Sabtu 09 Dec 2017 07:17 WIB

Arab Spring, Musim Semi atau Musim Gugur?

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Ketika Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi (26 tahun) membakar diri tujuh tahun lalu di 17 Desember 2010, sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang mempersulit rakyat kecil, ia tidak menyangka tindakannya akan memicu sebuah revolusi besar di negara-negara Arab.

Aksi penjual buah pinggir jalan yang nyawanya tak tertolong tersebut memicu protes besar rakyat Tunisia yang akhirnya membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali mundur dari kekuasaan yang dipegangnya selama 23 tahun. Kekuasaan yang tak tergoyahkan selama puluhan tahun jatuh hanya 10 hari sejak Bouazizi wafat.

Apa yang terjadi di Tunisia memicu munculnya semangat di berbagai negeri Arab. Rakyat di Oman, Yaman, Mesir, Suriah, dan Maroko turun ke jalan menuntut perubahan. Mesir yang terkena imbas pertama. Presiden Husni Mubarak mundur pada 11 Februari 2011 dan menyerahkan kekuasaan pada Dewan Militer yang lalu menunjuk Perdana Menteri Ahmed Shafik untuk memimpin. Namun Maretnya, Mesir kembali bergejolak, perdana menteri yang diberi amanat pun mundur.

Pada pertengahan Februari mulai merebak protes di Libya dan memicu terjadinya perang saudara. Pertempuran berakhir setelah terbunuhnya Presiden Muammar Khadafi pada 20 Oktober 2011.

Sementara pada Juni 2010, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh terluka setelah lolos dari usaha pembunuhan. Terus menguatnya berbagai tekanan, memaksa sang presiden kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada wakil Presiden Abd Rabbuh al-Hadi di awal 2012.

Sedangkan, mantan presiden Mesir Mubarak divonis bersalah dan dihukum seumur hidup, Juni 2012, sebagaimana mantan presiden Tunisa Ben Ali juga dipenjara. Di Mesir muncul tokoh baru, Presiden terpilih Mohammad Mursi, dari kelompok pergerakan Muslim Ikhwanul Muslimin.

Seluruh kejadian ini kemudian disebut Arab Spring atau musim semi Arab. Musim semi adalah saat tumbuhnya bunga. Lambang masa depan indah muncul di tanah Arab. Pemimpin yang bercokol lama berguguran dan mulai muncul pemimpin baru, harapan baru.

Istilah Arab Spring sendiri mengambil sebutan yang sempat populer untuk menggambarkan perubahan besar di negara-negara Eropa antara tahun 1848- 1849. Saat itu terjadi perubahan drastis di Italia, Jerman, Prancis, Denmark, Hungaria, Swedia, Polandia, Swiss, Belgia, dan Irlandia. Perubahan yang kemudian disebut the Spring of Nations, People's Spring, Springtime of the Peoples atau the Year of Revolution.

Akan tetapi, setelah lebih dari tujuh tahun berlalu, kini muncul pertanyaan apakah istilah musim semi penuh harapan tepat disematkan pada perubahan di negara-negara Arab? Ataukah yang terjadi musim gugur?

Ketika para pemimpin mulai jatuh satu per satu, Presiden Suriah Bashar al-Assad justru menyalahkan Barat yang mendukung aksi pembangkangan. Ia berkeras akan meredakan segala bentuk pemberontakan. Hingga kini, Syiria masih terjebak dalam perang saudara. Hilangnya kontrol Suriah di beberapa daerah justru membuka peluang berdirinya kelompok ISIS yang menguasai sebagian daerah di Suriah dan Irak.

Situasi di Mesir yang sempat memberikan angin baik justru kembali pada kekuatan militer yang mengudeta Presiden Mursi. Pengadilan yang berada dalam bayang-bayang junta militer pada 16 Mei 2015 bahkan sempat menjatuhkan hukuman mati pada Mursi dan 538 simpatisan dan pemimpin Ikhwanul Muslimin.

Di Yaman, Arab Saudi menggalang koalisi militer beberapa negara Arab untuk menyerang milisi Houti yang berhasil menguasai ibu kota. Lebih dari seratus pesawat tempur milik sekutu Saudi membombardir Yaman. Sayangnya, propaganda militer ini ternyata tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap situasi politik, tetapi mengakibatkan munculnya jutaan pengungsi. Belum selesai krisis Yaman, mantan presiden Ali Abdullah Saleh dibunuh milisi Houti ketika berniat membangun koalisi dengan Arab Saudi.

Qatar lain lagi, justru terjerat krisis diplomatik. Negeri kaya ini dikucilkan oleh Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Maladewa, Yaman, Mauritania, dan Komoro. Pengucilan juga didukung oleh Libya, Yordania, Chad, Djibouti, Senegal, dan Gabon. Rata-rata negara mayoritas Muslim. Televisi Aljazirah milik Qatar dianggap meresahkan. Selain itu, Qatar dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin terkait terorisme. Dan, kini sebelum semua masalah di atas selesai, Presiden Amerika baru saja menandatangani pengakuan Yerusalam sebagai ibu kota Israel.

Masalah di Timur Tengah makin jauh dari usai. Umat Islam di Tanah Air barangkali hanya mampu prihatin dan mengucap doa. Semoga damai segera menyelimuti tanah di Timur Tengah, tempat turunnya para nabi dan di mana peradaban bermula.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement