemikirannya yang melampaui zaman.

Di Indonesia, apa yang dikenal dengan sebutan kutub modern dan kutub konservatif nyaris telah masuk ke museum sejarah berkat pendidikan keagamaan yang semakin terbuka bagi semua umat Islam. Ini sebuah keberuntungan yang sangat tinggi nilainya. Pakistan masih diracuni oleh orang semisal Mulla Fazullah dan Mufti Ghulamullah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement