Sabtu 16 Dec 2017 08:11 WIB

Kekuatan “Malu”

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

    

Bicara malu sepertinya  sederhana, padahal hanya dengan modal malu, anak bangsa bisa mengubah wajah Indonesia. Sebab malu adalah salah satu cabang dari iman.

Seorang wartawan bercerita tentang liputan yang dilakoninya. Ia bertemu dengan satu aparat yang pangkatnya masih belum tinggi. Gaji resminya mungkin sekitar lima jutaan saja. Akan tetapi di pergelangan tangannya tersemat  arloji super  mewah seharga empat kali gaji bulanannya.

Sulit untuk berprasangka baik atau melihat sisi positif dari kondisi tersebut. Kalau itu jam palsu dan murahan, berarti melanggar hukum. Jika asli dan dibeli dengan cara menabung, berarti boros dan tidak bijak menentukan prioritas kebutuhan. Misal dibeli sendiri dari pekerjaan lain berpenghasilan lain besar di luar profesi, berarti tidak fokus bekerja. Andai hadiah, berarti gratifikasi.

Anehnya, meski mungkin mengundang prasangka negatif, ia dengan bangga mengenakannya tanpa malu, tanpa rasa bersalah bahkan terkesan pamer.

Sosoknya hanya contoh kecil. Di Indonesia mungkin ada puluhan ribu pejabat publik yang bergelimang harta bukan dari jalur  halal, akan tetapi  tanpa rasa malu berani memamerkannya.

Tidak jarang rumah paling mentereng di real estate dimiliki pejabat publik, padahal  kalau berbicara gaji murni, tentu tak akan sanggup membelinya.

Malu. Kita krisis malu. Seandainya  setiap pejabat publik punya rasa malu, niscaya korupsi hilang di Indonesia. Jika saja rasa malu berhasil ditanamkan dan menjadi budaya yang mengakar, maka nyaris semua permasalahan akan selesai.

Sering kali kita melihat jalanan macet, tapi tidak ada petugas berwenang yang turun mengatasi. Kadang malah terlihat asyik berlindung di dalam pos penjagaan. Fenomena yang  tidak akan  terjadi jika mereka punya malu.

Macet yang rutin berlangsung pun akan bertahap teratasi, jika para pejabat malu sebab masalah ini tidak pernah selesai berpuluh-puluh tahun. Akan tetapi, di masa lalu alih-alih malu karena tidak becus mengatasi kemacetan, banyak yang justru menyalahkan jumlah mobil dan kepadatan penduduk. Khusus untuk masalah ini, Alhamdulillah secara bertahap mulai ada perbaikan.

Apa lagi?

Kapal-kapal mengantre berhari-hari hingga berminggu atau berbulan hanya untuk punya kesempatan merapat di pelabuhan. Keterlambatan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi. Jika semua pejabat terkait punya rasa malu, tentu ini tidak akan terjadi.

Bencana banjir atau asap yang setiap tahun datang dan seharusnya bisa diantisipasi, tetap saja terjadi. Jika pejabatnya punya rasa malu, pasti akan bersungguh-sungguh mencari jalan keluar.

Buku, CD, dan film bajakan, saat ini beredar di mana-mana. Kasat mata masyarakat bisa melihat pelanggaran hukum yang tidak menghargai karya anak bangsa. Kreativitas yang semestinya menjadi tulang punggung ekonomi tidak dilindungi. Seandainya saja setiap aparat berwenang punya rasa malu, niscaya akan tuntas diberantas.

Preman merajalela, pemalakan di mana-mana. Membangun markas di sudut jalan atau di pemukiman rumah penduduk. Meresahkan, tapi tidak ada yang berani menindak. Tidak akan  muncul jika pihak berwenang punya rasa malu. Bagaimana mungkin ada penguasa kecil dan ilegal menginjak-injak hukum di wilayah mereka, tentu dengan cepat para preman ini akan mudah dipecundangi.

Pemborosan juga terjadi di segala sektor. Para pejabat yang punya kantor besar dan megah dengan   belasan ruang rapat dan pertemuan, justru menyelenggarakan rapat di hotel mewah atau menyewa gedung pertemuan swasta. Seandainya ada setitik rasa malu,  pemborosan seperti ini tidak mungkin terjadi.

Kita harusnya malu, sebagai salah satu negara dengan pantai terpanjang di dunia masih mengimpor garam. 

Kita harusnya malu, negara sekecil Singapura kekuatan ekonominya berpuluh kali lipat, bahkan menjadi investor terbesar di Indonesia- negara yang memiliki ribuan pulau kecil dan bahkan sebagian besar masih tak bernama.

Kita harusnya malu dengan segala minyak, emas, gas alam, dan sumber daya melimpah tapi tetap saja rakyatnya belum sejahtera.

Kita harusnya malu, negara dengan tambang emas terbesar di dunia, kini rakyatnya terancam cacat karena ratusan pertambangan emas ilegal yang menggunakan merkuri, tersebar di mana-mana dan merusak lingkungan.

Seandainya saja semua pejabat (Alhamdulillah masih ada satu dua yang punya dedikasi), penguasa, pihak berwenang,  punya rasa malu, niscaya Indonesia bebas dari kemiskinan, kerusakan, dan ketertinggalan.

Mari pulihkan semangat malu yang kian terkikis, hingga ketidakpatutan bertebaran di mana-mana. Malu, harus malu, sebab di tumpah darah tercinta  Allah sudah menganugerahkan segalanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement