Selasa 25 Apr 2017 06:00 WIB

Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (VII-habis)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Kontroversi tentang Malala ini demikian seru di Pakistan: sikap pro-kontra sia-sia yang menguras energi. Penilaian yang lebih bersifat teoretik diberikan oleh penulis perempuan Pakistan Afiya Sheherbano Zia pada 13 Oktober 2014 di bawah judul “Being Malala”:

Dalam pandangan dunia konservatif, juga di mata mereka yang disebut ‘kiri baru radikal’ yang hidup di jantung Emperiumnya sendiri, seorang Muslimah seharusnya pasif, jika sebaliknya dia hanya jadi semacam agen—agen asing, the “other.” Dan hanya yang pantas mendapat simpati, dukungan, dan penghargaan adalah yang jadi korban bukan yang bertahan hidup. Sebagaimana seorang wartawan yang sangat jeli mengamati begini: “Hadiah Nobel begitu keras dan buruk di kalangan mulla Pakistan, pertama seorang pengikut Ahmadiyah sekarang seorang bocah perempuan.” Sayang sekali, harga kedua jenis warga negara itu tetap saja dipertanyakan, bahkan oleh mereka yang bukan ulama konservatif (lih. https://www.opendemocracy.net/5050/afiya-shehrbano-zia/being-malala)

Dengan kata lain, khusus untuk perempuan, dunia Muslim yang selama ratusan tahun dikuasai kaum Adam, nyaris tidak ada tempat terhormat bagi kaum perempuan, sesuatu yang amat berlawanan dengan diktum Alquran dan ajaran kenabian. Bersyukurlah kita di Indonesia. Sekiranya ada warga negara Indonesia, perempuan atau pun laki-laki yang dapat hadiah Nobel, pasti akan diarak dan disanjung ke mana-mana sebagai simbol kebanggaan seluruh rakyat.

Apa kegiatan Malala sekarang? Sejauh sumber yang dapat ditelusuri sampai 17 Maret 2017 Malala baru saja merampungkan SMA-nya dan telah direrima di Universitas Oxford untuk belajar filsafat, politik dan ekonomi, di samping memenuhi undangan dari berbagai lembaga dunia. Berkat “jasa” peluru Taliban, Malala dan keluarganya sekarang telah jadi miliarder, hasil royalti autobiografinya yang laris manis. Dan harap dicatat pula bahwa pada 10 April 2017 oleh sekjen PBB yang baru Antonio Guterres Malala telah dilantik sebagai Utusan Perdamaian PBB yang termuda sepanjang sejarah badan dunia itu.

   

Seperti telah disebut sebelumnya Malala bersama Christina Lamb telah menulis otobiografinya I am Malala. Sampai bulan Agustus 2015, buku itu telah terjual sedikitnya 1.8 juta eks di seluruh dunia dengan keuntungan sekitar US$ 3 juta. Ayah-bundanya adalah juga pemegang saham pada perusahaan yang mereka dirikan, yaitu PT Salarzai.

Patut juga dicatat, melalui Yayasan Amal “Malala Fund,” bocah pejuang kemanusiaan ini telah membantu pendidikan untuk anak-anak puteri di kamp-kamp pengungsi di Yordan dan Lebanon, mendirikan lembaga informasi teknologi dan life skills (ketrampilan) untuk anak perempuan di kawasan kumuh Nairobi (Afrika), dan juga membantu pendidikan sekolah menengah di Pakistan. Menimbang semua kegiatan mulia di ranah pendidikan ini, saya gagal memahami ukuran apa yang digunakan oleh sebagian rakyat Pakistan yang memusuhi bocah ini. Sebagai seorang pengagum Benazir Bhutto, Malala sudah punya mimpi untuk terjun ke dunia politik dengan membidik kursi perdana menteri. Hanya waktulah yang bisa menjawab sampai di mana mimpi nanti ini akan berujung.

Info terakhir yang saya baca dari tulisan Christina Lamb dari Koran The Sunday Times (London): “My Year With Malala,” ternyata ibu bocah ini buta huruf dari keluarga miskin, konservatif, dan tidak bisa berbahasa Inggris, sangat kontras dengan ayahnya, seorang intelektual yang gaul. Sang ibu tidak suka menonjol, tetapi biasa beri makan orang miskin. Kerinduan mereka terhadap Lembah Swat tidak pernah pudar.

Sedikit ke belakang. Ketika Donald Trump dalam kampanyenya mengobarkan semangat anti-Muslim, pada 16 Desember 2016, Malala memberikan reaksi telak, disampaikan melalui Britain’s Channel 4: “The more you speak about Islam and against all Muslims, the more terrorists we create.” Diteruskan: “So it’s important that whatever politicians say, whatever the media say, they should be really, really careful about it. If your intention is stop terrorism, do not try to blame the whole population of Muslims for it because it cannot stop terrorism”(Semakin banyak anda mengumbar pernyataan tentang Islam dan anti-Muslim, semakin banyak teroris yang kita ciptakan…Maka menjadi demikian penting bahwa apa pun yang dikatakan politisi, apa pun yang diberitakan media, mereka wajib bersikap ekstra hati-hati tentang hal itu. Jika niat anda untuk menghentikan terorisme, jangan coba menyalahkan seluruh penduduk Muslim untuk kepentingan itu, karena cara semacam itu tidak mungkin menghentikan terorisme).

   

Inilah Malala, oase yang mengilhami mereka yang punya nalar tajam dan intuisi kemanusiaan universal!

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement