REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sikap politik luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, sudah sangat jelas, bila menyangkut kawasan Timur Tengah. AS akan terus mempertahankan pengaruhnya terhadap negara-negara Arab, termasuk kehadiran militer dengan segala personil dan persenjataan di kawasan bergejolak itu. Namun, kehadiran AS bukan untuk kepentingan minyak, seperti diduga banyak pihak.
Bagi Trump, minyak dari Timur Tengah, termasuk dari Arab Saudi, bukan urusan yang pelik, apalagi njlimet. Dengan ancaman dan instrumen-instrumen lain, ia bisa dengan mudah menurunkan harga minyak dunia. Lihatlah, ketika Trump menegaskan negaranya akan tetap dan terus mendukung Arab Saudi, terlepas apakah sang putra mahkota Muhammad bin Salman terlibat atau tidak dengan pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.
Sejak itu harga minyak mentah dunia pun turun drastis. Bahkan penurunan harga emas hitam itu per barel kini sudah memecahkan rekor. Seperti diketahui, Saudi merupakan produsen terbesar minyak dunia.
Sebelumnya, Trump juga mengatakan kekuasaan Saudi akan ambruk hanya dalam dua pekan kalau tidak didukung AS. Karena itu, ia meminta agar Saudi tidak bisa seenaknya menaikkan harga minyaknya. Bukan hanya penurunan harga minyak dunia, Trump pun mendapat komitmen kontrak senjata dengan Saudi dengan nilai miliaran dolar.
Lalu kepentingan apa yang mendasari Trump untuk memperkuat pengaruh AS di Timur Tengah?
Menurut pengamat politik Timur Tengah Hamada Fara’ana, kepentingan mendasar Trump di Timur Tengah adalah untuk menjamin keberlangsungan penjajah Zionis Israel atas wilayah Palestina. Tidak penting baginya hak asasi manusia. Trump juga tidak peduli jika Israel telah menyita tanah air dan menjarah hak-hak rakyat Palestina.
Yang terpenting bagi Trump adalah Zionis Israel bisa terus menjajah Palestina, tunduk pada kemauannya, dan bertindak sesuai dengan perintah dan instruksinya. Baginya, tidak penting apakah pejajahan Israel itu melanggar resolusi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dan hukum internasional. Bagi Trump, Palestina bukanlah bangsa. Ia hanyalah segerombolan orang marah yang menuntut bukan haknya, karena itu tidak perlu mendapat perhatian berlebihan.
Coba saksikan, bagaimana Presiden Donald Trump bisa dengan mudah memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Meskipun, pemindahan Kedubes itu melanggar keputusan internasional yang memposisikan Yerusalem sebagai status quo. Trump juga tidak mempedulikan protes-protes masyarakat internasional yang mengecam pemindahan kantor perwakilan AS ke Yerusalem.
Sanksi berat yang dijatuhkan Trump kepada Iran pun tidak jauh dari urusan kolonialisme Israel. Bahkan, untuk urusan sanksi kepada Iran ini, ia ringan hati membatalkan penjanjian nuklir dengan negara Ayatullah Imam Khamanei. Penjanjian itu ditandatangani oleh Presiden AS sebelumnya, Barack Obama.
Di mata Trump, Iran harus dilemahkan. Sebab, negara yang beberapa bulan ke depan akan memperingati Hari Kemenangan Revolusi Islam itu paling berpotensi untuk menyerang Zionis Israel. Dalam pandangan Trump, Iran merupakan negara yang paling mampu mengembangkan berbagai senjataan canggih militernya secara mandiri. Tidak seperti negara lain di Timur Tengah yang memperkuat persenjataannya dengan membeli dari negara lain.
Sikap politik Trump itu, menurut Hamada Fara’ana, tentu telah membuat frustasi bagi mereka yang berjiwa lemah. Namun, menurut kolomnis yang juga politisi dari Yordania ini, sikap politik orang nomer satu di Gedung Putih itu seharusnya justru menjadi motivasi bagi mereka yang berkomitmen untuk menegakkan keadilan.
Terutama tokoh-tokoh dan para pemimpin bangsa Palestina sendiri. Sikap politik luar negeri Trump di Timur Tengah seharusnya menjadikan mereka, para pemimpin Palestina itu, memahami prioritas dalam memperjuangkan kepentingan bangsa Palestina.
Menurut Fara’ana, peran orang luar atau para pemimpin dan masyarakat internasinal hanyalah membantu dan mendukung perjuangan bangsa Palestina. Aktor utama dalam perjuangan itu tetap para pemimpin bangsa Palestina itu sendiri.
Namun, yang patut disayangkan, katanya, dalam kondisi yang menuntut persatuan bangsa dan para pemimpin Palestina dan kesatuan institusi-institusi nasional mereka, yang terjadi justru sebaliknya. Para pemimpin dan warga Palestina sendiri malah tercerai-berai dalam banyak faksi dan kepentingan.
Karena itu, yang harus segera dipahami para pemimpin Palestina adalah bagaimana menemukan peran kolektif yang paling cocok untuk membentuk kemitraan nasional antara faksi Fatah, Hamas, dan kubu kelompok-kelompok sosialis. Tiga kelompok politik ini semestinya membentuk sebuah kekuatan yang bisa menjadi dasar untuk perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina — baik politik, pergerakan, maupun kepartaian.
Pembentukan kekuatan ini juga harus melibatkan kekuatan-kekuatan lain dari para tokoh independen, baik pelaku ekonomi, aktivis sosial, intelektual, tokoh berpengaruh dalam pembentukan opini publik, maupun para pemimpin lembaga masyarakat sipil.