REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Inilah tampaknya pemanasan dari apa yang sering disebut Presiden Amerika (AS) Donald Trump sebagai Kesepakatan Abad Ini--the Big Deal of the Century atau Shafqah al-Qorn. Dimulai dari pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, lalu pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan dilanjutkan dengan pengakuan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Negara Israel.
Pernyataan Trump tentang Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah mendapat kecaman luas masyarakat internasional. Mereka menilai pengakuan itu sebagai melanggar hukum internasional, bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan merusak peluang penyelesaian masalah Timur Tengah secara damai. Namun, Trump tidak peduli. Ia cuek bebek alias go ahead!
Kini, yang terbaru, Trump mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Pengakuan ini ia tanda tangani di Gedung Putih beberapa hari lalu, disaksikan PM Israel Benjamin Netanyahu. Keputusan ini bisa dipastikan akan memperdalam permusuhan, memicu konflik baru di kawasan, dan menghancurkan seluruh upaya diplomatik yang dilakukan dunia selama ini, termasuk Amerika, untuk mencapai penyelesaian damai.
Bisa jadi keputusan Trump yang akan datang akan lebih buruk lagi. Namun, saksikanlah, dunia tidak bisa menghentikan keputusan buruk Trump. Ketika ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, masyarakat internasional, termasuk Sidang Umum PBB mengecamnya.
Namun, tak ada yang berubah dari sikap Trump. Bahkan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley pada waktu itu mengancam para anggota PBB, "Ini adalah penghinaan. Kami tidak akan melupakannya."
Golan atau Dataran Tinggi Golan (Hadbatu al-Jawlan atau Murtafa’atu al-Jawlan) adalah wilayah Suriah. Ia berbatasan dengan Suriah, Yordania, Lebanon, dan Israel.
Dari Damaskus ia hanya berjarak 60 kilometer. Wilayah kaya minyak dan sangat subur ini diduduki Zionis Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967.
Selama puluhan tahun, Israel terus berupaya menjadikan Golan sebagai wilayahnya. Antara lain dengan memabangun ribuan permukiman Yahudi dan mengusir warga setempat (Suriah).
Bahkan Israel juga menyelenggarakan pemililihan lokal di Golan--mengikuti sistem Israel--yang ditolak sebagian besar warga.
Berbagai upaya pemerintah Israel untuk menjadikan wilayah yang dicaploknya--termasuk Yerusalem--sebagai bagian dari negara Yahudi tampaknya selalu gagal, hingga Donald Trump bersinggasana di Gedung Putih.
Trump berterus terang menyatakan hubungan AS-Israel di masa kepresidenannya merupakan yang terbaik dan paling mesra sepanjang sejarah Amerika. Setahun pemerintahannya, Trump memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Berikutnya, beberapa hari lalu, ia mengakui Golan merupakan wilayah Israel. Trump tentu tahu konsekuensi dari pengakuan ini.
Ia pasti sadar sikapnya akan menuai protes dari masyarakat internasional. Ia juga pasti paham keputusannya melanggar hukum internasional. Ia pun tahu pendudukan Israel atas Golan sejak lima dekade lalu adalah sebagai bentuk penjajahan.
Namun, sebagai pebisnis dan ‘pemilik modal’, Trump tentu sudah memperhitungkan untung-rugi dari sebuah keputusan. Protes berbagai masyarakat internasional seperti ketika ia memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, hanyalah sesaat. Bak anjing menggonggong kafilah akan terus berlalu.
Hal lain yang menyebabkan Trump berani mengambil keputusan kontroversial, menurut pengamat politik Timur Tengah dari Suriah, Fayez Sarah, dunia sekarang sedang lemah. Tidak ada satu pihak pun yang berani mengambil sikap konfrontatif terhadap AS, baik lembaga-lembaga internasional seperti PBB maupun negara-negara besar, misalnya Cina, Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia.
Penghancuran kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak, misalnya, Trump berkali-kali menyatakan hal itu lantaran peran besar AS. Ia mengecilkan peran negara-negara lain, termasuk Rusia. Bahkan Trump menganggap keberadaan Rusia di Suriah hanyalah untuk menyelamatkan rezim Presiden Bashar Assad.
Hal inilah, kata Fayez Sarah, yang kemudian memberanikan Trump mengambil sikap kontroversial, termasuk keputusan yang melanggar hukum internasional sekali pun.
Reaksi negara-negara Gerakan Nonblok pun akan setali tiga uang. Begitu pula dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Arab, dan Dewan Kerja Sama Teluk.
Gerakan Nonblok boleh dikata sudah tidak mempunyai taji lagi seperti ketika didirikan. Sudah tidak ada lagi tokoh-tokoh sekaliber Soekarno, Gamal Abdul Nasir, Tito (Josip Broz Tito), dan Jawaharlal Nehru, yang berani melawan imperialisme dan kolonialisme.