Senin 11 Sep 2017 06:00 WIB

Di Manakah Hadiah Nobel Itu Aung San Suu Kyi?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah tragedi yang menimpa kelompok minoritas Muslim Rohingya di tengah penduduk Republik Persatuan Myanmar (dulu Birma atau Burma) yang mayoritas beragama Budha — sekitar 89 persen. Mereka diusir dari negeri sendiri dan ditolak di negara lain. Perkosaan, pembunuhan, penculikan, pengusiran, dan pembakaran rumah-rumah sudah menjadi keseharian mereka sejak beberapa waktu terakhir.

Mereka adalah 1,3 hingga 1,5 juta jiwa Muslim dari kolompok suku bangsa Rohingya. Mereka sudah tinggal di Myanmar sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun di negeri yang kini berpenduduk sekitar 49 juta jiwa. Perserikatan Bangsa Bangsa alias PBB menggolongkan ‘muslim Rohingya sebagai minoritas yang paling tertindas di dunia’.

Sejumlah kalangan menyebut nasib minoritas Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar, dekat perbatasan dengan Bangladesh, seperti peristiwa Srebenica. Peristiwa ini merujuk pada tragedi pembantaian lebih dari 8.000 muslim Bosnia oleh militer Serbia pada Juli 1995. Orang-orang Bosnia ini seharusnya dilindungi oleh PBB, namun pembantaian terjadi juga. Belakangan peristiwa berdarah tersebut dianggap sebagai noda hitam dalam catatan hak asasi manusia di Eropa.

Perkembangan terakhir, seperti disampaikan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, Jumat lalu, dalam dua pekan ini sekitar 270 ribu warga Rohingya telah meninggalkan Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Pejabat di World Food Programme PBB memperkirakan, jumlah mereka akan terus bertambah mencapai 300 ribu orang. Mereka juga memperingatkan kurangnya dana dan makanan yang dihadapi para pengungsi.

Menurut UNHCR, sebagian besar pengungsi yang melarikan diri dari kebrutalan tentara Myanmar dan milisi garis keras umat Budha adalah perempuan dan anak-anak. ‘’Sebagian besar mereka adalah wanita. Termasuk para ibu dengan bayi-bayi mereka yang baru lahir. Juga para keluarga dengan anak-anak mereka. Mereka tiba dalam kondisi menyedihkan:  kelelahan, kelaparan, dan sangat membutuhkan tempat penampungan.’’

Sedangkan korban yang terbunuh, menurut pejabat senior PBB, bisa melebihi 1.000 orang. Jumlah ini dua kali lipat dari angka yang dirilis Pemerintah Myanmar. ‘’Mungkin ada sekitar 1.000 orang atau lebih yang terbunuh,’’ kata Yangei Lee, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar.

Sebuah kelompok hak asasi manusia mengatakan, citra satelit menunjukkan sekitar 450 bangunan telah dibakar di komunitas Rohingya di Kota Rakhine, Myanmar. Pembakaran ini sebagai bagian dari upaya Pemerintah Myanmar untuk mengusir minoritas muslim dari negara tersebut.

Serangan brutal terhadap minoritas muslim Rohingya dimulai setelah adanya serangan pada 25 Agustus lalu terhadap beberapa pos polisi dan tentara. Pelaku serangan disebutkan adalah kelompok radikal muslim untuk membela kaum minoritas Rohingya yang ditindas oleh Pemerintah Myanmar. Pihak Myanmar menuduh mereka sebagai ‘teroris’ yang harus bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi selama ini. Termasuk pembantaian dan pengusiran minoritas muslim Rohingya.

Namun, klaim Pemerintah Myanmar ini dibantah tegas oleh berbagai organisasi internasional. Mereka menganggap tragedi terhadap muslim Rohingya di negara bagian Rakhine adalah serangan yang  terstruktur. Karena itu, mereka menilai apa yang terjadi di Rakhine sebagai kejahatan perang.

Lalu di manakah kini Aung San Suu Kyi yang selama bertahun-tahun memperjuangkan demokratisasi tanpa menggunakan kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer? Aung San Suu Kyi yang rela menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun demi menentang kebrutalan tentara? Di mana pula ia menyembunyikan Hadiah Nobel Perdamaian yang ia terima pada 1991? Apakah perjuangannya tanpa kekerasan itu hanya untuk umat Budha dan tidak berlaku buat minoritas muslim Rohingya?

Perhatian masyarakat internasional kini memang tertuju pada perempuan 72 tahun yang sejak April tahun lalu memegang tahta kekuasaan di Myanmar. Sebelumnya, selama bertahun-tahun Suu Kyi menjadi tahanan rumah karena aktivitasnya melawan penguasa rezim militer diktator-otoriter tanpa kekerasan. Pada 1991 ia pun diganjar Penghargaan Nobel Perdamaian karena aktivitasnya itu.

Lantaran desakan internasional, pada 2010 ia pun dibebaskan sebagai tahanan rumah. Lima tahun kemudian partai yang dipimpinnya, National League for Democracy (Persatuan Nasional untuk Demokrasi atau NLD) memenangkan pemilu. Namun, konstitusi membuatnya terjegal untuk meraih kursi kepresidenan karena ia adalah janda dan ibu dari orang asing. Ia lantas menciptakan jabatan baru untuk dirinya sebagai State Counsellor  yang setara dengan perdana menteri.

Dengan jabatan baru ini secara faktual ia sebenarnya merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di negaranya. Sedangkan sang presiden yang kini dijabat oleh Htin Kyaw hanyalah simbol alias boneka Suu Kyi. Apalagi ia juga mengambil alih peran menteri luar negeri, menteri kerumahtanggaan presiden, menteri pendidikan, dan menteri tenaga listrik dan energi.

Dengan kekuasaan yang sangat besar, Suu Kyi sebenarnya bisa berbuat banyak untuk menghentikan pembantaian minoritas muslim Rohingya. Sayangnya, alih-alih ia mengecam tindakan brutal militer dan milisi Budha terhadap minoritas Rohingya, ia justeru menyalahkan media yang ia katakan sengaja memutar-balikkan fakta. Ia juga menyebut media sebagai propaganda yang sengaja ingin menjelekkan citra pemerintahannya. Namun, ia tidak menjawab dengan jelas mengapa wartawan dan tim investigasi independen dilarang masuk ke Rakhine.

Sikap Suu Kyi yang keras kepala tidak mau menghentikan kebrutalan militer dan milisi radikal umat Budha inilah yang kemudian memunculkan berbagai kecaman tokoh-tokoh dunia dan organisasi internasional terhadap diri dan pemerintahannya. Dari Paus Fransiskus, Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thayib, pemimpin spiritual Budha Dalai Lama, hingga Uskup Desmond Tutu dan Malala Yousafzai. Dari Presiden Turki Erdogan, PM Kanada Justin Trudeau, Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz hingga Presiden Joko Widodo dan lainnya. Dari organisasi Non-Blok, Uni Eropa, OKI (Organisasi Kerja-sama Islam) hingga PBB.

Bahkan kini telah muncul sebuah petisi di internet yang ditandatangani oleh lebih dari 386 ribu orang di change.org, menyerukan agar Hadiah Nobel Perdamaian itu dilucuti dari Suu Kyi. Mereka kecewa terhadap sikap Suu Kyi yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral dari Penghargaan Nobel Perdamaian itu sendiri. Termasuk mereka yang kecewa ini adalah Desmond Tutu dan Malala yang sama-sama pernah menerima Penghargaan Nobel Perdamaian.

Berbagai kecaman yang disampaikan para tokoh dunia lintas agama dan kelompok itu jelas menunjukkan apa yang sedang terjadi di Myanmar sudah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida. Bukan sekadar sentimen agama dan ideologi.

Karena itu, tindakan yang diperlukan kini bukan hanya kecaman dan pernyataan keras. Genosida yang sekarang sedang berlangsung terhadap minoritas muslim Rohingya harus diangkat ke tingkat organisasi tertinggi dunia, yaitu PBB. Dewan Keamanan (DK) PBB harus segera meloloskan resolusi untuk mengirimkan pasukan perdamaian dunia guna melindungi muslim Rohingya, seperti halnya pernah dilakukan terhadap umat Islam di Bosnia. Selanjutnya, sebagaimana di Bosnia, para penjahat perang juga harus diburu dan diadili. Hanya dengan cara ini genosida terhadap kolompok minoritas Rohingya atau kelompok mana pun bisa dihentikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement