REPUBLIKA.CO.ID, Pro-kontra terhadap Malala belum juga usai. Ada sinisme yang mengatakan bahwa Malala tak berhak menerima Hadiah Nobel itu, sebab toh banyak juga anak lain yang tertembak di Pakistan, baik oleh pasukan imperialis Barat atau oleh Taliban, mengapa dunia membisu? Masuk akal juga, tetapi yang mau berjibaku dengan mempertaruhkan nyawa, demi membela pendidikan buat anak usia sekolah, siapa yang bisa menandingi Malala? Mereka yang sinis ini semestinya jawab dahulu pertanyaan ini, baru berkomentar. Tetapi, sudahlah, bumi Muslim memang masih sarat dengan pertentangan dan saling curiga, sekalipun memeluk agama yang sama. Agama yang difahami secara salah bukan lagi mempersatukan, tetapi membuat porak-poranda.
Beberapa minggu sebelum upacara Nobel itu digelar, penulis bebas bernama Farman Nawaz telah memperkirakan nasib Malala di kampung halamannya. Dalam sebuah artikel di bawah judul “Noble [Nobel] Prize Winner’s Fate in Pakistan.” Daily Outlook (Afghanistan), 20 Okt. 2014. Ini kalimat awal Nawaz: “Hadiah Nobel yang dimenangkan Malala menunjukkan hahwa dunia percaya pada perjuangan kaum perempuan Pakistan dalam sebuah masyarakat ter-Talibankan (Talibanized society). Namun, saya khawatir bahwa Malala boleh jadi menemui nasib seperti ilmuwan Pakistan terkenal Dr Abdul Salam, yang bahkan pascamemenangkan hadiah itu tidak berdaya memenangkan hati rakyat Pakistan,” semata-mata karena dia pengikut Ahmadiyah.
Keluhan Nawaz ini diikuti kalimat selanjutnya: “Apa pun gagasan keagamaan Dr Abdul Salam, tetapi kita bahkan tidak menerimanya sebagai seorang Pakistan di sisi fakta bahwa dialah yang berperan dalam program atom Pakistan pada tingkat-tingkat awal. Setelah itu dia menghabiskan masa hidupnya di luar Pakistan. Betapapun juga dialah orang yang dapat menolong rakyat Pakistan membangun lembaga-lembaga tempat mahasiswa dapat belajar bagaimana caranya menjadi ilmuwan.” Membaca Nawaz ini, jari ini merasa lemah mengetik artikel ini, tetapi bagamanapun harus dilanjutkan. Begini benarkah sempit dan tandusnya hati sebagian Muslim? Antahlah yuang, kata orang Minang.
Masih ada lagi pendapat Nawaz, walau melelahkan perasaan pembacanya karena marah dalam kepiluan. Saya kutip yang bagian akhir saja tentang Malala berikut ini:
Perannya adalah seberkas cahaya harapan dalam kegelapan ekstremisme dan fundamentalisme. Dia telah ambil inisiatif yang dapat mendorong sebuah kesadaran tentang pendidikan dan hak-hak asasi manusia dalam masyarakat perkotaan. Missi Malala adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana kesadaran dan kemajuan dapat berkembang. Berupaya untuk menfitnah pengorbanan Malala pastilah berwatak fundamentalis. Inilah kekuatan-kekuatan serupa yang menghancurkan bangsa dengan membenarkan kaum teroris dan ekstremis. Media wajib membongkar semua kekuatan ini.
Nawaz jelas menjadi lawan kelompok penganut teologi kebenaran tunggal ini yang kini berkeliaran di beberapa bangsa Muslim. Seorang pembenci Malala bernama Abul Hasan bahkan menulis komentar ini: “A story of father who used his daughter to get money and defame Islam” (Sebuah cerita ayah yang menggunakan anak perempuannya untuk mendapatkan uang dan menistakan Islam). Hebat, kan? Banyak sekali komentar sadis semacam ini dari mereka yang umumnya pakai nama Muslim. Seorang komentator laki-laki di Indonesia bahkan pernah mengatakan bahwa pidato Malala di PBB banyak bohongnya, seakan-akan dia paham peta yang sebenarnya. Padahal, ocehan itu hanya asal bunyi.
Saya sarankan kepada para pembenci ini agar sempat membaca I Am Malala, autobiografi bocah ini. Di bab-bab awal kita diberi tahu betapa keluarga ini cukup lama bergumul dengan kemiskinan dan terbelit utang, demi pendidikan. Jika yang lahir seorang bayi perempuan, masyarakat setempat umumnya tidak bahagia. Malala merasakan benar betapa kejamnya tradisi semacam ini. Sekalipun sudah boyong ke Kota Mingora di Lembah Swat, masa kecil Malala jauh dari serbacukup, sedangkan tamu terus saja berdatangan ke tempat tinggalnya. Dalam tradisi Pashtun, tamu tidak boleh ditolak, sekalipun mengundang ketidaknyamanan.