REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Azyumardi Azra
Keragaman Islam sebagai realitas sosio-historis juga terlihat dari ranah budaya Islam ketujuh, yaitu Anak Benua India. Wilayah budaya Islam ini dulu pernah berjaya dengan Kesultanan Mughal (1526-1857) yang kemudian dikuasai kolonialisme Inggris. Meninggalkan ranah budaya Islam ini seusai Perang Dunia II, Inggris membagi Anak Benua India pada 15 Agustus 1947 menjadi India, Pakistan Barat, dan Pakistan Timur (kemudian Bangladesh pada 26 Maret 1971).
Menyebar sejak pertengahan abad ke-7 M, Islam kini menjadi agama mayoritas di Pakistan (sekitar 190 juta), Bangladesh (166 juta), dan India (minoritas terbesar sekitar 180 juta). Berkembang di lingkungan masyarakat Hindu, Islam Anak Benua India cenderung mistikal, sehingga mendorong munculnya berbagai gelombang pemurnian, seperti gerakan jihad Syekh Ahmad Shahid (1786-1831), gerakan Ahl-i Hadith, dan Jama’t-i Islami.
Ranah budaya Islam kedelapan adalah Dunia Indonesia-Melayu, yang dalam literatur Arab dan Persia klasik disebut sebagai ‘bilad al-Jawi’ atau ‘Negeri Bawah Angin’, atau Kepulauan Nusantara yang sejak masa pasca-Perang Dunia II disebut sebagai Asia Tenggara. Wilayah Muslim Kepulauan Nusantara yang terdiri atas lebih dari 20 ribu pulau dan semenanjung (Malaya), disatukan lautan, laut, selat, dan sungai menjadi Benua Maritim.
Dengan karakter geografis seperti itu, wilayah budaya Islam ini sangat cair (fluid). Orang bisa berlayar dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan perahu layar. Karena itu, wilayah ini bersifat kosmopolitan, terbuka pada dunia luar, menjadi persimpangan perdagangan internasional yang memungkinkan terjadinya pertukaran ekonomi, sosial, budaya, agama, sistem politik.
Oleh karena itulah para pedagang Islam dari Arabia, Persia, dan Eropa telah datang ke wilayah ini sejak masa pra-Islam dan khususnya abad ke-7. Tetapi, tidak terdapat bukti meyakinkan para pedagang dari Arabia dan Persia aktif dalam melakukan Islamisasi; mereka lebih menghabiskan banyak waktu untuk berdagang.
Penyebaran Islam secara masif di kalangan masyarakat pribumi baru terjadi sejak pertengahan kedua abad ke-12 dan seterusnya dengan agen Islamisasi utama adalah guru-guru pengembara berkarakter Sufi.
Para penyiar Islam ini secara tipikal diwakili Wali Songo di Tanah Jawa atau tiga penyiar Islam asal Minang di Sulawesi Selatan: Datuk ri Tiro (aslinya Abdul Jawad), Datuk Patimang (Sulaiman Sulung) dan Datuk ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal). Mereka juga disebut-sebut menyiarkan Islam di NTB. Juga ada pengembara-penyiar Islam asal Minangkabau lain, Datuk Karoma di Sulawesi Tengah.
Berkarakter tasawuf inklusif, para penyiar Islam yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain menyiarkan Islam, mereka memiliki kecenderungan kuat berlaku akomodatif pada kepercayaan dan budaya lokal.
Dengan pendekatan akomodatif dan inklusif, bisa dipahami Islam di Kepulauan Nusantara umumnya bersifat sinkretik—bercampur dengan kepercayaan dan budaya pra-Islam. Tetapi, dalam perjalanan waktu yang panjang, berbagai kepercayaan, pranata, dan lembaga lokal mengalami proses Islamisasi yang berkelanjutan, sehingga menjadi bagian integral tradisi Islam di ranah budaya Islam Kepulauan Nusantara.
Dalam kaitan itu, sepanjang proses Islamisasi mendekati ortodoksi dan ortopraksi, Islam Kepulauan Nusantara melibatkan ketegangan dan konflik di antara Islam berorientasi fikih dengan Islam yang menekankan tasawuf. Puncaknya menghasilkan rekonsiliasi antara kedua aspek Islam itu yang menemukan momentum terkuatnya sejak abad ke-17.
Rekonsiliasi terjadi, terutama berkat banyak ulama Bilad al-Jawi yang kembali dari menuntut ilmu-ilmu keagamaan Islam di Makkah dan Madinah. Sebagian mereka menetap di Makkah, tetapi tetap menyebarkan rekonsiliasi kepada para murid Jawi.
Para ulama ini sejak abad ke-17, 18, dan 19, seperti ‘Abdurrauf al-Singkili, Nuruddin al-Raniri, Muhammad Yusuf al-Makassari, Abdus Shamad al-Palimbali, Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Khatib al-Sambasi, Nawawi al-Bantani, Muhammad Saleh Darat al-Samarani, Mahfudz al-Termasi, Ahmad Khatib al-Minangkawi memainkan peran penting dalam konsolidasi Islam Kepulauan Nusantara.
Rekonsiliasi antara fikih dan tasawuf itu menghasilkan ortodoksi dan ortopraksi Islam Kepulauan Nusantara, yang terdiri atas tiga aspek yang mencerminkan Islam Wasathiyah. Pertama, secara kalam (teologi) mengikut Asy’ariyah-Maturidiyah; secara fikih terutama mengikuti Mazhab Imam Syafii; dan secara tasawuf mengikuti tasawuf al-Ghazali dan Junayd al-Baghdadi.
Ortodoksi dan ortopraksi ini terus bertahan sampai sekarang. Berpadu (embedded) dengan budaya lokal yang umumnya telah mengalami Islamisasi dan santrinisasi, Islam Kepulauan Nusantara merupakan Islam Wasathiyah yang inklusif, akomodatif, dan tasamuh. Meski dalam perjalanan sejarahnya belakangan, Islam Wasathiyah Kepulauan Nusantara ditantang paham dan praksis Islam literal, Islam Kepulauan Nusantara terlalu besar untuk bisa gagal.