REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Berikut kisah Rahaf Muhammad al-Qunun. Ia adalah gadis belia Arab Saudi, 18 tahun (11 Maret 2000), dengan enam orang saudara. Ayahnya, Muhammad bin Mutlaq al-Qunun al-Syamiry, pejabat tinggi di al-Sulaimi, Wilayah Ha’il, utara Arab Saudi. Hingga beberapa hari lalu, Rahaf hanyalah remaja putri pada umumnya.
Namun, sejak Sabtu (05/01) pekan lalu, namanya mendadak terkenal. Gara-garanya, ia—lewat Twitter—meminta suaka politik ke Amerika Serikat (AS), Kanada, atau Australia. Yang mengejutkan, alasan minta suaka—masih via Twitter—kalau ia kembali ke negaranya, gadis belia ini mengaku akan dibunuh oleh keluarganya.
Rahaf mengatakan, keluarganya telah menjodohkannya dengan seorang laki-laki pilihan mereka. Ia menolak. Sikap keberagamaan keluarganya telah membuatnya sumpek.
Ia pun mengaku murtad. Menolak perjodohan dan murtad (keluar dari Islam) di masyarakat Saudi, sanksinya sangat berat. Rahaf mengatakan, ia hanya ingin menikmati kebebasan, belajar, dan bekerja seperti perempuan lain di berbagai belahan dunia. Sebuah gambaran hidup yang ia akses lewat media daring.
Rahaf Mohammed Alqunun (tengah) bersama Menlu Kanada Chrystia Freeland (kanan) saat tiba di Toronto Pearson International Airport, Sabtu (12/1).
Rahaf mengajukan permintaan suaka ketika ia berada di bandara Bangkok, dalam perjalanan dari Kuwait menuju Australia, Sabtu pekan lalu (05/01). Keluarganya memang sering mondar-mandir Ha’il-Kuwait. Nah, saat berada di Kuwait itulah Rahaf kabur dari keluarganya. Ia terbang ke Bangkok.
Perjalanan udara gadis belia ini ternyata tidak semulus yang direncanakan. Saat transit di Bandar Udara Suvarnabhumi, polisi bandara mencegahnya untuk melanjutkan terbang ke Australia. Alasannya, dokumen perjalanannya tidak lengkap. Kabar lain mengatakan, pejabat Arab Saudi menyita paspornya dan memaksanya untuk kembali ke keluarganya di Kuwait. Namun, berita ini belakangan dibantah pihak Arab Saudi.
Sebagai upaya mencegah pendeportasian, Rahaf membarikade diri dalam kamar hotel di lingkungan bandara. Media Twitter senjatanya. Gadis belia ini tampaknya sangat terampil menggunakan medsos untuk menghimpun kampanye yang ia sebut ‘menyelamatkan kehidupannya’ lewat internet. Ia pun mencicitkan kondisinya, perlakuan yang dialaminya, dan alasan permintaan suaka.
‘’Saya anak perempuan yang melarikan diri ke Thailand. Saya sekarang dalam keadaan bahaya karena kedutaan besar Arab Saudi mencoba untuk memaksa saya pulang,’’ demikian isi cicitan pertamanya dalam bahasa Arab. Kemudian, dia mengatakan sesuatu yang banyak mendapatkan perhatian. ‘’Saya ketakutan. Keluarga saya akan membunuh saya.’’
Cicitan demi cicitan yang dilancarkan Rahaf dari kamar hotelnya pun segera mendapatkan respons para pengguna media sosial. Dari hanya diikuti 24 orang, akun baru Twitter miliknya dalam waktu kurang dari 24 jam diakses 27 ribu orang. Dan, di akhir drama lima hari tersebut, gadis belia ini sudah memiliki 126 ribu pengikut.
Perhatian masyarakat internasional terhadap nasib Rahaf juga terbantu oleh cicitan aktivis perempuan AS asal Mesir, Mona Eltahaway. Dalam beberapa menit setelah melihat cicitan remaja perempuan Saudi ini, Mona pun menerjemahkannya dalam bahasa Inggris dan mengirimkannya ke ratusan ribu pengikutnya. Cicitan dengan hashtag #SaveRahaf hanya sehari sudah terdapat lebih dari setengah juta cicitan.
Ketakutan dan keputusasaan yang disampaikan lewat cicitan tampaknya telah mengundang simpati dan dukungan pengguna Twitter. Termasuk media, aktivis kemanusiaan, Human Rights Watch, para diplomat, Pemerintah Thailand, dan pejabat tinggi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees/Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi).
Singkat kata, drama gadis belia yang melarikan diri dari keluarganya ini kini telah berakhir. Ia telah keluar dari bandara. Ia kini berada di suatu tempat di bawah perlindungan UNHCR bekerja sama dengan pihak berwenang Thailand sambil menunggu negara yang bersedia menerima suakanya.
Pemerintah Australia menyatakan sedang mempelajari permohonan suaka gadis remaja ini. Hingga beberapa hari lalu, Rahaf masih menolak menemui ayah dan abangnya yang telah tiba di Bangkok.
Rahaf Muhammad al-Qunun bisa jadi merupakan potret dari kehidupan kaum perempuan masyarakat Saudi. Sebuah masyarakat dengan konsep di mana posisi perempuan sebagai swarga nunut neraka katut alias konco wingking, yaitu laki-laki memiliki kedudukan istimewa, lebih dominan daripada perempuan.
Di Saudi, protret kehidupan perempuan seperti itu tampak pada sistem perwalian. Perempuan harus mendapatkan persetujuan dari laki-laki untuk hal apa pun: membuat paspor, keluar rumah, pergi ke luar negeri, melanjutkan sekolah, menikah, keluar dari penjara, bahkan juga saat meninggalkan panti rehabilitasi korban kekerasan dan pelecehan. Juga ketika mereka membuka rekening bank, memulai bisnis, melakukan operasi penyakit tertentu, dan seterusnya.