REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Berikut tentang negara-negara Arab yang kini sedang dilanda aksi unjuk rasa. Wabil khusus Sudan dan Aljazair. Sejumlah pengamat menyebutnya sebagai the Arab Spring gelombang kedua.
The Arab Spring alias Musim Semi Arab sejatinya adalah revolusi Arab untuk menggulingkan rezim lalim yang lama berkuasa. Saking lamanya, mereka pun berhasil membentuk sebuah rezim untuk menopang kekuasaan yang otoriter bin diktator.
The Arab Spring gelombang pertama telah berlangsung delapan tahun lalu, tepatnya sejak Januari 2011. Diawali revolusi rakyat Tunisia yang menggulingkan Presiden Zainal Abidin bin Ali, lalu menjalar ke sejumlah negara Arab lainnya dan berhasil melengserkan Presiden Husni Mubarak (Mesir), Presiden Ali Abdullah Saleh (Yaman), dan Muammar Qaddafi (Libia). Para pemimpin Arab terguling ini dikenal otoriter dan diktator. Rata-rata mereka berkuasa lebih dari 30 tahun.
Terkait revolusi Arab gelombang kedua, media aljazeera.net membuat analisis menarik dengan judul "Jenderal dan kekuasaan: Permainan yang mahir dilakukan para jenderal!" Aljazeera menunjuk apa yang sedang berlangsung kini di negara-negara Arab di Afrika Utara, terutama di Aljazair, Sudan, dan Mauritania.
Di Aljazair dan Sudan, para jenderal telah menyerobot kekuasaan dari para pendemo yang menuntut pemerintahan sipil. Sementara di Mauritania, presiden yang seorang jendral dan sedang habis masa kepresidenannya berganti peran dengan menteri pertahanannya yang juga seorang jenderal.
Negara berpenduduk 4,3 jutaan ini nama resminya Republik Islam Mauritania, berbahasa Arab dan anggota Liga Arab. Ia merupakan negara kesebelas terbesar di Afrika, berbatasan dengan Samudra Atlantik di barat, Maroko dan Sahara Barat di utara, Aljazair di timur laut, Mali di timur dan tenggara, dan Senegal di barat daya.
Di Sudan, setelah berlangsung aksi unjuk rasa besar-besaran sejak Desember lalu, sebuah dewan yang dibentuk militer akhirnya mengumumkan berakhirnya 30 tahun kekuasaan Presiden Jenderal Omar Bashir. Mereka juga menyampaikan, negara kini dalam masa transisi di bawah kepemimpinan Dewan Militer.
Keberadaan Dewan Militer kini ditentang oleh para pengunjuk rasa. Mereka khawatir dewan ini hanyalah sebagai bentuk lain dari peran militer dalam kekuasaan. Seperti diketahui, mantan presiden Omar Bashir adalah juga seorang jenderal, yang 30 tahun lalu mengambil alih kekuasaan (kudeta) dengan dalih ‘penyelamatan Sudan’.
Kini, setelah berbulan-bulan berlangsung aksi unjuk rasa di seluruh negeri, para pendemo takut Jenderal Abul Fatah Burhan yang sedang naik daun sebagai Ketua Dewan Militer akan mengikuti jejak Jenderal Abdul Fatah Sisi di Mesir. Sisi mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil Presiden Muhammad Mursi.
Sebelumnya, militer Aljazair juga telah mengambi peran penting ketika di tengah aksi unjuk rasa yang sudah berlangsung berhari-hari menyerukan agar diterapkan Konstitusi Negara Pasal 102. Yaitu agar Presiden Abdelaziz Bouteflika mengundurkan diri karena mengidap penyakit kronis dan tidak mampu menjalankan roda pemerintahan. Bouteflika yang telah berkuasa selama lebih dari 20 tahun akhirnya mengundurkan diri.
Dewan Konstitusi Aljazair kemudian menerima pengunduran diri Bouteflika dan menyatakan jabatan kepresidenan saat ini kosong. Berdasarkan konstitusi Aljazair, jabatan presiden yang kosong akan diambil-alih oleh ketua parlemen hingga 90 hari ke depan sampai diselenggarakan pemilu presiden.
Meskipun Bouteflika telah mengundurkan diri, aksi-aksi demonstrasi kini terus berlangsung. Bedanya, sebelum pengundurkan diri Bouteflika, militer terkesan membiarkan aksi-aksi unjuk rasa. Kini, militer lebih ketat mengawal aksi
demonstrasi. Sebagaimana halnya di Sudan, para pengunjuk rasa di Aljazair khawatir para jenderal akan mengambil alih kekuasaan dan menyerobot Negara Sipil (Madaniyatu al-Daulah) seperti yang mereka tuntut.
Sementara itu, pergantian penguasa di Mauritania dari jenderal ke jenderal yang lain tampaknya berlangsung tanpa kegaduhan. Tidak ada aksi-aksi demonstrasi yang mendahuluinya. Pun tidak menjadi berita dunia sebagaimana di Aljazair dan Sudan.
Pada awalnya, rakyat Mauritania menyambut gembira pernyataan Jenderal Muhammad Walad Addul Aziz untuk tidak mencalonkan lagi sebagai presiden untuk periode ketiga. Berbagai pihak pun menyampaikan respon positif ada seorang jenderal Arab di masa modern dan sedang berkuasa mau menghormati konstitusi negara yang membatasi periodesasi jabatan presiden.
Namun, kegembiraan itu segera berubah menjadi kecewa ketika menteri pertahanannya, Jenderal Muhammad Walad al-Ghazouani mencalonkan diri sebagai presiden, untuk menggantikan Walad Abdul Aziz. Pencalonan Walad al-Ghazouani didukung penuh Walad Abdul Aziz.