REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sejak Presiden Donald Trump bersinggasana di Gedung Putih pada Januari tahun lalu, penguasa Israel makin leluasa untuk memiting perjuangan bangsa Palestina. Sejak kampanye, Trump memang sudah terang-terangan akan membela kepentingan negara Zionis itu. Antara lain akan memindahkan Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Janji kampanye itu pun ia laksanakan dengan baik. Pertengahan Mei lalu resepsi meriah telah diselenggarakan di gedung Kedubes AS yang baru di Yerusalem, dihadiri anak dan menantu Trump, Ivanka Trump dan Jared Kouchner. Selain menantu, Kouchner juga merupakan penasihat Gedung Putih dan utusan khusus Presiden Trump untuk Timur Tengah. Resepsi itu menandai pemindahan secara resmi Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Mereka - para penguasa Israel dan pejabat Gedung Putih pun tidak peduli pada berbagai protes yang dilancarkan masyarakat internasional. Termasuk oleh para warga Palestina sendiri. Bahkan protes itu mereka hadapi dengan aksi-aksi keras militer Israel, lengkap dengan persenjataan canggih mereka. Tercatat hampir seratus warga Palestina menjadi syahid terkena peluru tentara Zionis Israel pada Mei lalu, dan ribuan luka-luka, ringan dan berat.
Alasan Trump membela Israel, karena negara Yahudi itu ia anggap paling demokratis di lingkungan negara-negara Arab. "(Israel) salah satu negara demokrasi yang paling sukses di dunia,’’ ujar Trump saat memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem pada Mei lalu.
Klaim Trump tentu sebuah kebohongan besar seperti beberapa hal yang sering ia katakan selama ini. Pun kebohongan itu sengaja diulang-ulang oleh para pemimpin Israel agar menjadi ‘kebenaran’. Sayangnya ‘kebenaran yang bohong’ itu sudah memengaruhi para politisi Barat, termasuk sebagian dari kita. Banyak dari kita pun ‘kena tipu’ dengan kampanye ‘serbabaik’ Israel ketika menerima undangan berkunjung ke negara Zionis itu.
Lihatlah bagaimana ketika Rabu lalu (18/7) Knesset (parlemen Israel) meloloskan undang-undang (UU) yang menetapkan Israel sebagai negara khusus bagi Yahudi. Sekali lagi, negara yang hanya diperuntukkan bagi warga Yahudi. Undang-undang itu dinamai dengan Konstitusi Negara Bangsa Yahudi. Salah satu inti dari undang-undang ini adalah "tanah Israel adalah tanah air bersejarah orang-orang Yahudi" dan bahwa "Negara Israel adalah negara nasional bagi orang-orang Yahudi dan di sana (Israel) mereka menjalankan haknya yang alami--budaya, agama, dan sejarah--untuk penentuan nasib sendiri".
Konstitusi yang baru itu juga menggarisbawahi bahwa "Yerusalem yang utuh dan bersatu merupakan ibukota Negara Israel". Berikutnya, "bahasa Ibrani merupakan bahasa resmi negara". Dengan demikian bahasa Arab telah dicabut dari daftar bahasa resmi Israel. Selanjutnya, undang-undang ini juga menyatakan "pembangunan permukiman Yahudi merupakan kepentingan nasional".
Undang-undang yang telah disetujui oleh 62 anggota parlemen Israel (Knesset) dan ditolak oleh 55 anggota ini sebenarnya telah lama dipersiapkan. Selama bertahun-tahun, rancangan undang-undang itu gagal disahkan karena ditolak oleh sebagian besar anggota parlemen. Tentu saja karena desakan masyarakat internasional, termasuk para Presiden AS sebelum ini. Baru pada masa Presiden Donald Trump, undang-undang yang mengistimewakan para warga Yahudi ini berhasil disetujui mayoritas anggota parlemen dan kemudian disahkan menjadi undang-undang atau konstitusi negara.
Undang-undang baru Israel ini tentu saja disambut gegap gempita oleh para warga Yahudi. Terutama oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. "Ini adalah negara kita, negara Yahudi, bahasa kita, bahasa Ibrani, hak kita untuk hidup, dan nyanyian kita adalah Hatikva," katanya.
Sebaliknya, bagi warga Arab dan Palestina, undang-undang yang baru disahkan oleh parlemen Israel ini jelas merupakan ‘kiamat’. Perjuangan untuk memperoleh Negara Palestina Merdeka di atas tanah airnya sendiri dengan ibukota abadi al-Qud as-Syarif (Yerusalem Timur) akan semakin panjang dan berliku. Para anggota parlemen dari Arab langsung menyobek rancangan undang-undang yang baru disahkan oleh Knesset sebagai protes. Sang ketua parlemen pun langsung mengusir mereka dari sidang. "Apartheid, apartheid…!" teriak para anggota Knesset dari Arab ini ketika keluar ruangan.
Apartheid merupakan sistem berdasarkan pada pembedaan ras, diterapkan oleh para warga kulit putih yang berkuasa di Afrika Selatan sejak abad ke-20 hingga tahun 1990. Melalui undang-undang ini penduduk Afrika Selatan digolongkan menjadi empat kelompok. Yaitu, kulit putih keturunan Eropa merupakan warga kelas satu yang berhak memerintah. Sedangkan warga kulit hitam yang merupakan penduduk asli, orang Asia--kebanyakan keturunan Pakistan dan India--dan orang kulit berwarna serta berdarah campuran dianggap wabagai warga kelas dua atau bahkan kelas tiga.
Atas perjuangan tanpa lelah dari para warga kulit hitam yang dipimpin Nelson Mandela dan dukungan masyarakat internasional, undang-undang rasial ini pun akhirnya runtuh. Apartheid pun dihapuskan dari Afrika Selatan pada 1990. Dan, pada tahun itu untuk pertama kalinya Afrika Selatan pun menyelenggarakan pemilu tanpa pembatasan rasial.
Di Israel, warga Arab dan Palestina sudah mendiami sebuah kawasan yang bahkan sebelum Israel mendeklarasikan kemerdekaannya di atas wilayah itu pada 1948. Kini, jumlah orang Arab Israel diperkirakan mencapai 1,4 juta, di antaranya terdiri dari 160 ribu warga Palestina yang tetap tinggal di tanah mereka setelah pembentukan negara Israel. Mereka mencakup sekitar 20 persen populasi Israel.
Para warga Arab ini selama puluhan tahun, meskipun secara hukum memiliki hak yang sama, mengeluhkan telah diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Mereka telah lama mengalami diskriminasi, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Mereka juga tidak mempunyai akses pada kekuasaan.
Kini, sistem apartheid bin rasial itu benar-benar telah resmi diterapkan Israel. Dan, yang memprihatinkan, negara yang menerapkan undang-undang rasial ini justru didukung penuh oleh Presiden Trump yang mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi di seluruh dunia. Dukungan yang antara lain dalam bentuk memveto setiap resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB yang dianggap merugikan kepentingan Zionis Israel.
Karena itu, yang bisa kita baca adalah Gedung Putih atau Presiden Trump sebenarnya tidak peduli dengan demokrasi atau apa pun. Yang mereka pudulikan adalah kepentingan. Dengan demikian, tidak aneh bila Gedung Putih mendukung para penguasa yang tidak demokratis, bahkan diktator bin otoriter sekalipun. Juga negara-negara dan penguasa yang menerapkan sistem apratheid dan rasial seperti Israel.
Lalu apa kepentingan AS untuk selalu mendukung Israel? Tidak ada lain kecuali untuk membuat kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dan gas tidak stabil. Instabilitas ini diperlukan agar negara-negara tetangga Israel terus mengemis perlindungan pada Paman Sam.
Ujung-ujungnya adalah kepentingan ekonomi. Dari pembelian senjata, pesawat perang, hingga konsesi minyak, gas, dan lainnya. Karena itu, sampai kapan pun Gedung Putih akan terus mendukung dan bahkan memelihara Israel, meskipun negara itu menerapkan sistem apartheid dan bahkan menjajah Palestina.