REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia
Ketika Aksi 212 pertama kali berlangsung 2016 lalu, saya sedang tidak berada di Tanah Air sehingga tidak menghadirinya. Beruntung, dalam Reuni 212 tahun ini saya berkesempatan meramaikan dan merasakan aura positif yang begitu luar biasa.
Buat saya dan mungkin ratusan ribu orang lain, istilah reuni mungkin kurang tepat. Dengan asumsi jumlah peserta tahun ini lebih besar, bahkan dari pertama kali diadakan, bisa dipastikan banyak peserta yang bukan alumni. Barangkali lebih tepat jika kita menyebutnya sebuah peringatan.
Lantas muncul pertanyaan, mengapa harus diingat? Apa yang diperingati?
Dengan mata kepala sendiri, saya melihat bagaimana seorang ayah dan bunda membawa anak-anak mereka mengikuti aksi. Nyaris sepanjang perjalanan saya tidak menemukan anak yang rewel.
Saya sendiri tidak terlalu sepakat membawa anak kecil ke dalam kerumunan. Tapi, saya menghormati dan bisa mengerti ikhtiar para orang tua yang membawa anak mereka dengan semangat edukasi.
“Ini loh, Nak, umat Islam, kita bisa berkumpul jutaan orang, tapi dalam suasana damai.”
“Lihatlah, Nak, umat Islam. Sekalipun berkumpul tidak mengganggu.”
Mungkin itu yang ingin disampaikan kepada putra-putri mereka.
Semangat ini pula yang mungkin ingin dirasakan kembali oleh para alumnus dan juga peserta yang tidak menghadiri aksi pada tahun-tahun sebelumnya.
Hari itu saya menjadi saksi hidup yang ikut merasakan bagaimana jutaan orang berkumpul, tapi tidak merasakan terdorong ke sana-kemari akibat desak-desakan. Massa yang terhenti ratusan mungkin kiloan meter jauh dari Monas tidak memaksakan diri merangsek ke pusat aksi.
Semua punya kesadaran untuk menjaga ketertiban. Bahkan, sepeda motor yang mengunci arus lalu lintas di setiap kemacetan yang kita lihat sehari-hari, masih jauh lebih semrawut dari suasana peringatan 212, padahal jumlah motor hanya belasan. Bukankah ketertiban seperti ini layak dirayakan?
Aksi 212 layak diperingati karena hampir setiap peserta aksi punya kesadaran bahwa mereka tidak hanya membawa diri sendiri, tapi juga image, brand, serta identitas seorang Muslim.
“Jangan injak rumput, ya.”
“Sudah jangan dorong, kalau sudah tidak ada tempat, sabar dulu saja.”
“Itu sampah ayo kumpulkan, jangan sampai menumpuk mengotori jalan.”
Dialog saling mengingatkan sangat sering terdengar sepanjang aksi. Saya sendiri sejujurnya tidak mendengar satu pun obrolan politik sepanjang aksi. Semua larut dalam kebersamaan dan zikrullah.