REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Untuk apakah kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan sekarang ini? Bila jawabannya berpuasa agar mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa atau supaya masuk surga dan bukan neraka, menurut Rabi’ah al-Adawiyah, kita masih berjarak dengan Allah SWT.
Kita masih pada tingkat khauf dan raja', takut dan berharap. Belum pada tingkat hubb atau mahabah. Belum pada taraf mencintai Allah SWT, Sang Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya.
Rabi’ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita masyhur karena kesucian dan cintanya kepada Allah SWT. Diperkirakan ia lahir antara tahun 713-717 Masehi atau 95-99 Hijriyah di Kota Basrah, Irak. Ia wafat sekitar tahun 801 Masehi/185 Hijriyah. Nama lengkapnya Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.
Di dunia tasawuf, Rabi’ah dikenal sebagai pencetus tren atau genre baru, bernama hubb atau mahabah. Para sufi sebelumnya, semisal ulama besar Hasan al-Basri (21-110 H/642-728 M), dalam berinteraksi dengan Allah SWT menggunakan metode atau pendekatan khauf dan raja'.
Khauf berarti khawatir atau takut. Raja bermakna berharap atau pengharapan. Bagi Rabiah, khauf dan raja' masih berjarak dengan Allah SWT, yaitu antara takut dan berharap. Sedangkan hubb atau mahabah adalah cinta yang menyatu terhadap Zat Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika masih hidup, Rabi’ah mempunyai majelis yang dikunjungi banyak orang, terutama para muridnya. Melalui mereka inilah ajaran sufistiknya ia sebarkan.
Di antara yang rajin datang ke majelis Rabi’ah adalah para ulama besar semisal Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan al-Tsawri (wafat 778/161 H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194 H).
Suatu kali, Rabi’ah bertanya kepada mereka tentang tujuan beribadah kepada Allah SWT. "Kita beribadah karena takut neraka," jawab seorang di antara mereka.
Yang lain pun menyahut, "Kita beribadah lantaran khawatir dijebloskan ke neraka dan berharap dimasukkan ke surga."
Rabi’ah pun berkata, "Sungguh buruk seorang hamba beribadah kepada Allah dengan berharap surga dan takut neraka! Lalu bagaimana kalau (seandainya) di sana tidak ada surga dan neraka, apakah Allah SWT lantas tidak laik disembah?"
Mereka lalu bertanya kepada Rabi’ah, "Lalu mengapa kamu sendiri beribadah kepada Allah SWT?"
Rabi’ah menjawab, "Sesungguhnya saya menyembah-Nya untuk zat-Nya yang Mahaagung, Zat ‘Azza wa Jalla. Apakah tidak cukup bagi saya Dia yang telah memberi makan kepada saya dan kemudian Dia pula yang memerintahkan kepada saya untuk beribadah kepada-Nya?"
Ia kemudian menulis sebuah puisi sufistik yang indah:
Ya Ilahi!
Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka,
maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan, jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga,
maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi, jika aku beribadah kepada Engkau
hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Ilahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang Azali.
Sebagai zahid-- antara lain tidak memberhalakan harta dan kesenangan duniawi, Rabi’ah jarang, bahkan tidak pernah mau meminta pertolongan pada orang lain.
Ketika ada yang bertanya mengapa ia bersikap demikian, Rabiah pun menjawab, "Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allahlah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya Dia menghendaki begitu maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati ridha."
Dengan sikapnya itu, Rabi’ah pun tidak pernah menyesali jalan hidupnya yang penuh warna. Jalan hidup yang dimulai sejak kelahirannya di Basrah dari keluarga miskin.