REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Duduk di deretan kursi paling belakang, saya menyimak penuturan Sridala Suwarmi, sesama penulis yang diundang mengikuti International Writers Program (IWP) di Iowa, Amerika Serikat. Penyair dari India tersebut menyinggung sebuah naskah berusia 2.000 tahun yang belum lama ditemukan di negerinya.
Saat itu, IWP mengundang 34 penulis dari 31 negara untuk tinggal selama 81 hari dalam program penulis tamu paling prestisius, menurut banyak penulis dunia. Salah satu yang kami lakukan di sana selain membacakan karya di ruang publik, adalah berbagi proses kreatif, baik di Iowa University--seperti yang dilakukan Sridala dan kami semua.
Upaya berbagi wawasan dan pengalaman proses kreatif juga ditujukan kepada khalayak lain, anak-anak sekolah menengah atas, sampai senior citizen atau para orang tua. Lalu, berapakah usia tulisan tertua di dunia yang pernah ditemukan? Jika tidak salah 8.000 tahun, di Bulgaria.
Sebuah naskah tulis memiliki daya tahan luar biasa untuk melampaui berbagai zaman. Abadi, meski penulisnya telah pergi. Menulis merupakan ikhtiar untuk abadi. Sebuah alasan jitu bagi siapa saja yang ingin meninggalkan jejak lebih lama, bahkan setelah kita tak lagi di dunia.
Seorang penulis akan tetap eksis lewat tulisan-tulisannya, menjelma diskusi panjang di kalangan pembaca hingga pemerhati sastra. Bagi seorang Muslim, menulis juga merupakan upaya sedekah ilmu. Banyak keutamaan dilimpahkan untuk mereka yang mengajarkan ilmu atau mengajak pada kebaikan.
Amal yang tetap mengalirkan pahala bagi penulisnya, jika prosesnya dilandasi keikhlasan. Ikhtiar untuk meninggalkan mesin yang dengan izin Allah akan terus mengalirkan ganjaran kebaikan bagi pemiliknya, meski dia sudah berpulang.