REPUBLIKA.CO.ID, Inilah negeri paradoks. Atau lebih tepatnya, sering menimbulkan kontroversi. Pro dan kontra. Qatar nama negeri itu. Negeri ini kecil saja. Luasnya kurang dari 12 ribu km2. Bandingkan dengan Jakarta yang 661,52 km2.
Ia merupakan negara semenanjung di Jazirah Arab. Posisinya dikepung Arab Saudi di selatan dan Teluk Parsia di tiga sisi sisanya. Penduduknya sedikit. Pada 2017, menurut Otoritas Statistik Qatar, total populasi negara ini mencapai 2,6 juta jiwa. Itu pun yang berkewargawegaraan Qatar hanya 313 ribu orang (12 persen). Sisanya, atau 2,3 juta, adalah ekspatriat alias pekerja asing dari berbagai negara. Termasuk sekitar 40 ribuan orang dari Indonesia.
Meskipun kecil, jangan tanya kekayaan mereka. Versi World Bank, Qatar merupakan negara terkaya ketiga di dunia setelah Luksemburg dan Norwegia. Pada 2016, pendapatan per kapita Qatar mencapai 93.714,1 dolar atau sekisaran Rp1.218.283.300,00 (dengan nilai tukar Rp 14 ribu per dolar). Bandingkan dengan pendapatan per kapita negara-negara tetangganya — Arab Saudi 24.116 dolar, Uni Emirat 39.058 dolar, Kuwait 51.497 dolar, Oman 23.133 dolar, dan Bahrain 22.467 dolar. Sementara itu pendapatan per kapita Indonesia hanya 3.605 dolar (Rp50.470 ribu).
Lalu di mana letak paradoksnya Qatar? Mari kita simak fakta berikut. Qatar, di satu sisi terbuka terhadap Barat atau asing. Namun, di sisi lain, mereka sering dituduh membantu kelompok-kelompok radikal.
Lihatlah, negara ini — lewat Qatar Foundation — setiap tahun menggelontorkan dana jutaan dolar untuk mensponsori klub sepak bola Barcelona. Iklan-iklan Qatar Airways juga membanjiri sejumlah stadion klub-klub elite di Eropa. Keluarga penguasa Qatar – melalui The Qatar Investment Authority -- pun menjadi pemilik dua klub sepakbola di Eropa, Paris Saint Germain (PSG) dan Malaga FC (Spanyol). Dan, untuk pertama kalinya di kawasan Timur Tengah, Qatar terpilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia 2022.
Di dalam negeri, Qatar pun tidak menolak kehadiran asing. Mal-mal, restoran, dan butik-butik bertaraf internasional kini mengepung negara kecil ini. Juga 2 juta lebih ekspatriat yang mencari penghidupan di sini.
Pangkalan militer AS pun berada di Qatar. Al Udeid Base Camp namanya. Pangkalan udara yang dihuni sekitar 8 ribu personel militer AS ini merupakan yang terbesar di Timur Tengah. Dari sinilah pesawat-pesawat militer AS menyerang kelompok-kelompok teroris di Irak dan Suriah.
Akan tetapi — dan ini yang menjadi kontradiksi —, pada waktu bersamaan Qatar juga ‘memelihara’ ulama sekaliber Sheikh Dr Yusuf Qardhawi. Yang terakhir ini bukan hanya ketua Persatuan Ulama Dunia, namun juga ulama kritis dan tokoh Ikhwanul Muslimin yang unwanted di banyak negara Arab.
Selama bertahun-tahun tinggal di Doha, Sheikh Qardhawi bebas berbicara dan berfatwa. Termasuk mengharamkan membeli produk-poduk AS dan Israel. Ia juga berfatwa memperbolehkan rakyat Arab menentang penguasa lalim. Tentang demonstrasi, ia mengatakan, adalah hak rakyat selama disampaikan secara baik.
Berbagai pernyataan keras Qardhawi itu tentu sering membuat marah para penguasa Arab. Namun, Qatar hanya menjawab enteng, pernyataan Qardhawi adalah urusan pribadi. Kebijakan luar negeri Qatar hanya lewat saluran resmi negara.
Bukan hanya Qardhawi, stasion televisi Aljazeera yang bermarkas di Doha juga kerap membuat merah kuping para pemimpin Arab. Berita-berita Aljazeera dinilai seringkali mengritik penguasa Arab. Bahkan Aljazeera kerap dituduh sengaja melindungi kelompok-kelompok unwanted di banyak negara Arab. Penguasa Qatar sebagai pemilik Aljazeera menegaskan, kebijakan pemberitaan adalah independensi redaksi yang harus bersikap netral dan profesional.
Yang juga berbeda mengenai Qatar adalah sang penguasa negeri kecil itu sendiri, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani. Sheikh Tamim, 37 tahun, kini merupakan emir atau amir — sebutan penguasa Qatar — termuda di kalangan penguasa Teluk: Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman, dan Bahrain.
Sheikh Tamim ditunjuk menjadi Emir Qatar oleh ayahnya, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, tiga tahun lalu. Waktu itu usianya baru 34 tahun. Suksesi damai pada 2013 waktu itu pun menimbulkan kontroversi. Pasalnya, alih kekuasaan tersebut di luar kelaziman negara-negara Arab monarki — sistem kekuasaan yang didasarkan kepada keturunan. Kelazimannya, alih kekuasaan terjadi apabila sang raja atau emir meninggal dunia. Ia kemudian digantikan oleh keturunannya, bisa anak atau saudara laki-laki.
Ketika Sheikh Hamad menyerahkan kekuasaannya, ia 65 tahun, usia yang belum terlalu tua. Bandingkan dengan Raja Salman bin Abdul Aziz yang 82 tahun. Sheikh Hamad sedang pada puncak kejayaannya setelah bersinggasana selama 18 tahun. Dialah yang meletakkan dasar-dasar pembangunan hingga Qatar maju seperti sekarang. Ia kini pun cukup senang disebut sebagai ‘shobibu as sumuwi al amir al walid’ alias ‘yang mulia orang tua sang amir’.
Ketika masih bersinggasana, Sheikh Hamad juga sering didampingi isterinya, Sheikha Muzah binti Nasir al Misnad, dalam berbagai kunjungan kenegaraan di luar negeri. Termasuk ketika bekunjung ke Indonesia pada 2009. Sheikha Muzah juga aktif berkegiatan sosial dan tampil di muka umum memberi sambutan di berbagai acara di dalam maupun luar negeri. Hal ini tentu di luar kelaziman para penguasa Teluk lainnya, yang tidak menyertakan istri atau anak perempuan tampil di depan umum.
Setelah alih kekuasaan tiga tahun lalu, kebijakan Qatar ternyata tidak banyak berubah. Di tangan Sheikh Tamim sekarang ini, Qatar justru membantu dan melindungi kelompok-kelompok yang disebutnya sebagai teraniaya. Antara lain Ikhwanul Muslimin dan Hamas. Bahkan Qatar berpandangan Hamas merupakan perwakilan sah bangsa Palestina. Juga Hizbullah di Lebanon yang dianggap sebagai kelompok perlawanan terhadap Israel. Qatar pun menjalin hubungan baik dengan Iran yang disebutnya sebagai negara besar dan ikut menentukan stabilitas kawasan Timur Tengah.
Perbedaan kebijakan itulah yang kini membuat murka negara-negara Teluk dan Mesir. Mereka menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris. Pun Hamas, setelah sebelumnya juga dicap oleh Israel dan AS sebagai teroris. Begitu pula Hizbullah di Lebanon. Sedangkan Iran mereka pandang sebagai yang mendukung teroris dan ingin menebar pengaruh Syiah di Timur Tengah. Bahkan Saudi telah lama memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Kini dunia pun terbelah. Ada yang mengikuti jejak Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, seperti Yaman, Maladewa, serta Libia. Ada yang membela pemutusan hubungan itu, antara lain Israel, AS, dan Yordania. Sebaliknya, ada yang mendukung sikap Qatar, antara lain Turki dan Aljazair. Bahkan Turki langsung menempatkan pasukan militernya di Qatar sebagai bentuk kerja sama. Sementara ada pula yang menyerukan dialog sebagai kunci solusi, antara lain Indonesia, Cina, Rusia, dan sebagian besar negara-negara Eropa.
Kita belum tahu bagaimana akhir dari drama pengucilan Qatar ini. Yang jelas, apa yang saya khawatirkan -- pada tulisan sebelumnya -- tentang campur tangan asing kini terjadi. Kawasan Timur Tengah yang sudah memanas pun semakin panas. Harus ada pihak-pihak yang menjadi penengah. Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif bisa berperan memadamkan api di kawasan yang penuh gas dan minyak ini.