Sabtu 27 May 2017 06:00 WIB

Ramadhan Indonesia

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu yang sangat saya syukuri sebagai penulis, adalah kesempatan yang Allah berikan untuk melakukan perjalanan. Merasa beruntung sempat mencicipi suasana puasa di berbagai negara. Dari beberapa pengalaman, bisa dikatakan muslim Indonesia termasuk yang paling banyak mendapatkan kemudahan di bulan Ramadhan.

Ketika melalui bulan suci di Swiss, saya merindukan suara adzan dari Masjid, tak hanya dari aplikasi di ponsel. Nyaris tidak sekali pun saya mendengarnya di negeri asal Palang Merah tersebut. Kondisi serupa terjadi hampir di semua negara di Eropa, juga Amerika Utara.

Sedangkan di Indonesia, adzan berkumandang lima kali sehari, bahkan televisi ikut menggemakannya. Sewaktu sahur, anak-anak berkeliling memeriahkan suasana, terasa Ramadhan sebagai bulan yang dirayakan karena kemuliaannya.

Ketika menjalani ibadah puasa di Belanda saat musim panas, begitu terasa beratnya menahan dahaga di kurun waktu yang sangat panjang. Subuh jatuh sekitar pukul tiga pagi dan adzan maghrib hadir sekitar jam sepuluh malam, total sekitar sembilan belas jam saudara seiman di sana berpuasa.

Di Rusia, juga negara Skandinavia, lamanya berpuasa per hari kurang lebih dua puluh jam. Di Jerman, Perancis, Belgia, dan negara Eropa Barat lain, menahan lapar dan dahaga selama delapan belas jam adalah hal biasa.

Sebenarnya masih ada rentang waktu yang lebih panjang, seperti yang dijalani umat Islam di kota Reykjavik, Islandia, saat masuk bulan Ramadhan. Mereka saum selama dua puluh dua jam. Penduduk muslim di negara yang terletak di kawasan kutub utara tersebut hanya memiliki waktu sekitar dua jam untuk buka puasa, shalat tarawih, dan sahur.

Selain lebih lama, tidak ada kekhususan bagi mereka yang berpuasa. Jadwal sekolah dan kantor berjalan seperti biasa, tanpa libur di awal Ramadhan. Tidak disediakan pula waktu khusus untuk ibadah. Di sekitar mereka, sepanjang hari masyarakat makan, minum, bahkan berpesta tak ubahnya hari-hari lain.

Bercermin pada kenyataan di atas, rasanya jadi malu sendiri sebagai muslim yang tinggal di Indonesia, bila masih merasa berat berpuasa. Padahal hanya menahan lapar selama kisaran empat belas jam, sejak subuh hingga maghrib. Bahkan godaan selama bulan puasa di Indonesia terbilang sedikit. Umumnya restoran di tanah air menutup jendela atau membuat semacam penghalang, dan aktivitas makan di keramaian terasa kurang pantas.

Mencari menu berbuka di negeri muslim minoritas merupakan tantangan lain. Biasanya kalangan muslim berbuka hanya dengan menu yang lazim dan mudah ditemukan di wilayah setempat. Di Jepang banyak yang berbuka dengan Dorayaki, di Amerika dengan hamburger atau hotdog. Tidak ada sajian khusus saat masuk waktu Maghrib.

Sedangkan Muslim Indonesia bisa menemukan bermacam sajian khas. Kurma yang tumbuh di negara Timur Tengah dihadirkan nyaris di seluruh pelosok negeri. Berbagai makanan manis dengan mudah ditemukan di sudut-sudut jalan, kolak, pacar cina, manisan, belum lagi cemilan lain.

Dengan begitu banyak kemudahan selama Ramadhan, masyarakat Muslim di Indonesia harus lebih mensyukuri dengan menunjukkan produktivitas ibadah.

Mengkhatamkan Quran tentu bukan hal sulit dalam suasana Ramadhan yang tenang di Indonesia. Jika satu bulan umumnya terdiri dari 30 hari maka setiap hari selesaikan minimal satu juz. Agar tidak memberatkan bacalah dua sampai empat lembar setiap selesai sholat lima waktu. Akan tetapi, ada kemungkinan Ramadhan tahun ini terdiri dari 29 hari, maka bisa dipilih satu hari khusus untuk merampungkan dua juz.

Produktivitas lain bisa dilakukan dengan menambah rutinitas sedekah. Memberi makanan berbuka bagi mereka yang berpuasa juga merupakan keuntungan besar yang tidak mudah dilakukan di negara muslim minoritas.

Menyumbang ke panti asuhan selama Ramadhan boleh menjadi pilihan yang lebih baik daripada memberi uang ke pengemis, yang secara profesional dikoordinir untuk menggalang pendapatan selama bulan Ramadhan.

Berhemat dan merasakan empati terhadap yang tak berpunya juga merupakan salah satu hikmah Ramadhan. Hingga tidak sebaliknya, sering di kala Ramadhan justru disalahartikan menjadi budaya konsumtif, karena di bulan yang mana makan besar hanya dua kali saat sahur dan berbuka, pengeluaran malah melonjak.

Ahlan wa sahlan ya Ramadhan.

Selamat menyambut bulan suci yang selalu dirindukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement