Selasa 26 Feb 2019 11:00 WIB

Semuanya Boleh Atas Nama Agama (II)

Pelaku kekerasan menggunakan agama dengan ayat-ayatnya untuk pembenaran.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Penganut teologi kebenaran tunggal amat susah diajak berdialog. Batok kepalanya keras sekali.

Baca Juga

Yang sangat ironis adalah penganut teologi ini secara lahiriah menampakkan seorang yang taat beragama, bisa membaca Alquran, dan mungkin paham maknanya, tidak mustahil melakukan puasa Daud, rajin salat berjamaah di masjid, sebagaimana yang dikerjakan oleh kaum teroris di Indonesia.

Pengalaman saya saat menjenguk Suliyono di RS Bhayangkara Yogyakarta pada 11 Februari 2018 menguatkan pernyataan di atas. Suliyono (23) adalah penyerang Gereja St Lidwina, Sleman (Yogyakarta), pagi hari pada 11 Februari saat umat Katolik sedang melakukan misa di sana.

Di tempat pembaringannya di Rumah Sakit Polri, Suliyono yang kakinya telah ditembak polisi mengatakan kepada saya bahwa perbuatannya melakukan tindakan kekerasan dalam gereja itu berdasarkan ayat 14 surah at-Taubah yang artinya, “Perangi mereka, niscaya Allah akan siksa mereka dengan perantaraan tanganmu, dan Dia akan hinakan mereka, serta menolongmu melawan mereka dan Dia akan melegakan hati-hati orang-orang yang beriman.”

Suliyono tidak peduli bahwa ayat ini dahulunya berlaku dalam peperangan. Lalu, apakah jamaah Gereja St Lidwina sedang berperang dengan umat Islam? Sama sekali tidak. Kedua komunitas itu telah hidup berdampingan secara damai, tolong-menolong, dan saling menghargai.

Belum pernah terdengar kedua komunitas di sekitar gereja itu saling bermusuhan. Tetapi, mengapa tiba-tiba seorang pemuda asal Banyuwangi itu mau merusak hubungan harmonis itu?

Teks asli ayat itu dibacakan dengan lancar kepada saya oleh pelaku. Tetapi, saat saya katakan bahwa polisi yang melumpuhkannya adalah seorang Muslim, Suliyono terdiam sejenak dan mau minta maaf.

Inilah bahayanya sebuah ayat yang dipahami di luar konteks dan langsung ditabrakkan kepada orang yang dianggap musuhnya. Pelaku teror rata-rata punya penafsiran seperti ini. Sedangkan, polisi pada umumnya tidak paham ayat, sehingga mereka kesulitan untuk menundukkan si pelaku secara teologis.

Agar kita punya perbandingan bahwa tindak kekerasan itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mengaku Muslim. Non-Muslim pun tidak kurang brutalnya terhadap Muslim, sekalipun berlaku di negara lain pada abad-abad pertengahan.

Inilah kesaksian Russell, “Agama Kristen dibedakan dengan agama-agama lain dalam hal kesiapannya yang lebih hebat untuk melakukan tindak penyiksaan (persecution). Buddhisme tidak pernah menjadi agama yang melakukan penyiksaan [di abad-abad itu].

Imperium para Khalifah bersikap lebih ramah kepada kaum Yahudi dan umat Kristen dibandingkan negara-negara Kristen terhadap kaum Yahudi dan umat Islam. Ia [Imperium Muslim] itu membiarkan kaum Yahudi dan umat Kristen itu tak terganggu selama mereka membayar upeti.” (Ibid., hlm. 202).

Russell berupaya objektif dalam merumuskan pandangannya, sekalipun semua agama dinilainya sebagai ajaran yang merusak dan berbahaya. Pada abad tengah korban inkuisisi (penghukuman) Katolik Roma terhadap kaum Yahudi dan umat Islam sudah menjadi warisan hitam dan kelam dalam hubungan lintas agama yang sebenarnya sama-sama berasal dari Episentrum Spiritual Nabi Ibrahim.

Oleh sebab itu, pemahaman dan praktik keagamaan yang terlepas dari kawalan nilai-nilai kenabian dan nilai kemanusiaan yang sejati bisa membawa malapetaka dan kebinasaan bagi umat manusia. Sejarah gelap semacam ini dapat terus terulang berikut korbannya yang sia-sia, jika para penganut agama yang waras dan jujur bersikap diam, acuh tak acuh.

Tragedi Suliyono sebagai pemain tunggal hanyalah sebuah contoh kecil dan pinggiran dalam sejarah panjang praktik penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan rendah, keji, dan biadab.

Akhirnya, Indonesia, tanah air kita bersama, harus dibebaskan dari segala corak tindak kekerasan yang memakai jargon-jargon agama, siapa pun yang melakukan dan dari agama dan ideologi mana pun. Ideologi kekerasan dan sektarianisme yang telah menghancurkan Suriah, Irak, dan negara-negara Arab lainnya harus dibendung dan dinyatakan sebagai sesuatu yang haram dan sumber malapetaka bagi nusantara tercinta ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement