REPUBLIKA.CO.ID, Dalam waktu dekat Maryam Safdar diperkirakan segera menempati posisi penting di partai penguasa Pakistan, The Pakistan Muslim League versi Nawaz (PML-N). Jabatan perdana menteri (PM) pun hanya soal waktu. Maryam adalah putri mantan PM Pakistan Nawaz Sharif. Sebulan lalu (28/07) Mahkamah Agung Pakistan memakzulkan Sharif sebagai anggota parlemen dan sekaligus PM Pakistan, terkait serangkaian dugaan korupsi.
Media Newsweek Pakistan edisi Maret 2012 menggambarkan Maryam sebagai pewaris Nawaz Sharif dan pemimpin masa depan PML-N dan sekaligus Pakistan. Maryam selama ini sudah dikader oleh sang bapak. Dia dipandang sebagai pewaris politik ayahnya. Laporan media setempat mengatakan, perempuan kelahiran 28 Oktober 1973 ini akan mengikuti pemilihan sela di daerah pemilihan yang ditinggalkan sang ayah.
Bila Maryam nanti berhasil menapaki karir politik menggantikan ayahnya, sesungguhnya ia bukan perempuan pertama di Pakistan yang mewarisi kekuasaan dari sang bapak. Atau tepatnya memanfaatkan pengaruh dan nama besar ayah mereka. Sebelumnya, ada Benazir Bhutto, PM Pakistan pada 1988 dan 1993.
Benazir adalah putri sulung dari politikus Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979). Zulfikar pernah menjadi Presiden (1971-1973) dan PM Pakistan (1973-1977). Ia lalu digulingkan oleh sebuah kudeta militer dan dihukum gantung pada 1979, atas tuduhan membunuh lawan politiknya. Nasib buruk ternyata juga menyertai Benazir. Pada 2007, ia ditembak mati oleh seseorang yang kemudian meledakkan diri dalam sebuah bom bunuh diri.
Kini, dinasti politik keluarga besar Bhutto tampaknya akan diteruskan oleh Bakhtawar Bhutto Zardari, putri sulung Benazir Bhutto dan suaminya Asif Ali Zardari. Perempuan 27 tahun ini sudah mulai dengan berbagai kegiatan filantropi di bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial. Pada 2010, ia mendirikan sebuah lembaga kemanusiaan 'Save the Flood and Disaster Victims Organization'.
Perempuan ‘mewarisi’ kekuasaan dari keluarganya — baik dari ayah maupun suami — tentu bukan monopoli Pakistan. Bahkan kekuasaan dinasti atau keluarga di sejumlah negara Asia sudah mentradisi. Dan, dari warisan kekuasaan dinasti itu ada sepuluh perempuan yang akhirnya mencapai puncak. Mereka bisa anak perempuan, isteri, atau janda sang tokoh. Di antara mereka ada yang harus memimpin gerakan oposisi demokratis sebelum berhasil meraih kekuasaan. Ada yang kemudian menjadi PM atau presiden di negara-negara yang bahkan berpenduduk mayoritas Muslim. Termasuk di Pakistan yang bernama resmi Republik Islam Pakistan.
Bahkan di Sri Langka, Sirimavo Ratwatte Dias Bandaranaike (1916-2000) merupakan perempuan pertama di dunia yang menjabat sebagai PM dalam sejarah modern. Ia diangkat menjadi PM pada 1960 setelah setahun sebelumnya suaminya, Solomon Bandarnike, mati terbunuh.
Pada 1994, putri mereka, Chandrika Bandaranaike Kumaratunga, terpilih sebagai PM. Pada tahun yang sama, perempuan kelahiran 1945 itu memenangkan Pemilu Presiden. Dan, untuk jabatan PM, ia menunjuk ibunya sendiri, Sirimavo Bandaranaike.
Setelah Sirimavo Bandaranaike menjadi PM pertama di dunia dalam sejarah modern, di India Indira Gandhi pada 1966 terpilih sebagai PM hingga 1977. Lalu ia terpilih kembali menjadi PM dari 1966 hingga 1977, dan berlanjut pada 1980 sampai ia terbunuh pada 1984.Indira adalah putri PM pertama India, Jawaharlal Nehru.
Selain Pakistan, Sri Lanka, dan India, masih ada sejumlah perempuan di beberapa negara Asia yang meraih kekuasaan berkat nama besar keluarganya. Antara lain di Bangladesh, Filipina, Myanmar, Korea Selatan, dan juga Indonesia.
Corazon Aquino yang terpilih menjadi Presiden Filipina setelah suaminya Benigno Aquino terbunuh menyatakan, ia bisa menjadi presiden karena suaminya. Sang suami, Benigno Aquino, adalah tokoh oposisi utama pada era Presiden Ferdinand Marcos. ‘’Saya tahu batasan saya. Saya tidak suka politik. Saya terlibat dalam permainan politik karena suami saya,’’ katanya pada suatu waktu.
Pengalaman hampir sama juga milik Sonia Gandhi. Ia tercebur dalam pusaran politik lantaran suaminya mati terbunuh. Perempuan kelahiran Italia ini menikah dengan putra Indira Gandhi, Rajiv Gandhi. Rajiv dibunuh oleh pemberontak Macan Tamil ketika menjadi PM India. Sepeninggal Rajiv, Sonia pun ‘mewarisi’ kepemimpinan partai yang ditinggalkan suaminya.
Di Bangladesh, Khaleda Zia terpaksa terjun dalam arus politik setelah suaminya, Ziaur Rahman, terbunuh. Suaminya merupakan pemimpin militer dan Presiden Bangladesh. Sepeninggal suaminya, ia pun ‘mewarisi’ Partai Nasional Bangladesh . Setelah memenangkan pemilu Khaleda pun menjabat sebagai PM Bangladesh dari tahun 1991 sampai 1996 dan dari tahun 2001 hingga 2006.
Perempuan kedua di Bangladesh yang ‘mewarisi’ kekuasaan dari keluarganya adalah Hasina Wazed. Ia merupakan PM Bangladesh dari 1996 hingga 2001 dan dari 2009 sampai sekarang. Hasina merupakan putri sulung Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh. Saat ayah dan keluarganya dibunuh dalam sebuah kudeta pada 1975, ia selamat. Hasina pun mengasingkan diri di luar negeri. Setelah kembali ke Bangladesh pada 1981, ia pun masuk ke gelanggang politik.
Di Myanmar, ada Aung San Suu Kyi yang merupakan tokoh perempuan pemimpin gerakan prodemokrasi di negaranya. Bertahun-tahun ia dipaksa menjadi tahanan rumah oleh penguasa militer. Setelah dibebaskan ia pun memimpin National League for Democracy yang kemudian memenangkan pemilu. Perempuan 72 tahun itu kini menjadi State Counsellor atau penasihat negara.
Kharisma dan jiwa kepemimpinan Suu Kyi tampaknya diwarisi dari ayahnya, Aung San, seorang revolusioner nasionalis, jenderal, dan tokoh kemerdekaan Burma. Aung San dibunuh oleh lawan politiknya enam bulan sebelum Burma — kini Myanmar — merdeka.
Sedangkan di Korea Selatan ada Park Geun-hye, perempuan pertama yang jadi Presiden Korea Selatan sejak 25 Februari 2013. Pada 10 Maret 2017, ia dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Park Geun-hye merupakan putri Park Chung-hee, pemimpin Korsel pada 1961 hingga dibunuh pada 1979.
Para perempuan yang ‘mewarisi’ kekuasaan dari keluarganya — entah itu dari ayah ataupun suami —, tentu sah-sah saja. Apalagi hampir semua mereka meraih singgasana kekuasaan dalam sistem yang demokratis. Artinya, mereka pun harus berkeringat, berdarah-darah, dan tentu saja punya jiwa kepemimpinan. Kendati pun harus diakui mereka bisa berhasil meraih kekuasaan lantaran pengaruh dan nama keluarga besar.
Menurut laporan German Science Foundation dengan tema ‘Keluarga Penguasa dan Kepemimpinan Perempuan di Asia’, para perempuan dalam dinasti kekuasaan keluarga lebih diuntungkan daripada laki-laki. Apalagi bila sang kepala keluarga terbunuh atau dijadikan ‘pesakitan’ ketika sedang berkuasa. Dalam kondisi seperti ini, rasa kasihan dan kemarahan bercampur dengan kharisma sang tokoh akan segera pindah ke anak perempuan atau janda sang tokoh. Atau dengan kata lain, mereka akan segera mendapat simpati rakyat.
Yang jadi pertanyaan, apakah kemunculan para perempuan yang mewarisi kekuasaan dari ayah, suami, atau keluarga besarnya akan memberi dampak positif kepada kehidupan kaumnya? Jawabannya ternyata tidak. Kemunculan para perempuan di panggung kekuasaan ternyata tidak memberi pengaruh berarti bagi hak-hak politik dan kehidupan sosial ekonomi bagi kaum perempuan.