Selasa 02 Jan 2018 05:57 WIB

PDRI, Sebuah Drama Sejarah (III)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Para tokoh PDRI tidak saja sebatas mengatur strategi perjuangan untuk memenangkan RI, tetapi di tempat di mana mereka menetap juga aktif mencerahkan masyarakat sekitar dengan menyelenggarakan berbagai kursus tentang politik, ekonomi, koperasi, dan kesehatan.

Kegiatan semacam telah semakin merapatkan hubungan emosional antara tokoh dan rakyat jelata yang menjadi tulang punggung logistik di desa terpencil itu. Semuanya serba mengaharukan, semuanya serba indah, apalagi bila diteropong dari jarak waktu yang jauh.    

Menurut tuturan St. Mohammad Rasjid, di Koto Tinggi tidak kurang dari 700 rombongan PDRI yang tinggal sekitar tiga bulan di sana. Rombongan besar inilah yang ditampung dan dijaga rakyat desa kecil itu. Begitu pula di Bidar Alam, rakyat dengan perasaan rela dan bahkan bahagia telah menyatu dengan pemimpin gerilya ini.

Artinya, rakyat Indonesia sampai jauh di pelosok memang sudah menjatuhkan talak-tiga kepada sistem penjajahan. Semuanya ini tidak terlepas dari buah rentetan sejarah sejak permulaan pergerakan nasional awal abad ke-20, kegiatan PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda tahun 1920-an, Sumpah Pemuda tahun 1928, dan puncaknya pekik Proklamasi 17 Agustus 1945.

Belanda sebagai bekas penjajah rupanya tidak rela Indonesia terlepas dari tangannya, sekalipun dengan cara hina telah diusir oleh tentara pendudukian Jepang pada bulan Maret 1942. Demikianlah usai PD (Perang Dunia) II, Belanda dibantu pasukan Inggris datang kembali ke Indonesia yang kemudian memicu perang mempertahankan kemerdekaan di pihak Indonesia yang belum lama menyatakan kemerdekaannya, sekalipun Belanda baru mengakuinya akhir 1949.

Selama empat tahun perang kemerdekaan ini, banyak cobaan dan rintangan yang mesti dilalui. Ada gesekan politik di antara elite nasional, ada pemberontakan PKI, dan ada deklarasi DI (Darul Islam) di Jawa Barat. Maka PDRI adalah kekuatan penyelamat Indonesia pada saat pemimpin puncaknya jadi tawanan musuh.

Perkembangan politik nasional sejak April 1949 menjadi terbelah antara PDRI dengan pemimpin tawanan di Bangka yang melakukan perundingan pra-KMB (Konferensi Meja Bundar) dengan pihak Belanda. Pihak Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem vs van Roijen sebagai wakil Belanda.

PDRI tidak diajak dalam proses diplomasi antara April-Mei 1949 itu. APRI (Angkatan Republik Indonesia) yang berada di bawah komando Jenderal Soedirman juga tidak setuju dengan cara-cara diplomasi itu, karena Belanda sering benar berkhianat.

Dalam situasi serba terbelah ini, peran Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX sangat menentukan, sehingga dengan hati-hati dan susah payah, pada ujungnya para pemimpin gerilya itu bisa saling mengerti, sekalipun di pihak PDRI dirasakan sakit dan kecewa, baik sayap utara di bawah komando St. Mohammad Rasjid maupun sayap  selatan sebagai pusat PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.

Kemudian baru bulan Mei 1949 kedua sayap ini bertemu di desa Sumpur Kudus/Silantai. Di desa inilah PDRI mengadakan rapat besar untuk menentukan sikap terhadap hasil Perundingan Roem-Roijen yang diadakan di Jakarta dan berakhir pada pada 7 Mei 1949 yang dinilai cacat oleh pimpinan PDRI. Sumpur Kudus dipilih adalah hasil kompromi antara Sjaruddin dan Mohammad Rasjid yang semula saling mengajak berunding di tempatnya tinggalnya masing-masing.

Sekiranya kompromi ini tidak terjadi, maka Sumpur Kudus yang terletak agak di tengah antara Bidar Alam dan Koto Tinggi, maka desa ini akan berlalu begitu saja dalam sejarah PDRI. Di desa ini rombongan PDRI tinggal dari 5 Mei sampai dengan 21 Juni 1949, pusat PDRI terpendek dibandingkan dengan Bidar Alam dan Koto Tinggi.

Sama halnya sambutan hangat rakyat di Bidar Alam dan Koto Tinggi, rakyat Sumpur Kudus dan negeri tetangga Silantai telah menanti kedatangan para pemimpin gerilya itu dengan antusiasme yang sangat tinggi. Semuanya dikorbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan tanahair.

Bahkan seorang saudagar gambir dan karet bernama Halipah telah memberikan hartanya senilai ratusan juta rupiah (dalam hitungan sekarang) untuk kepentingan perjuangan PDRI. Semua tokoh puncak PDRI kenal baik dengannya. Bahkan Teuku Muhammad Hasan setelah perang masih melakukan kontak dengan saudagar Sumpur Kudus ini.

Adapun ayah saya di Calau (sekarang bernama Sumpur Kudus Selatan) di samping menyerahkan sebagian rumahnya untuk dipakai sebagai zender radio PDRI, juga menyediakan logistik bagi para pejuang ini. Di rumah inilah Komodor Muda Soejono dan Kapten Udara Dick Tamimi dan jajarannya memimpin radio PDRI sebagai sumber informasi untuk disampaikan kepada Sjafruddin Prawinegara yang tinggal di Sumpur Kudus dan Silantai, keduanya berada dalam jarak dekat di kecamatan Sumpur Kudus.

Jasa anggota AURI dalam PDRI sungguh luar biasa, di samping Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang semuanya masih dalam usia belia saat itu.

Sekarang semua drama itu sudah berlalu dan Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 72 tahun yang silam. Masih ada sekitar 43% desa tertinggal di seluruh Indonesia dan aliran listrik ke Sumpur Kudus baru masuk tahun 2005. Bidar Alam dan Koto Tinggi telah lebih dulu mendapatkan cahaya lampu pijar itu.

Akhirnya, kajian yang cukup komprehensif tentang PDRI dengan beberapa kesalahan kecil, dilakukan oleh sejarawan berbakat Prof DR Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang di bawah judul: "Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan". Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, tebal 308 halaman.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement