REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia
“Rupiah naik turun itu cuma masalah percaya.” Seorang pria tua menyela dengan suara keras, ketika peserta diskusi lain di sekitarnya berebut mengungkap teori alasan terperosoknya mata uang Indonesia.
“Maksudnya?” satu peserta bertanya balik.
“Selama orang percaya pada rupiah, maka kuat, kalau tidak, ya akan lemah. Kalau orang percaya rupiah akan menguat besok atau lusa, pastilah yang keep akan buru-buru menjual dolarnya. Daripada rugi! Betul, kan?”
“Tidak sesederhana itu, Bung. Rupiah lemah karena nilai ekspor kita kalah dengan impor!” Teman di sebelahnya mencoba menjelaskan, tapi langsung dibantah si bapak.
“Percuma punya ekspor besar kalau eksportir kita tidak percaya pada rupiah. Sekarang ini hasil devisa ekspor hanya 10 persen yang dikonversi jadi rupiah, 90 persen sisanya tetap dalam bentuk mata uang asing. Padahal untuk bahan baku, mereka mungkin hanya butuh 60 persen nilai dolar. Kenapa 30 persennya tidak dirupiahkan? Karena mereka tidak percaya rupiah akan menguat.”
Pria berambut putih itu menjeda sebentar, mencicip satu dua teguk air putih sebelum melanjutkan.
“Lucunya, para eksportir itu tidak bisa dipaksa untuk merupiahkan dolar mereka. Dilindungi undang-undang. Lah, padahal kan sudah dapat kemudahan bebas pajak ekspor, tetap saja ogah merupiahkan dolar mereka, ini kan namanya enak sendiri. Kalau begitu lebih baik ganti undang-undangnya, buat saja perpu, atau lebih baik dipajaki sekalian, supaya mereka merupiahkan dolar yang di tangan.”
Sejenak hening, bermacam reaksi muncul. Ada yang tepekur. Ada yang menggeleng tidak setuju. Ada juga yang mengangguk membenarkan. Seorang penganut teori krisis global kemudian angkat bicara. “Menurut saya, rupiah itu terperosok karena krisis global. Lihat Turki, Iran, Argentina, mereka juga mengalami kok!”
Pandangannya tajam menatap bapak tua dengan wajah teduh yang kini menjadi sentral perhatian. Si bapak berusia paruh baya tersenyum kecil, sebelum memberikan argumen. Merespons tatapan tidak percaya yang tertuju kepadanya.
"Rupiah terjun bebas itu masalah percaya. Ingat, ketika Yunani krisis, mata uang Eropa nyaris ambruk, mata uang rupiah oke, tidak separah sekarang. Ingat ketika Amerika sempat krisis beberapa tahun lalu, buktinya rupiah pun baik-baik saja. Karena Turki, Iran, Argentina? Ah, jelas pengaruhnya tidak sebesar Eropa dan Amerika. Jadi, sekalipun krisis global menimpa, sepanjang masyarakat percaya mata uang kita tetap stabil. Semuanya akan baik. Sebaliknya, jika terjadi krisis walau kecil saja hingga masyarakat tidak percaya lagi dengan rupiah, pasti segera berdampak buruk. Intinya, masalah kepercayaan ini penting sekali."
Kali ini ini para peserta diskusi terdiam lebih lama. Si bapak menarik napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Jadi penyebab rupiah belum menguat, karena eksportir, spekulan, pemegang dolar, pemain valas, penabung dolar, mereka tidak percaya pemerintah atau bank sentral sanggup menguatkan rupiah. Karena itu, mereka menahan dolar yang dimiliki, sekadar berjaga untuk pembelian atau mencari keuntungan. Makanya, membangun kepercayaan menjadi tantangan besar."
Kali ini lebih banyak kepala membenarkan. Tercapaikah kata mufakat diskusi? Di saat seolah tidak ada lagi yang berniat menyanggah, bapak berwajah teduh menambahkan teori lain.
“Rupiah melemah juga terkait masalah respek!”
Lho, apa lagi ini maksudnya? Kembali terbit rasa penasaran para peserta diskusi. “Kita selama ini menyepelekan TKI. Padahal mereka penyumbang devisa yang nyata. Tidak seperti eksportir, nyaris semua penghasilan para buruh migran langsung dikonversikan dalam rupiah. Ditransfer ke Indonesia. Mereka pahlawan devisa yang sejati. Sayangnya, justru diabaikan, diperlakukan tidak layak, digaji rendah, dan tidak dilindungi. Padahal, jika kita beri mereka respek dan perlindungan, gaji mereka akan tinggi, nasibnya lebih terjamin, dan devisa akan masuk dalam jumlah jauh lebih besar.”