REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Sekelompok warga kulit putih bertamu dan menikmati hidangan di sebuah rumah. Dengan leluasa memilih makanan yang disukai, lalu menyingkirkan yang tidak mengundang selera. Sambil makan, bersenda gurau, dan bersenang-senang, mereka berbincang tentang banyak hal. Kadang sependapat, tak jarang beradu argumentasi yang kemudian berujung pada perkelahian keras yang menyisakan kerusakan cukup besar.
Uniknya setelah berdamai, tanpa rasa bersalah, mereka meninggalkan rumah yang tak hanya kotor dan berantakan, melainkan juga rusak.
Pemilik rumah yang bahkan tak sempat mencicipi masakan yang disajikan, hanya ternganga menyaksikan sisa-sisa makanan, juga tumpukan piring kotor, dan suasana porak poranda yang ditinggalkan begitu saja. Terpaksa menghabiskan waktu hingga dini hari, mencuci semua piring dan makanan yang melekat serta membenahi kesemrawutan dan kerusakan.
Sungguh sekelompok tamu yang tidak beradab. Berkunjung namun berperilaku seenaknya, menikmati sekehendak hati dan pulang dengan menyisakan setumpuk piring untuk dicuci juga kerusakan untuk diperbaiki tuan rumah.
Tapi itulah politik cuci piring, yang hanya memikirkan kepentingan sendiri, tanpa peduli akibat yang ditimpakan kepada pihak lain.
Seratus tahun lalu, tepatnya 2 November 1917, Deklarasi Balfour dikumandangkan di Inggris. Pernyataan publik yang dikeluarkan London saat Perang Dunia I, mengumumkan dukungan bagi berdirinya "Tanah Air Bangsa Yahudi" di Palestina, yang saat itu berada di bawah otoritas Turki Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi.
Sejak deklarasi dikumandangkan, bangsa Eropa (baca Inggris) mulai melakukan politik cuci piringnya. Mereka dengan mudah memilih hidangan tanah Palestina untuk diberikan ke Israel- tak memusingkan ke mana bangsa Palestina harus pergi, hingga negara Yahudi akhirnya benar-benar berdiri.
Dan kini, setelah seratus tahun berlalu, nyaris seluruh bangsa Arab dan kaum muslimin masih terus membersihkan piring kotor yang mereka sisakan. Pengungsian, konflik, perebutan tanah. Seolah tak habis-habis berbagai kerusakan dahsyat yang disebabkan penjajah.
Bisa dikatakan nyaris semua konflik di Palestina dan Timur Tengah sekarang masih terkait kepentingan politik bangsa Barat.
Sebut saja Perang Iran dan Irak, invasi Kuwait, Perang Teluk, ketidakjelasan nasib suku Kurdi, kudeta di Mesir, penindasan di Aljazair, konflik di Suriah, secara tidak langsung semuanya masih terdapat campur tangan dari politik cuci piring bangsa Barat. Mereka ikut makan, memilih menu yang menarik, lalu dengan mudah bergegas pergi ketika tidak berselera. Dan bangsa yang ditinggalkan harus membereskan sisa-sisa ‘pesta’, dan kekacauan yang terjadi.