Jumat 26 May 2017 06:00 WIB

Cara Orba di Era Reformasi

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, “Karena rasa tak pernah bohong”. Begitu bunyi sebuah iklan. Ya, itu benar sekali. Kemasan boleh berganti, kata-kata boleh berubah, orangnya pun boleh berbeda. Tapi jika isinya sama maka rasanya pun akan tetap sama. Apalagi jika narasinya tak banyak berubah.

Saat ini kita dikejutkan oleh kemunculan kembali diksi “gebuk”. Ini seolah menjadi ending dari wujud yang selama ini coba dikemas dengan beragam format. Mengingatkan pada kata terakhir yang diucapkan sang samurai terakhir dalam film The Last Samuari, Moritsugu Katsumoto: ‘Sempurna”. Ya sebuah penutup narasi yang sempurna.

Gebuk adalah lema dalam Bahasa Jawa yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Selain gebuk masih ada kata seblak, pecut, kepruk, tinju, pukul, kaplok, tempeleng, kepret, keplak/geplak. Inti dari semua kata itu adalah memukul tapi cara, objek, dan alatnya yang berbeda. Gebuk adalah tingkatan yang tertinggi. Dalam Bahasa Indonesia arti gebuk cuma sederhana, yaitu memukul. Namun dalam Bahasa Jawa, makna gebug adalah memukul badan dengan benda keras atau pemukul besar.

Kata gebuk pernah digunakan Soeharto, penguasa Orde Baru. Di masa itu informasi bersifat abu-abu, sehingga orang hanya bisa menerka ke mana arah pernyataan Soeharto tersebut. Namun rangkaian kalimatnya selalu terarah pada upaya pihak-pihak tertentu yang berupaya untuk mencopot atau mengganjalnya dari jabatan presiden. Setidaknya Soeharto menyatakan hal itu tiga kali, pada 1984, 1989, dan 1997.

Kini Jokowi mengeluarkan kosa kata itu dari laci yang lapuk, yang sudah dibuang dari peradaban politik Indonesia. Kali ini Jokowi mengarah pada dua hal. Pertama, ia jelas menyebut PKI. Ini karena komunisme dan PKI adalah ideologi dan partai terlarang sesuai Tap MPR. Kedua, ia menyebut organisasi yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan hukum. Ihwal kedua ini sudah diumumkan Menko Polhukam. Sasarannya adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Jadi ini soal komunis dan Islam. Di masa Orde Baru dikenal sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan (eki-eka).

Sebelum ditutup sempurna dengan kata gebuk, sudah ada pendahuluan. Sejumlah aktivis dan ulama ditangkap dan diperiksa dengan tuduhan makar dan perkara pidana lainnya. Ada lima gelombang penangkapan dan proses hukum. Pertama, penangkapan sejumlah aktivis sesudah 411. Kedua, penangkapan delapan aktivis sebelum 212. Ketiga, kriminalisasi tokoh GNPF seperti Bachtiar Nasir dan Adnin Armas. Keempat, penangkapan M Alkhaththat dan empat temannya sebelum 313. Kelima, upaya proses hukum terhadap Habib Rizieq Syihab. Sebagian dibebaskan lagi, sebagian lagi masih mendekam di tahanan. Rizieq sendiri masih menghindar dengan bertahan di luar negeri. Aroma hukum menjadi alat politik menjadi sangat kuat menyengat. Selain itu juga terjadi tekanan terhadap sebuah stasiun televisi dan bisnis pemiliknya, kendatipun kemudian bisnis itu dikembalikan lagi setelah ada perubahan sikap di sebuah stasiun televisi tersebut.

Matra terakhir adalah politik narasi alias politik stigmatisasi oleh kekuasaan. Ada produksi, propaganda, repetisi, bahkan represi terhadap pihak-pihak yang menjadi lawan penguasa dan kekuatan modal. Tema yang dimunculkan adalah anti Pancasila, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika, dan anti UUD 1945. Kritisisme dan koreksi dinisbahkan sebagai anti semua itu. Alat-alat negara menjadi perangkatnya. Media dan kelas menengah yang diharapkan menjadi penyeimbang kekuasaan dan kekuatan kapital justru menjadi subordinat dan sudah terkooptasi. Tentu saja ini anomali dalam terminologi politik modern yang menjadikan kekuasaan dan kapital sebagai objek kritisisme. Untuk itu perlu basis argumen untuk menjadi landasan pembenaran anomali tersebut. Di situlah muncul agama dengan perangkat intoleransi dan radikalismenya. Dalam sejarah politik Barat, agama memang menjadi musuh kemajuan yang harus ditendang dari politik. Karena itu harus ada sekularisasi.

Pertanyaan terhadap politik narasi dan stigmatisasi ini adalah, betulkah Indonesia menghadapi persoalan dan ancaman ideologis semacam itu? Pekan lalu, Lingkaran Survei Indonesia mengeluarkan hasil risetnya terhadap masalah-masalah tersebut. Pada pekan berikutnya, Kompas mengeluarkan hasil risetnya terhadap persoalan yang sama.

Survei LSI menemukan bahwa 74 persen publik Indonesia menghendaki demokrasi Pancasila. Sedangkan 8,7 persen menghendaki negara Islam. Sekitar 2,3 persen ingin demokrasi liberal. Adapun 15,09 persen tidak menjawab. Dari sini terlihat bahwa Islam bukanlah ancaman. Memang ada 8,7 persen, tapi ini tak signifikan jika dikaitkan dengan ancaman perubahan ideologi negara. Apalagi tidak ada satu partai pun yang memperjuangkan hal itu. Sejarah juga membuktikan setiap upaya ke arah itu tak pernah berhasil. Saat ini tak ada lagi suara seperti itu di parlemen. Yang tersisa adalah di level masyarakat. Di setiap masyarakat selalu ada yang berada di ujung ekstrem. Sebagaimana kehendak untuk membangun sistem liberal ala Barat. Kesimpulan ini, searah dengan tulisan saya yang berjudul Ortodoksi Agama vs Fundamentalisasi Liberalis pada edisi 27 Januari 2017.

Secara lebih detil survei Kompas makin menguatkan survei LSI. Dalam survei itu, 95,5 persen publik masih yakin dengan modal sosial bagi kebangkitan bangsa. Hanya 4,5 persen yang tidak yakin. Sebaliknya, terhadap kemandirian negara di bidang politik, ekonomi, dan budaya, ternyata 51 persen menyatakan belum bangkit, 47,9 persen menilai sudah bangkit, dan 1,1 persen mengatakan tidak tahu/tidak menjawab. Terhadap pertanyaan “Bagaimana hubungan sosial di lingkungan Anda terkait perbedaan pilihan politik dan identitas agama?” Ada tiga lingkungan yang ditanyakan: keluarga/persaudaraan, bertetangga/bermasyarakat, dan di tempat kerja/lainnya. Ternyata untuk yang menjawab bahwa kondisinya tetap di setiap lingkungan itu adalah 68,9 persen, 64 persen, dan 64,8 persen. Sedangkan yang justru membaik untuk masing-masing situasi itu adalah 16,7 persen, 20,8 persen, 22,4 persen. Hanya sedikit yang menyatakan memburuk yaitu masing-masing 14 persen, 15 persen, dan 10,8 persen. Sisanya tak tahu/tak menjawab.

Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi situasi yang buruk itu? Jawabannya adalah penegakan hukum, berdamai di kalangan elite, sosialisasi untuk merajut kembali, menggalakkan kembali gotong royong/kerja bakti/ronda, dan sebagainya. Semuanya adalah tata nilai yang beradab.

Karena itu, glorifikasi ancaman terhadap NKRI/Pancasila/UUD 1945/Kebinekaan oleh ideologi Islam hanyalah upaya politis dari politik narasi dalam memperebutkan ruang publik. Dalam batas tertentu justru dalam taraf bahaya karena sudah membenturkan masyarakat, bahkan membenturkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Presiden Jokowi. Jika menilik akar genealogis sebagian pihak yang meneriakkan ancaman politik Islam justru dari pihak-pihak yang menyuarakan sistem liberal ala Barat. Karena itu ada tokoh yang sempat terjebak pada upaya meminggirkan sila pertama Pancasila. Ini suatu langkah ahistoris, inkonstitusional, dan jauh dari konsep keindonesiaan.

Apa yang terjadi saat ini sebetulnya hanya kompetisi politik belaka. Namun pembelahannya seolah-olah simetris, yang tentu saja terlalu menyederhanakan masalah. Dunia tak lagi bipolar, tapi multipolar. Sejak awal memang ada kesalahan dalam membaca peta demografi sosial yang sudah berubah. Salah baca menimbulkan salah arah. Namun yang paling parah adalah salah teknik yang berakibat kerusakan yang parah. Kita tentu masih ingat bagaimana Soeharto dulu salah baca terhadap kemunculan Megawati ketika terpilih sebagai ketua umum PDIP. Dia pikir itu hanya migrasi kekuatan politik di sekitar dirinya yang beralih ke sekitar Megawati. Padahal ada faktor hadirnya generasi baru anak-anak marhaen yang disokong orang-orang yang migrasi. Soeharto pun tumbang. Kini, sejarah berulang. Kini orang-orang itu justru ada di puncak kekuasaan, yang sedang meneropong dengan lensa Orde Baru di era reformasi. Itu bukan hanya mengulangi kesalahan Soeharto, tapi juga perangkat dan sistem yang ada sudah berubah. Pembubaran organisasi, pemidanaan, dan pengerahan organ pemerintahan sudah dalam bingkai sistem yang sangat beradab. Basis yuridis Indonesia sudah mengikuti perangkat negara demokrasi modern. Hanya kekerasan, kriminalitas, dan angkat senjata yang bisa diberangus.

Kekuasaan memang membutakan. Semua yang berbeda dikira musuh. Semua yang memuji dikira kawan. Tak sesederhana itu, kawan. Rasa Orba begitu sengit di lidah. Dan, akal sehat tak pernah bohong.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement