Sabtu 23 Mar 2019 08:57 WIB

Belajar dari Selandia Baru

Warga Selandia Baru menunjukkan solidaritas tinggi terhadap Muslim di sana.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Selandia Baru bukan negara pertama yang mengalami peristiwa pembunuhan massal, melainkan banyak terobosan yang dipelopori pemerintahnya dalam merespons peristiwa tragis tersebut.

Baca Juga

Konon, selalu ada apel busuk dalam satu kontainer. Siapa pun mustahil menjamin semua buah di sana dalam keadaan baik, terlepas kualitas. Dan kali ini apel busuk itu bernama Brenton Tarrant, yang tanpa rasa bersalah, membantai jamaah shalat Jumat di Kota Christchurch secara membabi buta.

Padahal, Selandia baru dikenal sebagai negara yang tenang, damai, ramah, dan sangat nyaman untuk dihuni. Dan peristiwa tragis yang terjadi, terasa menyentak dunia.

Akan tetapi, reaksi perdana menteri, pihak kepolisian, dan lebih dari itu, segenap rakyat Selandia Baru, sangat luar biasa.

Berbeda dengan kebanyakan negara lain yang tidak mudah memberi label teroris jika pelaku kejahatan bukan seorang Muslim, sang Perdana Menteri Jacinda Ardern sebaliknya spontan memberi label tegas pada pelaku.

“Tidak ada kata lain kecuali perbuatan teroris.”

Hal pertama yang dilakukan Selandia Baru. Sang perdana menteri juga tidak berusaha menutupi adanya semangat hegemoni kulit putih di belakang idealisme pembunuhan, tapi dengan tegas pula dia bersikap.

“Kamu memilih kita (sesama kulit putih), tapi kami tidak memilih kamu.”

Langka terjadi, bisa dibilang termasuk yang pertama-tama, seorang kepala negara dari kalangan kulit putih, berani secara lantang menyuarakan demikian usai satu serangan yang menyedihkan.

Selanjutnya, dengan cepat pula, begitu tersangka tertangkap, sidang segera dijadwalkan pada hari berikutnya.

Dunia Islam, dan siapa pun yang peduli akan kemanusiaan, mengangkat topi. Biasanya dibutuhkan waktu berhari, berminggu, bahkan berbulan sejak proses awal hingga masuk ke pengadilan. Tapi sistem peradilan Selandia Baru bergerak sangat cepat dan menggelar pengadilan hanya satu hari setelah kejadian. Ini juga perkara yang rasanya baru pertama terjadi.

Tak berhenti di sana, tanpa menunggu lama, Pemerintah Selandia Baru sigap merevisi undang-undang kepemilikan senjata.

Dari penduduk yang berjumlah sekitar lima juta orang, terdapat 1,5 juta senjata di Selandia baru. Artinya, rata-rata satu dari empat orang di Selandia Baru mungkin mempunyai akses ke senjata api. Meski selama berpuluh tahun kebijakan ini sebelumnya tidak berdampak negatif.

Sayangnya, selalu ada apel busuk. Dan apel busuk ini berwujud manusia yang jika memiliki akses senjata, mampu menggila dan membahayakan manusia lain. Dan tidak ada jaminan bahwa di masa depan hal serupa tak terulang.

Melalui berbagai pertimbangan, Selandia Baru langsung memperketat regulasi kepemilikan senjata. Sebelumnya, dari pengurusan izin senjata api, sekitar 99 persen disetujui. Kini, senapan semiotomatis apalagi otomatis, seluruhnya ditarik dari rakyat.

Jelas sebuah tamparan dan kemunduran besar bagi bisnis senjata, tapi satu kemajuan besar bagi kemanusiaan.

Sesuatu yang tidak pernah berhasil diwujudkan di Amerika Serikat, sekalipun sudah ratusan nyawa bahkan lebih, terenggut akibat bebasnya kepemilikan senjata. Bahkan, meski peluru sudah bersarang di tubuh beberapa presiden Amerika Serikat, upaya pembatasan kepemilikan senjata selalu menemukan jalan buntu.

Dalam kejadian tragis di Selandia Baru juga muncul berbagai peristiwa heroik yang mungkin pertama kali terjadi.

Ketika Tarrant menghujani peluru ke jamaah Masjid An Noor, seorang lelaki, Abdul Aziz namanya, justru mendekati penembak mengambil apa saja di dekatnya dan menantang pria yang sedang asyik dengan senapan di tangannya.

Mendengar tantangan Aziz, sang teroris mengejar dan membombardir Aziz yang berusaha berlari menjauh.

Adegan kucing-kucingan ini menolong banyak jamaah hingga berhasil melarikan diri dan selamat.

Kisah heroik lain muncul ketika warga Selandia Baru non-Muslim justru datang ke masjid-masjid, mengawal warga Muslim beribadah. Mereka duduk di dalam sambil menunggu umat Islam yang mendirikan shalat.

Terlihat sederhana, tapi teramat menyentuh, sebab dalam konteks ini taruhannya adalah nyawa.

Jika sang penyerbu, misalnya, ternyata punya jaringan dan menyerang, barisan non-Muslim yang mengawal ini sangat riskan menjadi korban. Di sisi lain, niat baik ini bisa jadi bekerja, artinya pengawalan yang ada membuat niat penyerang untuk melakukan aksi teroris lanjutan, tertunda.

Kisah heroik lain saat seorang anak remaja dengan berani memecahkan telur di kepala seorang anggota dewan, karena sang senator menganggap peristiwa pembantaian ini beralasan alias sesuatu yang bisa diterima.

Sulit menemukan aksi heroik serupa di atas terjadi di tempat lain.

Sejak peristiwa tragis tersebut pula, masjid-masjid di negara Barat justru semakin dibanjiri jamaah.

Pesannya jelas. Kami tidak takut untuk beribadah.

Jika Tarrant ingin membuat Muslim takut ke masjid, dia gagal.

Jika Tarrant ingin citra Islam terperosok karena aksinya, juga gagal.

Jadi, mari kita jaga nama dan citra Islam. Jaga diri dan keluarga, agar selamanya insyaallah hanya cinta dan damai yang kita denyutkan bersama.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement