REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Minggu-minggu terakhir ini dunia dikejutkan oleh gebrakan “Revolusi Istana” di Saudi Arabia, dilakukan Raja Salman bin Abdulazis dan putra mahkota yang baru diangkat, Pangeran Muhammed bin Salman (32), anak kesayangan raja. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kerajaan baru saja dibentuk raja dan langsung diketuai oleh sang Pangeran. Banyak pejabat tinggi yang ditangkap, termasuk Alwaleed bin Talal, salah satu orang terkaya di muka bumi.
Juga ribuan ulama konservatif yang ditahan demi mengubah wajah Islam yang ditampilkan selama ini: wajah wahabisme radikal dengan teologi kebenaran tunggal. Kata Muhammed bin Salman, sebagai reaksi terhadap Revolusi Iran tahun 1979 yang menggemparkan jagat raya itu, kongsi rezim Saudi dan wahabisme perlu pula merumuskan sebuah Islam Suni yang dapat mengimbangi gelombang revolusi Iran itu.
Tetapi, apa yang berlaku kemudian? Jangankan sanggup mengimbangi pengaruh Teheran yang juga menampilkan corak syi’isme radikal, wahabisme telah berubah menjadi monster yang diekspor ke seluruh dunia dengan segala dampak buruknya dengan merusak wajah Islam moderat yang diam membisu selama ini, sebagaimana yang dianut oleh mayoritas Muslim sedunia.
Dalam bacaan saya, perseteruan antara Kerajaan Saudi dan Republik Iran kontemporer tidak ada kaitannya dengan agama, apalagi dengan Alquran, sekalipun masing-masing pihak mengaku sebagai penafsir yang paling benar.
Yang justru terjadi adalah perebutan hegemoni di kawasan itu antara dua nasionalisme anutan Saudi dan anutan Iran dengan menggunakan jubah sektarianisme agama: sunisme vs syi’isme. Akar perseteruan ini dapat dilacak pada tragedi Perang Unta (656) dan Perang Shiffin (657) yang sudah berapa kali saya tulis di ruang ini.
Celakanya, Muslim non-Arab dan Muslim non-Iran tidak pernah mengoreksi secara berani sumber kegaduhan sektarianisme ini sampai hari ini. Mereka hanyalah meneruskan kegaduhan itu dengan cara dan dalilnya masing-masing.
Pihak Barat sangat memahami kelemahan ini untuk kemudian dieksploitasi sejauh mungkin, demi kepentingan Barat. Baik Saudi maupun Iran sudah sama-sama dijebak Barat untuk mempermainkan mereka sekian lama. Iran era Shah Pahlevi adalah agen Barat yang dipercaya, sedangkan Saudi sampai hari ini masih menjadi sahabat Amerika.
Kembali kepada “Revolusi Istana” di Saudi. Revolusi ini sangat elitis sifatnya: merebaknya konflik kepentingan antara sesama pangeran. Kita belum bisa mengatakan bagaimana ujungnya nanti. Sedangkan, rakyat Arab sendiri sejak berdirinya Kerajaan Saudi pada 1932 dengan bantuan Inggris, Prancis, dan sedikit Rusia tidak pernah diberi kemerdekaan sebagai warga negara dengan segala haknya.
Kongsi rezim Saudi dengan wahabisme yang diarsiteki oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) telah bertaut rapat demikian rupa sejak abad ke-18 melalui periode pasang surut dan pertumpahan darah yang merenggut puluhan ribu nyawa manusia. Penguasaan penuh klan Saudi atas Semenanjung Arabia sekarang belum berusia satu abad (1932-).
Rezim Saudi ini diperhitungkan Barat terutama karena petrodolar raksasa yang dikandung bumi Arabia, bukan karena faktor lain. Tetapi, cadangan minyak itu tentu akan habis pada saatnya, apalagi sekarang harga minyak turun drastis.
Situasi ini pulalah yang memaksa Raja Salman untuk mencari sumber-sumber devisa lain agar APBN-nya tidak lagi 90 persen bergantung pada minyak bumi. Untuk meraih tujuan ini, Arab Saudi harus membuka diri seluas mungkin bagi investor.
Dalam rangka kebijakan keterbukaan ini, kebebasan kepada perempuan harus diberikan agar lebih mandiri, tidak lagi hanya berfungsi sekadar konco wingking (teman dapur), sebuah tradisi yang sangat menyiksa selama ini. Fatwa ulama wahabi atas penyiksaan kaum hawa ini sungguh bertanggung jawab atas ketidakadilan gender ini.
Ekspor wahabisme ke berbagai bagian dunia sejak 30 tahun terakhir ini yang telah menimbulkan bencana dalam bentuk terorisme, tindak kekerasan, bom bunuh diri, dan perbuatan jahat lainnya memang harus dihentikan. Tetapi, apakah rezim Saudi sekarang benar-benar sungguh dalam pernyataannya, masih perlu kita tunggu pada hari-hari mendatang.
Tetapi, yang agak mencemaskan adalah kemungkinan perang saudara sesama pangeran di negeri itu. Semoga situasi tidak akan semakin memburuk, karena dampaknya akan sangat besar dalam konstelasi politik global.