Selasa 14 Aug 2018 20:25 WIB

Drama Mahfud MD dan Peta Politik Nasional

Kontestasi politik menjadi semakin beradab.

Ahmad Syafii Ma'arif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Ma'arif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ahmad Syafii Ma'arif

Tegang, geli, membosankan, tetapi tidak terlalu gaduh. Itulah kira-kira potret perpolitikan nasional kita bulan Juli dan Agustus 2018 ini. Nama Mahfud MD telah jadi buah bibir publik pada minggu-minggu terakhir ini, sebagai cawapres untuk pejawat presiden yang sekarang untuk Pilpres 2019 sekalipun yang bersangkutan tenang-tenang saja. Dari seorang menteri lingkungan istana saya diberi tahu bahwa Mahfud memang telah diplot untuk mendampingi pejawat pada periode yang akan datang sekiranya terpilih kembali. Sementara, beberapa teman di BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) juga telah bergerak ke jurusan yang sama. Bahkan, telah mengutus salah seorang anggotanya menjumpai tokoh politik berpengaruh di negeri ini agar mempertimbangkan sosok Mahfud untuk posisi di atas.

So far so smooth, tidak ada sebuah rintangan yang berarti. Tetapi, proses pertarungan politik sering tidak bisa diramalkan. Di detik-detik terakhir pada 9 Agustus ini berlakulah sebuah drama yang sebelumnya tak terduga: Mahfud tersingkir secara tragis dari pencalonan pada saat-saat yang bersangkutan sudah siap memasuki gelanggang deklarasi. Semua elite parpol pengusung Jkw secara “kejam” tiba-tiba memunculkan Prof DR KH Ma’ruf Amin untuk menggantikan posisi Mahfud, sedangkan presiden seperti tak berdaya berhadapan dengan para politisi yang lagi garang ini.  Publik terkejut, lemas, dan bingung dalam membaca situasi apa sebenarnya yang tengah berlangsung.

Pada malam Kamis tanggal di atas, saya coba kontak via telepon tokoh-tokoh penting di negara ini: presiden, mantan presiden, beberapa menteri, politisi, dan petinggi pers nasional untuk menanyakan tentang drama Mahfud di atas. Semuanya tersambung dan telah memberikan penjelasan menurut versinya masing-masing yang tidak perlu direkam di sini. Bung Jeffrie Geovanie (DPD RI), Fajar Zia Ul Haq, Endang Tirtana yang bersama saya malam itu menyimak dengan saksama pembicaraan dengan orang-orang penting itu. Sekalipun kecewa, mereka mudah memahami peradaban politik di Indonesia yang memang baru sampai pada tingkat yang sekarang ini. Hanya mereka merasa iba dan prihatin karena Mahfud telah menjadi korban politik dengan cara sekasar itu.

Di ranah lain, pertarungan elite politik tidak kurang serunya, tetapi yang diperebutkan bukan kursi presiden, tetapi posisi wakilnya yang kemudian mengerucut pada Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno untuk cawapres Prabowo Subianto. Maka, pada 17 April 2019, pasangan Jkw/Ma’ruf Amin akan berhadapan dengan pasangan Prabowo Subianto/Sandiaga Salahuddin Uno. Kedua kubu sudah sama berjanji untuk menjaga pilpres berlangsung damai, aman, dan nyaman, sebuah iklim yang memang demikian itu diharapkan masyarakat luas. Suasana “perang” seperti yang berlaku dalam Pilkada DKI yang lalu adalah bentuk kebiadaban politik. Kita ingin kontestasi politik menjadi semakin beradab agar negara Pancasila ini memberikan suasana aman untuk didiami.

Fenomena lain yang cukup mengundang gelak terbahak adalah perilaku seorang pemimpin partai demi ingin melestarikan dinastinya, telah, menggelepar kian ke mari seperti cacing kepasanan. Akhirnya, yang diperoleh adalah bergabung dengan salah satu kubu karena strategi politiknya yang kabarnya jitu itu ternyata kandas di berbagai penjuru. Alangkah sunyinya negeri ini dari sosok negarawan yang lebih memikirkan masa depan bangsa dan negara, bukan perpanjangan dinasti yang menjadi ranah politisi tunajam terbang.

Gejala lain lagi yang tidak kurang membuat kening berkerut adalah sikap sebuah partai yang mengunci gerak dan langkah seorang capres untuk mendapatkan calon wakilnya. Saya tidak tahu apakah di negara-negara lain perebutan posisi cawapres yang hiruk ini juga dialami. Bahkan, terkesan salah satu calon yang diajukan seperti asal-asalan. Maka berlakulah seperti nasib seorang yang nyaris tenggelam di air, benda apa pun akan dipegangnya untuk menyelamatkan diri, tidak peduli barang najis sekalipun.

Di tengah gelanggang politik yang demikian itulah seorang Mahfud MD digelar pada pusaran kekuasaan yang aneh sementara ini, padahal saya sudah memberikan ucapan selamat kepadanya. Bagi kedua pasangan di atas, saya sebagai seorang senior citizen mengimbau agar berkompetisi secara sehat dan adu program dalam pilpres tahun depan. Buang topeng-topeng, tampilkan wajah yang autentik, berseri, dan menawan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement