Senin 17 Jul 2017 06:00 WIB

Aljazeera Unwanted!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Jaringan Televisi Aljazeera harus ditutup alias unwanted. Inilah salah satu dari 13 tuntutan empat negara Arab — Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir — untuk dapat menormalisasi kembali hubungan dengan Qatar. Banyak pihak terkejut. Terutama mereka yang menjunjung tinggi kebebasan pers. Apalagi tuntutan ini belum ada preseden sebelumnya, di mana konflik antarnegara mempersoalkan sebuah media.

Lalu apa hebatnya Aljazeera? Mengapa media berbasis di Doha, Qatar, ini unwanted alias tak dikehendaki? Dianggap membahayakan keamanan dalam negeri empat negara yang kini mengucilkan negara kecil di semenanjung Jazirah Arab itu? Apakah benar Aljazeera yang dimiliki keluarga penguasa Qatar ini hanyalah alat propaganda?

Aljazeera artinya pulau atau jazirah. Tidak ada penjelasan resmi mengapa jaringan televisi itu dinamai Aljazeera. Mungkin Aljazeera diharapkan bisa ‘mendunia’ seperti Qatar, sebuah negara kecil yang telah ditunjuk FIFA sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia 2022, yang merupakan  pertama di kawasan Timur Tengah.

Harapan itu kini, setelah 21 tahun mengudara, tampaknya telah terwujud. Jumlah pemirsa tetap Aljazeera sudah lebih dari 60 juta orang, mengalahkan CNN dan BBC. Ini pun baru saluran berita utama Televisi Aljazeera Bahasa Arab, belum yang berbahasa Inggris serta beberapa saluran TV khusus lainnya, seperti Aljazeera Sport, Aljazeera Live, Aljazeera Children’s Channel, dan lainnya. Juga belum termasuk pengunjung situs web berita berbahasa Arab dan Inggris.

Aljazeera mulai siaran pada 1996. Kelahirannya tidak terlepas dari keprihatinan bahwa sejumlah media besar pada saat itu dimonopoli pihak Barat. ‘Barat’ yang dimaksud tentu bukan sekadar pemilik, tapi juga cara pandang, nilai (velue of life), dan juga kepentingan. Bisa soal HAM, gaya hidup (life style), demokrasi, agama, politik, sosial-budaya, dan seterusnya, yang tidak jarang justru bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan bangsa Arab dan umat Islam.

Kendati dibiayai penguasa Qatar — dengan modal awal 150 juta dolar —, Aljazeera mengklaim sebagai independen. Keredaksiannya sangat mandiri. Mereka mengibarkan tagline atau slogan ‘ar rakyu wa ar rakyu al akhoru’  alias ‘pendapat dan pendapat lain’.

Tagline ini disebut Aljazeera sebagai ‘kebebasan media, pertukaran informasi, dan sumber pengetahuan yang beraneka ragam’ bagi masyarakat. Tagline yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai program. Antara lain ‘maa warak-u al khabar (behind the news), al ittijahu al mu’akish (arah berlawanan), aktsar min rukyatin (lebih dari satu pendapat), dan as syari’atu wa al hayatu (syariah dan kehidupan)’.

Program-program siaran Aljazeera yang demikian merupakan hal baru dan segera menarik perhatian para pemirsa, utamanya masyarakat Arab. Sebelumnya, mereka terbiasa dengan berita-berita satu sumber atau sumber berita satu arah. Aljazeera juga semakin membetot perhatian pemirsa  manakala mereka selalu menyelenggarakan siaran langsung dari setiap peristiwa atau kejadian.

Namun, siaran ala ‘jurnalisme Aljazeera’ ini ternyata sering membuat gerah para penguasa Arab. Mereka tidak terbiasa dengan kritik terbuka. Apalagi disampaikan lewat layar kaca yang bisa disaksikan langsung oleh masyarakat. Di kalangan masyarakat Arab, terutama di negara-negara Teluk, kritik atau tepatnya masukan dan pengaduan kepada para pemimpin biasanya disampaikan di ruang tertutup. 

Tidak mengherankan bila kemudian Aljazeera sering membuat marah sejumlah pemimpin Timur Tengah. Para pemimpin Teluk menuduh Aljazeera telah menebarkan fitnah dan hasutan serta memalsukan kebenaran. Pada  2002, para menteri penerangan Teluk merekomendasikan untuk memboikot saluran TV Aljazeera bila mereka terus memperburuk citra negara-negara mereka. Ancaman yang sama juga beberapa kali disampaikan setelah itu.

Pada tahun yang sama, Yordania menutup kantor Aljazeera di Amman. Mereka memprotes Program ‘al Ittijah al Mu’akish’ karena dianggap telah merendahkan almarhum Raja Husein bin Talal.  Dengan alasan serupa, kantor Aljazeera pernah ditutup di Iran pada 2005, di Irak dan Mauritania pada 2004.

Ketika terjadi gelombang unjuk rasa rakyat melawan para pemimpin diktator-otoriter di sejumlah negara Arab sejak awal 2011, Aljazeera merupakan televisi pertama dan utama yang menyiarkan peristiwa tersebut, dari menit ke menit selama 24 jam. Aljazeera telah berhasil membawa peristiwa — yang dikenal dengan al Rabi’ al ‘Araby alias Musim Semi Arab — yang telah menumbangkan sejumlah pemimpin Arab itu ke rumah-rumah warga.

Begitu pula ketika terjadi demonstrasi besar-besaran dua kelompok penentang dan pembela kekuasaan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan berakhir dengan pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Mesir. Aljazeera menyiarkan secara langsung menit per menit selama 24 jam peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Presiden Muhammad Mursi itu. Bahkan mereka juga mewawancarai pihak-pihak yang menolak pengambilalihan kekuasaan oleh militer itu, terutama para pemimpin Ikhwanul Muslimin.

Tak pelak, siaran Aljazeera itu telah membuat gerah para penguasa Mesir. Apalagi Aljazeera juga terus menerus mewancarai tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan Hamas ketika Mesir — dan kemudian diikuti oleh sejumlah negara Teluk — melarang dan bahkan menganggap dua kelompok itu sebagai organisasi teroris.

Bukan hanya di  Timur Tengah, di negara-negara demokrasi yang memberi kebebasan kepada media pun Aljazeera mengalami berbagai tekanan. Mereka sangat gerah dengan ‘ar rakyu al akharu’ alias ‘pendapat lain’ Aljazeera yang menyiarkan sesuatu ‘rahasia atau yang sengaja ditutupi’ oleh media Barat.

Lihatlah AS dan Zionis Israel telah lama mengincar Aljazeera karena menyiarkan secara langsung berbagai pelanggaran kemanusiaan yang mereka lakukan di Afghanistan, Irak, Palestina, dan di tempat-tempat lain. Bahkan Aljazeera merupakan satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan rekaman pernyataan Usamah bin Ladin dan pemimpin Alqaida lainnya ketika terjadi serangan 11 September 2001.

Mengutip dari Aljazeera.net, pada 2004 Presiden George Bush pernah merencanakan untuk menghancurkan kantor pusat Aljazeera di Doha. Hanya saja ketika hal itu disampaikan kepada PM Inggris Tony Blair, sekutunya itu melarangnya dan menganggap sebagai tindakan gegabah dan bahaya.

Sementara itu, Israel ternyata juga telah lama mengincar Aljazeera. Bak mendapatkan durian jatuh, mereka sangat senang dengan tuntutan penutupan Aljazeera oleh empat negara Arab —Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir. Menteri Pertahanan Israel, Avigdor Lieberman, menyebut Aljazeera bukan media yang menyampaikan kebenaran, namun saluran propaganda. Ia mengatakan, Aljazeera hampir setiap hari menyiarkan ha-hal buruk tentang Israel dan Mesir, tapi tidak dengan Iran.

Kini akibat dari sikap pemberitaan Aljazeera, banyak wartawan, fotografer, dan stafnya yang menjadi korban. Sudah belasan yang terbunuh, sejumlah mereka diculik, dipenjara, dianiaya, dan mengalami tekanan lainnya.

Kendati begitu, Aljazeera juga tidak sepi kritik dari pihak-pihak yang dinilai netral. Antara lain, Aljazeera sering dianggap sebagai kepanjangan-tangan dari kebijakan luar negeri Qatar. Mereka tidak pernah meberitakan hal-hal negatif mengenai negara kecil nan kaya itu.

Memang, untuk menjadi media yang objektif dan terpandang tidaklah mudah. Harapan Aljazeera untuk menjadi jazirah kebebasan di tengah bahtera kekacauan masihlah jauh. Syarat utama adalah berani mengkritik ke dalam dan ke luar, agar tidak dianggap sekadar alat propaganda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement