REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Judul di atas mungkin sangat pas dialamatkan kepada mantan presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika. Bayangkan, di usianya yang sudah 83 tahun, telah menjadi presiden sejak 1999 (20 tahun), dan sakit-sakitan pula—pernah kena strok otak pada 2013 dan sejak itu lebih banyak memakai kursi roda, ia masih ingin menjadi presiden Aljazair untuk periode kelimanya.
Pendaftaran pencalonan sebagai presiden para pertengahan Maret lalu tidak dilakukan sendiri oleh Bouteflika, tapi oleh ketua tim pemenangannya, Abdul Ghani Za’lan. Bouteflika sendiri sedang sakit dan berobat di Jenewa, Swiss, sejak 24 Februari lalu.
Dua hari sebelum meninggalkan Aljazair, aksi-aksi unjuk rasa mulai pecah di Aljir (ibu kota Aljazair) dan kota-kota besar lainnya. Para demonstran menolak pencalonan kembali Bouteflika.
Mereka tahu bahwa sejak Bouteflika terkena stroke enam tahun lalu dan mulai jarang muncul ke publik, yang memerintah Aljazair sebenarnya adalah para kroninya.
Dengan kondisi seperti itu, apa yang bisa kita katakan dalam kasus Bouteflika--yang sudah tua dan sakit-sakitan tapi ingin tetap berkuasa?
Tidak ada kata yang pas kecuali bahwa kekuasaan itu sungguh menggoda dan menggiurkan. Bukan hanya untuk yang bersangkutan, tapi juga bagi para kroni atau rezim yang mendukungnya. Sebuah rezim yang mulai terbentuk atau dibentuk sejak Bouteflika menjadi presiden, 20 tahun lalu.
Rezim itu terdiri dari para pimpinan Partai Front Pembebasan Nasional (Jabhatu at-Tahrir al-Wathony) atau FLN, yang sudah berkuasa sejak kemerdekaan Aljazair dari penjajah Prancis pada 1962. Lalu para jenderal militer dan para ketua lembaga tinggi negara.
Berikutnya adalah para kroni, pengusaha, dan keluarga yang mengambil manfaat dari kekuasaan Presiden Bouteflika. Rezim inilah yang juga ketakutan kehilangan kekuasaan dan keistimewaan lainnya apabila Bouteflika tidak mencalonkan lagi menjadi presiden.
Di banyak negara Arab, rezim seperti ini kemudian menggadang-gadang anggota keluarga sang penguasa untuk menjadi penerusnya. Di Mesir misalnya, yang digadang-gadang menggantikan Presiden Husni Mubarak adalah putranya, Jamal Mubarak. Sedangkan di Aljazair adalah adik Presidan Bouteflika, Said Bouteflika.
Mantan presiden Mubarak konon pernah mengatakan, ia sebenarnya tidak ingin menjadi presiden kembali yang masa baktinya tinggal enam bulan lagi pada 2011, ketika ia dilengserkan oleh aksi perlawanan rakyat Mesir. Hal yang sama juga telah disampaikan Bouteflika, setelah ia mengundurkan diri sebagai calon presiden dan sekaligus Presiden Aljazair beberapa hari lalu.
Yang menjadi persoalan, tak seorang pun tahu nasib hidupnya hingga yang bersangkutan betul-betul mengalaminya. Di dunia Arab ada peribahasa ‘keluar dari kolam itu lebih sulit daripada ketika nyemplung’. Hal inilah tampaknya yang juga dialami Husni Mubarak dan Bouteflika, hingga terjadi aksi demonstrasi besar-besaran yang memaksa keduanya mengundurkan diri.
Pertanyaannya, apakah seandainya Mubarak dan Bouteflika tidak mencalonkan kembali menjadi presiden, mereka tidak akan mengalami nasib buruk? Sayangnya, di dunia Arab hal itu tidak berlaku, bahkan untuk negara-negara yang berbentuk republik dan menggunakan sistem demokrasi sekalipun. Tidak ada kamusnya seseorang yang sedang berkuasa mengundurkan diri secara sukarela.
Di negara-negara Arab yang bukan monarki—baik itu namanya negara republik, negara demokrasi atau yang lainnya, pemilu tidak lebih dari sekadar aksesori. Pemilu hanya dijadikan alat legitimasi atau bahkan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak ada ceritanya penguasa kalah dalam pemilu atau berhenti karena batasan periodisasi.
Di dunia Arab, hampir tidak ada pembatasan periode kekuasaan. Kalaupun ada, batasan periode kekuasaan hanya ada di atas kertas. Diundangkan oleh parlemen, tapi kemudian dilipat oleh mereka yang sedang berkuasa.
Oleh sebab itu, jangan heran bila para presiden di negara-negara Arab bisa berkuasa lebih lama dari seorang raja atau sultan. Bahkan sejumlah presiden di Arab pun mewariskan kekuasaan kepada keturunannya, seperti terjadi di Suriah, dari Hafid Assad ke putranya, Bashar Assad.
Namun, di sinilah tragisnya! Menurut pengamat Timur Tengah dari Arab Saudi, Abdul Rahman al-Rasyid, presiden yang berkuasa terlalu lama hingga menua dan bahkan sakit-sakitan, kebanyakan berakhir dengan penggulingan atau kematian. Habib Bourguiba, misalnya, yang menjadi presiden Tunisia selama 30 tahun (1957-1987).
Pada masa tuanya, kemampuannya menjalankan roda pemerintahan pun diragukan. Gambar-gambar yang ditunjukkan ke publik bahwa ia sehat adalah rekayasa rezimnya yang takut ikut kehilangan kekuasaan.
Ia kemudian digulingkan oleh menteri dalam negeri yang ditunjuknya sendiri, yaitu Zainal Abidin bin Ali. Bourguiba kemudian dikenakan tahanan rumah selama 13 tahun hingga meninggal dunia. Namun, kesalahan Bourguiba ternyata diikuti Zainal Abidin sendiri. Ia berkuasa selama 20 tahun tanpa henti dan membentuk rezim yang korup hingga kemudian dilengserkan aksi-aksi unjuk rasa yang melawan kekuasaannya.
Di luar ketamakannya untuk terus berkuasa—hingga mengundurkan diri karena tidak kuat menghadapi tekanan aksi-aksi unjuk rasa, Bouteflika sebenarnya adalah tokoh besar yang banyak berjasa pada negaranya. Dalam masa sulit Aljazair, ia berhasil mengatasi sebuah transisi dari kekacauan dan kekerasan ke perdamaian.
Dalam 20 tahun kepresidenannya, ia bisa saja dianggap sebagai pahlawan, ikon masa kini, dan teladan bagi generasi mendatang. Namun, begitu ia mencalonkan diri kembali menjadi presiden untuk periode kelima, yang tampak adalah ketamakan seorang tua. Rakyat pun merespon dengan aksi-aksi demonstrasi bukan hanya untuk melawan dirinya, tapi juga seluruh rezim yang mendukungnya.
Jumat lalu telah berlangsung demonstrasi terbesar sejak aksi ini muncul delapan pekan lalu. Jutaan orang turun ke jalan dan meneriakkan slogan untuk melengserkan seluruh rezim dan menuntut pengadilan orang-orang terdekat Bouteflika.
Mereka juga menolak masa transisi yang dikendalikan tokoh-tokoh yang memainkan peran di masa lalu. Penolakan ini jelas merupakan pesan kepada militer, yang selama ini bersikap netral, untuk mencari tokoh yang bisa diterima oleh semua pihak.
Ada tiga nama yang ditolak para pengunjuk rasa, yang menurut konstitusi, akan mengendalikan masa transisi. Tiga nama itu mereka istilahkan dengan al Ba-at al Tsalatsah alias Tiga B. Yaitu Ben Saleh, Bilayez, dan Badawi.
Ben Saleh (Abdelkader Ben Saleh) adalah ketua Majelis Nasional (Majlis al-Ummah), sementara Bilayez (Tayeb Belaiz) merupakan ketua Dewan Konstitusi (al-Majlis al-Dustury), sedangkan Badawi (Noureddine Badawi) merupakan perdana menteri yang ditunjuk Bouteflika sebelum mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa juga menuntut agar Said Bouteflika (adik Abdelaziz Bouteflika yang digadang-gadang akan menggantikan kakaknya sebagai presiden) dan dua pengusaha, Ali Haddad dan Reza Koninav, segera diadili. Mereka dinilai telah menggarong uang negara dengan memanfaatkan kedekataanya dengan mantan Presiden Bouteflika.
Yang jelas, ketamakan Bouteflika yang didukung para kroninya untuk terus berkuasa, kini telah meninggalkan Aljazair dalam kondisi tidak menentu. Namun, seperti kata pepatah "tidak ada gunanya menangisi susu yang tumpah", kita berharap rakyat Aljazair dapat menyongsong hari depan yang lebih baik.
Isyarat itu sangat tampak ketika mereka berunjuk rasa dengan damai, tanpa kekacauan, dan tanpa pertumpahan darah. Kita berharap jangan sampai Aljazair seperti Suriah, Yaman, Libia, dan negara Arab lain yang kacau balau setelah dihantam tsunami kemarahan rakyat.