REPUBLIKA.CO.ID, Para Presiden Amerika Serikat (AS) datang dan pergi. Selama bersinggasana di Gedung Putih, mereka pasti bermimpi bisa tercatat dalam sejarah dengan tinta emas. Dan, catatan tinta emas itu dapat ditorehkan lewat gerbang Timur Tengah. Tepatnya bisa mendamaikan konflik berkepanjangan Palestina-Israel. Di antara mereka -- para Presiden AS -- itu ada yang berhasil memberikan sebagian solusi, kendati semua mereka pada akhirnya pun gagal total.
Begitu jugalah mimpi Presiden AS Donald Trump ketika dilantik menjadi Presiden AS pada Januari lalu. Ia menyatakan keinginan kuatnya untuk dapat mendamaikan konflik Palestina-Israel. Selama kampanye dan setelah menjabat sebagai presiden, ia beberapa kali menegaskan keinginannya untuk mewujudkan apa yang tidak bisa dicapai oleh para pendahulunya. Ia menyebutnya sebagai ‘Kesepakatan Abad’ ini, bila itu terjadi.
Menurut pengamat Timur Tengah Nabel ‘Amru, untuk merealisasikan ambisi Trump itu tentu tidak mudah. Tantangan yang paling besar justru datang dari para pemimpin Zionis Israel sendiri, yang selama ini menjadi sekutu AS. Sebaliknya, Trump malah mendapat dukungan dari sejumlah negara di Timur Tengah. Terutama dari negara-negara Arab moderat yang selama ini mempunyai pengaruh besar dalam perpolitikan di kawasan. Mereka bukan hanya mendukung kebijakan AS, tapi juga bersedia terlibat untuk menciptakan perdamaian dua negara yang berseteru, Palestina dan Israel.
Sikap serupa pun ditunjukkan oleh pihak Palestina sendiri. Mereka bukan hanya menyambut baik, namun juga antusias terhadap prakarsa perjanjian damai yang akan ditawarkan Presiden Trump. Selama ini mereka telah kecewa dengan presiden-presiden AS sebelumnya, termasuk mantan Presiden Barack Obama. Yang terakhir ini dinilai tak berbuat apa-apa untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, utamanya yang menyangkut konflik Palestina-Israel.
Optimisme terhadap rencana prakarsa damai AS itu juga diperlihatkan utusan Presiden Trump untuk Timur Tengah Jason Greenblatt. Seperti dikabarkan media al Sharq al Awsat, Greenblatt tampak tersenyum penuh optimistis saat menghadiri seremoni penandatanganan kerja sama pengadaan air bersih antara Israel dan Palestina di Jerusalem dua pekan lalu. Ia menyebut kerja sama itu sebagai ‘langkah maju’ hubungan Palestina-Israel. Kerja sama ini bisa tercipta atas inisiatif Greenblatt, terutama yang terkait harga dan kuantitas air yang akan dikirim Israel ke Palestina.
Berdasarkan kerja sama itu, Israel akan memasok 32 juta kubik air bersih per tahun untuk warga Palestina. Sebanyak 22 juta kubik akan dipasok ke Tepi Barat, sisanya untuk warga di Jalur Gaza. Kesepakatan ini adalah bagian dari proyek pengadaan air bersih yang bersumber dari Laut Merah dan Laut Mati selama lima tahun ke depan. Kerja sama ini diharapkan bisa mengatasi masalah kekurangan air bersih di Palestina, termasuk Jalur Gaza di mana 95 persen air di wilayah itu tak layak dikonsumsi.
Kendati semua pihak sepakat kerja sama mengenai air ini bukan solusi politik dan keamanan terhadap konflik Palestina-Israel, namun hal itu dipandang sebagai suasana yang akan mencairkan hubungan baik dua negara. Kesepakatan ini akan membuka jalan bagi Presiden Trump untuk segera menggelindingkan pembicaraan damai Palestina-Israel. Apalagi di pihak Palestina dan para pemimpin negara-negara Arab moderat juga telah menyatakan menyambut baik prakarsa damai yang akan ditawarkan sang penguasa di Gedung Putih.
Namun, semua itu sebelum pertengahan Juli lalu. Sebelum darah bercecer di halaman Masjid al Aqsa. Darah lima orang yang tewas setelah baku tembak di antara mereka. Satu versi mengatakan, kelimanya adalah orang Arab. Yang membunuh dan yang dibunuh. Mereka membawa kartu identitas warga Israel. Mereka mempunyai hak memilih dan dipilih sebagai anggota parlemen Israel, Knesset. Mereka bebas bergerak di wilayah Israel tanpa hambatan. Tapi versi lain menyatakan, tiga orang adalah warga Palestina. Mereka menembak mati dua tentara Israel. Ketiga warga Palestina itu kemudian tewas ditembak pasukan keamanan Israel.
Apapun versinya, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, seperti biasanya, memanfaatkan setiap peristiwa dengan cara dan logikanya sendiri. Logika Netanyahu adalah: dua tentara Israel yang terbunuh mewakili setiap warga Israel dan tiga warga Palestina yang membunuh dan dibunuh adalah atas nama seluruh warga Palestina.
Berdasarkan logika itu ia pun menjatuhkan sanksi. Ia langsung memerintahkan kepada pasukan keamanan Israel untuk memasang detektor logam di setiap pintu masuk kompleks Masjid al Aqsa. Berikutnya membatasi orang yang masuk masjid. Yakni, hanya orang yang berusia di atas 50 tahun yang diperkenankan memasuki Tempat Suci Ketiga umat Islam itu. Selanjutnya, ia juga mencabut kewenangan Yordania yang selama ini mengurus dan memelihara Masjidil Aqsa beserta wakaf-wakafnya.
Tentu saja sanksi itu mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Terutama dari rakyat dan Otoritas Palestina serta umat Islam di seluruh dunia. Dan, Netanyahu, seperti biasanya, tidak peduli. Bahkan ia tampaknya menunggu setiap peristiwa berdarah seperti yang terjadi di halaman Masjid al Aqsa itu, untuk kemudian bisa lebih mencengkeram wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Kebijakan Netanyahu seperti itu semestinya membuka mata dunia mengenai sikap dan kelakuan para pemimpin Israel selama ini. Ia juga seharusnya menjadi peringatan bagi Gedung Putih, utamanya Presiden Donald Trump, bahwa perintang dan penghalang perdamaian Palestina-Israel selama ini adalah pihak Zionis Israel.
Bila demikian faktanya, lalu bagaimana prakarsa perdamaian yang akan ditawarkan Presiden Trump bisa terwujud? Bila pusat kekuasaan dan pemerintahan Zionis Israel dipimpin orang-orang seperti PM Netanyahu?
Berbagai pihak di Timur Tengah pun mulai pesimistis dengan prakarsa damai Gedung Putih. Prakarsa yang menjadi mimpi Presiden Trump untuk dicatat dengan tinta emas sejarah, dengan mewujudkan perdamaian Palestina-Israel. Bisa jadi mimpi Trump hanya di angan. Penghalangnya, sekali lagi, tidak lain dan tidak bukan adalah PM Netanyahu dan para pemimpin Israel sendiri.
Coba simak pernyataan PM Netanyahu ketika berkunjung ke Paris yang waktunya bersamaan dengan peristiwa berdarah di halaman Masjid al Aqsa. Dalam pembicaraan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Netanyahu menegaskankan ‘belum tentu menerima semua prakarsa Presiden Trump’ yang belum diumumkan itu. Ia juga dengan tegas menolak prakarsa damai yang telah digagas Presiden Prancis sebelumnya, Francois Hollande. Menurutnya, prakarsa Hollande sangat buruk.
Prakarsa Francois Hollande memiliki tiga tahap. Yaitu lobi dengan Israel dan Palestina terkait isi gagasan tersebut, penyelenggaraan sidang internasional pendukung perundingan tanpa melibatkan Israel dan Palestina, lalu menyelenggarakan konferensi perdamaian di Paris yang melibatkan Israel, Palestina, dan pihak-pihak terkait.
Pertanyaannya, apakah Gedung Putih, utamanya Presiden Trump, telah memperhatikan dengan seksama mengenai sikap dan segala pernyataan Netanyahu tentang peristiwa Masjid al Aqsa dan apa yang dikatakan di Paris? Atau jangan-jangan upaya damai yang akan ditawarkan Presiden Trump akan seperti prakarsa para Presiden AS sebelumnya yang gagal total. Bahkan prakarsa Trump bisa lebih buruk lagi, lenyap ditelan sikap ndableg Netanyahu dan para pemimpin Israel lainnya sebelum diluncurkan.