Selasa 25 Jun 2019 13:21 WIB

Jalan Panjang Demokrasi Indonesia (I)

Penetrasi ideologi impor yang antidemokrasi terlihat di ormas Muslim tertentu.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Napas artikel ini masih merupakan kelanjutan dari "Resonansi" Selasa, 18 Juni yang lalu. Bedanya, kali ini demokrasi ditempatkan pada lensa politik Indonesia yang lebih luas, tidak sekadar menyoroti perilaku politisi sumbu pendek sebagai salah satu musuh utama sistem ini.

Ada artikel baru yang menarik Prof Paige Johnson Tan PhD dari Departemen Ilmu Politik Universitas Radford, Amerika Serikat, di bawah judul “The New Normal: Indonesian Democracy Twenty Years after Suharto” (Kyoto Review of Southeast Asia, 21 Juni 2019).

Sebenarnya apa yang dibicarakan oleh Prof Tan ini bukan sesuatu yang baru. Para pengamat domestik telah pula menyoroti masalah ini dalam berbagai tulisan dan forum diskusi. Mungkin yang baru adalah kemasan analisisnya, bukan substansinya. Namun, pengamatan pihak asing ini perlu juga kita perhatikan agar peta demokrasi Indonesia bisa dilihat dalam spektrum yang bervariasi.

Ungkapan “the new normal” (normal baru) menunjukkan bahwa Prof Tan cukup optimistis melihat perkembangan demokrasi Indonesia sejak 20 tahun terakhir selepas rezim Soeharto yang otoriter, tetapi dengan beberapa catatan kritis yang disertakannya, sebagaimana yang akan diulas lebih lanjut. Selain Prof Tan, masih akan ada lagi nanti sarjana asing lainnya yang akan dikutip pendapatnya dalam dua seri "Resonansi" ini.

Sebelum uraian lebih jauh, perlu ditengok selintas potret demokrasi Indonesia dalam rentang waktu 74 tahun terakhir setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Hampir seluruh bapak dan ibu bangsa menginginkan bahwa sistem politik Indonesia merdeka haruslah dalam bentuk demokrasi, bukan sistem lain.

Bagi mereka, nasionalisme haruslah bergandengan tangan dengan demokrasi karena setiap warga negara yang merdeka hanyalah mungkin menyalurkan aspirasi dan potensi politiknya melalui sistem yang menempatkan manusia setara di depan hukum dan sejarah.

Kesadaran tentang perlunya demokrasi ini sudah berurat-berakar dalam benak para pendiri bangsa ini, apa pun latar belakang etnisitasnya. Inilah yang memberi harapan bahwa sistem politik yang kita pilih ini akan bertahan lama setelah berhasil melalui ujian-ujian berat yang pernah dilaluinya, seperti yang akan disinggung di bawah ini. Ujian-ujian itu masih saja berlangsung sampai sekarang. Namun, asal kita mau belajar dan mengoreksi diri, segala ujian itu pasti akan berlalu.

Demikianlah dalam perkembangannya, rintangan bagi idealisasi demokrasi ini datang bertubi-tubi; gerakan separatisme daerah, elite parpol yang egois dan sempit dada seperti terbaca dalam "Resonansi" yang lalu, juga adanya sisa-sisa kultur feodal yang masih bertahan. Sebelum itu ada pula militerisme, kecenderungan otoritarianisme, ditingkahi oleh tingkat pendidikan rakyat yang belum memadai.

Yang teranyar adalah penetrasi ideologi impor yang intoleran dan antidemokrasi, terutama yang terlihat dalam organisasi-organisasi Muslim tertentu di Indonesia sejak 40 tahun terakhir. Semula mereka bergerak di bawah tanah, kemudian mereka memanfaatkan era demokrasi yang secara teori diingkari dan ditolaknya dengan alasan-alasan yang rapuh dan ketinggalan zaman.

Semua bentuk rintangan itu diharapkan akan makin mematangkan proses demokrasi kita dengan syarat, sekali lagi, bangsa ini mau belajar. Bagi saya, belum tersedia pilihan sistem politik yang lain selain demokrasi dengan segala kelemahannya dan kekurangannya untuk dikembangkan di Indonesia. Bung Hatta, seperti kita ketahui, pernah berdalil bahwa hilangnya demokrasi berarti hilangnya Indonesia merdeka. Keyakinan Bung Hatta ini kuat sekali.

Seterusnya, dalam membaca perkembangan demokrasi di Indonesia, Prof Tan menggunakan kerangka teori Juan Linz dan Alfred Stepan dalam karyanya, Problems of Democratic Transition and Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996).

Dalam buku ini ada enam komponen utama yang perlu dimiliki sebuah negara agar konsolidasi demokrasi dapat berjalan efektif, yaitu negara yang kuat (stateness), masyarakat sipil yang independen, masyarakat politik yang berdaya, pemerintah berdasarkan hukum (rule of law), birokrasi negara yang sehat dan efektif, serta masyarakat ekonomi yang tidak timpang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement