Sabtu 17 Mar 2018 05:17 WIB

Hawking, antara Kebetulan, Keajaiban, dan Kepastian

Kehebatan Hawking memberinya tempat istimewa di mata jutaan orang di dunia.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Asma Nadia

Seperti biasa, Hawking meneguk teh di sela-sela kegiatan kampus. Akan tetapi sesuatu terjadi. Gelas di tangannya tiba-tiba jatuh, sementara kedua tungkai terasa kaku, sesaat kemudian ia pun kesulitan menggerakkan kaki.

Awal yang sepintas sepele, namun pemuda tersebut terkaget-kaget mendengar vonis dokter setelah melewati berbagai pemeriksaan.

“Hidup Anda mungkin hanya tersisa dua tahun lagi.”

Ia didiagnosis menderita Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang menyerang sel-sel saraf motorik, sehingga penderitanya sulit bergerak dan menjadi lumpuh total.

Dunianya seolah terjerembab.  Hawking, kala itu berusia 21 tahun itu sedang mengikuti program doktoral di universitas ternama, dan dikenal memiliki karier akademis cemerlang. Hal lain, Hawking sedang mempersiapkan diri memasuki jenjang pernikahan.

Masa depan yang penuh harapan, musnah dalam sekejap. Buat apa bekerja keras untuk menjadi seorang doktor jika hidupmu hanya tersisa dua tahun? Bisiknya dalam hati.

Perlu waktu untuk mengumpulkan kepingan asa yang pecah bertebaran. Setelah melewati masa penuh perenungan, Stephen Hawking meyakinkan dirinya: Dia harus melihat bintang, bukan tanah.

“Jangan pernah menyerah," tekadnya melawan harapan yang sempat hempas.

Sekalipun diperkirakan usianya akan berakhir dua tahun mendatang,  Hawking tetap menjalankan program doktoralnya sekaligus menikahi gadis yang dicintai dan ternyata tetap siap mendampingi. Pernikahan dilangsungkan, Hawking berdiri, menumpukan kekuatan pada sebuah tongkat di tangan. 

Manusia boleh memvonis, bahkan dengan semua kemahiran dan ilmu pengetahuannya, tetapi  tetap Allah yang menentukan. Seperti sebuah keajaiban, Hawking menikmati usia lebih panjang.  Ia melewati fase dua tahun yang ditentukan.

Tujuh tahun setelahnya baru sosok penuh semangat itu mengalami kelumpuhan sepenuhnya: kehilangan kemampuan menggerakkan tangan, berjalan, bicara, dan semua motorik lain. 

Kondisi yang lumpuh  total tidak membuatnya menyerah. Pemuda cerdas itu  tetap berkarya. Bahkan dalam kondisi yang mengenaskan secara fisik,  ia sanggup menghasilkan berbagai karya fenomenal dan menyabet berderet gelar serta penghargaan.

Hawking adalah wujud keajaiban. Fenomena luar biasa. Dengan bermodalkan otot pipi, satu-satunya motorik yang tersisa, ia mengetik, berbicara, menelepon, bercanda, dan produktif menghasilkan banyak karya. Belasan penghargaan tingkat dunia diterima. Lebih dari itu ia bertahan  melalui penyakitnya 50 tahun lebih dan baru wafat di usia 76 tahun.

Uniknya, hidup Hawking terhubung dengan banyak kebetulan persamaan dari para fisikawan dunia. Ia disejajarkan dengan Einstein. Ada kesamaan di antara keduanya, sama-sama tidak menonjol secara akademis ketika muda. Hawking meninggal di tanggal yang menjadi hari kelahiran Einstein.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement