Senin 20 Nov 2017 06:00 WIB

Konspirasi, Nasionalisme, dan Arab Acakadut

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Ada beberapa hal yang menyebabkan Timur Tengah rawan konflik dan damai semakin menjauh dari kawasan itu. Pertama, adanya konspirasi global. Konspirasi ini telah berlangsung sejak Deklarasi Balfour (the Balfour Declaration).

Deklarasi ini berupa pernyataan dari Arthur James Balfour (1848-1930) kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris Lord Walter Rothschild untuk disampaikan kepada Federasi Zionis ke seluruh Inggris Raya dan Irlandia. Isinya sebuah janji untuk mendukung keinginan Zionis untuk “tanah air Yahudi” di wilayah Palestina.

Deklarasi itu dibuat Balfour pada 2 November 1917 ketika ia menjabat menteri luar negeri Inggris Raya antara 1916-1919. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi perdana menteri (1902-1905). Deklarasi itu berkekuatan dahsyat karena, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang”, Inggris pada sekitar Perang Dunia I (1914-1918) ibarat penguasa empat penjuru mata angin. Sangat digdaya. Itulah sebabnya mereka menyebut dirinya sebagai Great Britain alias Inggris Raya.

Sejak Deklarasi Balfour itu, terjadilah gelombang hijrah orang-orang Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina, apalagi ketika pada 1922 Liga Bangsa-Bangsa (sekarang Perserikatan Bangsa-Bangsa)—yang waktu itu dikuasai negara-negara kolonial—memercayakan mandat atas Palestina kepada Inggris Raya.

Mandat ini diberikan setelah pada Perang Dunia I (PD I) Kesultanan Usmaniyah kalah perang melawan sekutu—Inggris, Prancis, dan Rusia. Akibat dari kekalahan itu, antara lain terlepasnya Palestina dari kekuasaan Kesultanan Turki.

Sebelum PD I, populasi Yahudi di Palestina hanyalah minoritas kecil, sekitar 3 persen. Jumlah terbesar adalah Arab Muslim, lalu Arab Kristen. Namun, berkat Deklarasi Balfour, populasi warga Yahudi di Palestina pun meningkat tajam. Dari 11 persen pada 1922 menjadi 33 persen pada akhir PD II (1939-1945).

Pada November 1947, PBB yang baru saja dibentuk oleh sekutu sebagai pemenang PD II—antara lain Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Uni Soviet, Tiongkok—menyetujui untuk membagi Palestina menjadi dua negara: satu negara Arab dan satu negara Yahudi. Di sinilah untuk pertama kali AS terlibat dalam “persekongkolan” untuk mendukung negara Yahudi.

Namun, pembagian itu langsung ditolak negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab. Di antara alasannya karena kaum Yahudi mendapatkan 55 persen wilayah Palestina meski mereka hanya 33 persen dari seluruh penduduk di daerah ini.

Namun, bagi kaum Yahudi, pembagian ini jelas bagai durian runtuh. Mereka pun segera memproklamasikan kemerdekaan Negara Israel pada 14 Mei 1948. Sejak itu, populasi Israel pun meningkat drastis, dari 800 ribu menjadi 2 juta jiwa dalam kurun waktu 10 tahun (1948-1958). Kini, jumlah penduduk Israel sudah lebih dari 8 juta jiwa.

Keberadaan negara Zionis Israel persis di jantung Arab ini tentu tak terlepas dari dukungan penuh negara-negara besar, terutama Barat dan khususnya AS yang telah menjelma menjadi kekuatan dunia. Dukungan yang tentu saja dimaksudkan untuk mengacakadut kawasan Timur Tengah. Tepatnya untuk tetap “mengendalikan” negara-negara di kawasan yang kaya minyak dan gas itu.

Hebatnya lagi, konflik Arab-Israel itu pun mulai digeser atau dipersempit menjadi konflik Palestina-Israel. Bahkan, kini Israel dikesankan sebagai “anak manis”. Israel bukanlah biang persoalan di Timur Tengah. Yang menjadi persolan utama justru Iran, kelompok-kelompok radikal dan teroris, serta rakyat dihasut yang kemudian melawan penguasa.

Jadi, inilah yang disebut konspirasi global itu. Hanya bisa diraba siapa dan di mana otaknya, tetapi sangat nyata pengaruhnya.

Bentuk lain konspirasi global di Timur Tengah juga terwujud dalam sebuah perjanjian rahasia pada 1916 antara Inggris Raya dan Prancis yang disetujui Kerajaan Rusia. Perjanjian itu dikenal dengan the Sykes-Picot Agreement.

Sykes diambil dari nama diplomat Inggris Sir Mark Sykes, sedangkan Picot adalah dari nama diplomat Prancis Francois Georges-Picot. Perjanjian berisi pembagian pengaruh dan kendali wilayah-wilayah di Timur Tengah setelah runtuhnya Kesultanan Usmaniyah itu telah memaksa perbatasan wilayah negara-negara Arab berdasarkan kepentingan kolonial.

Akibatnya, sebuah suku bangsa seperti Kurdi harus hidup terpecah dalam beberapa negara—Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Sebuah referendum di wilayah Kurdistan yang menuntut kemerdekaan bangsa Kurdi pun ditentang ramai-ramai oleh empat negara tersebut. Juga ketika Presiden Saddam Husein menginvasi Kuwait pada 1991. Salah satu alasannya karena Kuwait pernah menjadi bagian dari Irak jauh sebelum the Sykes-Picot Agreement.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement