Sabtu 30 Jun 2018 05:47 WIB

Pilkada, Antara Kejutan dan Evaluasi Lembaga Survei

Hasil survei lembaga survei banyak berbeda dengan real count pilkada.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Ramai yang mengatakan hasil pilkada saat ini banyak terjadi kejutan. Disebut demikian mengingat hasil pilkada sangat jauh dari prediksi lembaga surveI atau polling. Contoh paling mencolok adalah perbedaan hasil survei elektabilitas Sudrajat-Ahmad Syaikhu dan hasil quick count.

Sekalipun belum final quick count diambil dari hasil murni (fakta) dari TPS yang menjadi sampling. Pada periode 22-30 April 2018, Populi Center merilis survei elektabilitas Sudrajat-Ahmad Syaikhu hanya 6,4% dengan margin of error 3,39%. Indo Barometer, pada periode 7-13 Juni 2018 merilis survei elektabilitas pasangan Asyik hanya 6,1% dengan margin of error 3,39%.

LSI Denny JA, pada periode 7-14 Juni 2018 merilis survei elektabilitas pasangan nomor tiga Pilgub Jabar tersebut hanya 8,2% dengan margin of error 4,8%. Roda Tiga Konsultan merilis angka terkecil hanya 3,9% pada periode 28 Mei-2 Juni dengan margin of error 2,9%.

Sementara, SMRC pada periode 23 Mei-30 Mei 2018 merilis angka 7,9% dengan margin of error 3,5%. Sedangkan, Poltracking Indonesia pada periode 18-22 Juni 2018 merilis Sudrajat-Akhmad Syaikhu hanya meraih 10,7% dengan margin of error 3,5%.

Akan tetapi, quick count menunjukkan hasil yang sangat berbeda. LSI mencatat suara untuk Sudrajat-Ahmad Syaikhu mencapai 28,13%. SMRC merilis angka quick count Sudrajat-Ahmad Syaikhu mencapai 29,58%. Indo Barometer mencatat hasil quick count Sudrajat-Ahmad Syaikhu mencapai 28,54%, sedangkan Charta Politica merilis hasil quick count Sudrajat-Ahmad Syaikhu mencapai 30,07%.

Dengan kata lain, sekalipun bukan nomor satu, margin of error prediksi perolehan kandidat Asyik jauh di atas toleransi 3-4% sebagaimana yang sebelumnya didengungkan. Kejutan lain, sekalipun tidak mencolok juga terjadi di berbagai daerah. Seperti pemilihan gubernur di Sumut, hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat pasangan nomor urut Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) unggul jauh dari pesaingnya, Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus (Djoss). Eramas memperoleh suara 56,52%. Sedangkan, Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus (Djoss) hanya meraih 43,48%. Padahal, sebelum pencoblosan, perolehan suara diprediksi bakal ketat.

Bahkan, sejumlah lembaga survei menjagokan Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus (Djoss) yang diusung PDIP akan menang. Namun, hasil quick count menunjukkan perolehan berbeda. Di Jawa Barat, diprediksi pasangan cagub Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi bakal mendulang suara terbanyak ternyata berada di posisi ketiga.

Pada Pilgub Jawa Tengah, duet Ganjar-Yasin yang diusung PDI Perjuangan, PPP, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat diprediksi menang jauh dari rivalnya, Sudirman Said-Ida Fauziah, yang diusung Gerindra, PKB, PAN, dan PKS.

Akan tetapi, hasil quick count menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh. Kejutan besar justru terjadi di pemilihan gubernur di Jawa Timur. Calon gubernur Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno justru kalah dari Khofifah-Emil.

Padahal, awalnya diprediksi Khofifah akan kalah, apalagi dalam dua pemilihan sebelumnya berturut-turut kalah. Melihat perbedaan yang cukup mencolok ini, secara kritis wajar bila masyarakat bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah muncul kejutan atau justru kredibilitas lembaga surveinya yang perlu dikaji kembali.

Terlebih, perbedaan margin jauh di atas toleransi yang diklaim masing-masing lembaga bersangkutan. Faktanya, di kalangan masyarakat saat ini, banyak yang menganggap sebagian lembaga survei mempunyai kepentingan, ikut memilih kandidat tertentu. Tanpa evaluasi mendalam, jika hasil survei sangat berbeda jauh dengan kenyataan, bisa-bisa kepercayaan rakyat pada kredibilitas sebagian besar lembaga survei tersebut akan semakin merosot.

Jika lembaga survei tidak benar-benar dijalankan secara profesional akan sangat memengaruhi opini masyarakat. Ketika hasi survei menunjukkan keunggulan pasangan tertentu, berarti memberi branding positif pada kandidat bersangkutan.

Sebaliknya, bila kandidat tertentu diumumkan punya elektibilitas rendah, berarti branding mereka jadi negatif. Ini menjadi catatan penting bagi rakyat, sudah saatnya mereka menjadi pemilih yang lebih cerdas. Pilihlah kandidat dengan mempertimbangkan visi dan kualitas calon, amati track record mereka. Dua hal di atas jauh lebih penting daripada terpengaruh branding, pencitraan, serta perilaku positif sesaat yang ditunjukkan hanya demi kepentingan kampanye semata.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement