Oleh: Asma Nadia
Zonasi, antara aturan, keadilan, dan sosialisasi. Ini jelas bukan pemandangan biasa. Tapi sebelum saya ceritakan kejadian yang berlangsung, mari bersama melakukan kilas balik terlebih dahulu.
Jika saya bertanya, apa yang dilakukan seorang murid ketika menerima penghargaan, jawabannya? Meloncat kegirangan?
Mata berkaca-kaca karena bahagia? Ungkapan keharuan dengan sujud syukur? Kesemuanya merupakan ekspresi umum. Pun melompat gembira, menangis bahagia, tersenyum, berteriak mengekspresikan sukacita, atau pesta merayakan keberhasilan. Berbagai reaksi wajar saat seseorang mencapai satu prestasi.
Namun, apa yang setelahnya dilakukan terhadap deret piagam dan piala yang diraih?
Biasanya, piagam penghargaan dilaminating agar kertas terlindung rapat oleh plastik. Atau dibingkai dan diletakkan di ruang tamu. Sementara untuk piala, umumnya ditaruh di lemari khusus, informasi pencapaian atau sekadar kenangan penyemangat.
Sayangnya, bukan demikian yang terlihat di pekarangan rumah seorang siswa di Jawa Tengah. Remaja putra yang termangu melempar piagam penghargaan yang diterimanya dalam kobaran api. Tak ada keraguan. Ekspresinya dipenuhi kekecewaan.
Bayangkan plastik laminating yang meleleh seiring hancurnya kertas --bukti sebuah pencapaian-- akibat kobaran api. Sang anak memandangi semua dengan berbagai perasaan ketika huruf demi huruf dari namanya memudar sebelum menjelma abu.
Setelah satu piagam dilumat si jago merah, tangannya melemparkan piagam lain, di antara satu dua titik air mata. Ketika hendak meraih deret piala, penghargaan yang diterima atas berbagai prestasi yang berhasil diraihnya, sang ayah yang memergoki segera mencegah dan menyelamatkan beberapa penghargaan yang tercecer.
“Kenapa?” tanya ayahnya tidak mengerti.
“Untuk apa semua penghargaan ini, Yah? Tidak ada gunanya. Dengan sistem zonasi, tidak ada gunanya berprestasi. Sekolah favorit bukan untuk anak berprestasi, tapi buat orang yang tinggal dekat dengannya.”
Peristiwa sedih di atas mendadak hidup dalam benak, saat saya membacanya di sebuah media. Seorang anak yang membakar piagam dan rekam jejak prestasinya.
Pernyataan sang anak tidak absurd. Jika sistem zonasi yang ramai dibincangkan saat ini, diterapkan sekaku itu, bisa jadi pada masa depan akan rutin terdengar nasihat berikut:
“Kalau ingin masuk sekolah favorit, beli rumah di sekitar sana.”
Secara harfiah tentu hanya segelintir orang yang mampu benar-benar mewujudkan. Mungkin canda di bawah ini menjadi shahih: “Posisi menentukan prestasi”. Artinya, siswa yang duduk di belakang bisa menyontek dan mendapat nilai lebih tinggi, siswa yang duduk di sebelah anak pintar mampu mengintip jawaban dari temannya, dan bernasib baik nyaris tanpa usaha belajar. Filosofi “Posisi menentukan prestasi” akan melekat pada kebijakan zonasi.
Harus tinggal dekat dengan sekolah bagus untuk masuk ke sekolah tersebut. Bisa dipahami jika banyak orang tua dan ananda menolak aturan tersebut.
Seingatnya, sistem seperti zonasi sudah pernah dilakukan saat saya SMA dulu. Saya ingat suami bilang peringkat sekolahnya langsung turun drastis dari sekolah favorit, akibat zonasi, saking SMP di sekitarnya kebanyakan kurang berkualitas.
Sebenarnya, pada beberapa poin, saya bisa mengerti kenapa zonasi diberlakukan, hemat biaya, efisiensi, pemerataan, dan lain-lain. Tentu saja niat baik dari pemegang kebijakan.
Namun, saya juga sangat mengerti kenapa berbondong orang tua dan siswa berprestasi yang kecewa dengan penerapan ini. Bukan soal pola pikir yang sudah terkena racun favoritisme. Secara memang untuk menjadi favorit diperlukan talenta, network, dana, dan lain-lain. Lalu, bagaimana sekolah-sekolah yang kurang mutunya bisa mendapat kesempatan jika orang tua selalu menyekolahkan anak mereka hanya ke sekolah favorit.
Sebagai sebuah kebijakan, tentu ada poin baik, tapi sebuah aturan hanya bisa terlihat kebaikannya jika disosialisasikan dan dipersiapkan dengan matang sebelum diterapkan serentak.
Adakah jalan tengahnya? Satu barangkali, zonasi bisa diberlakukan, tapi sebelum itu harus lebih dulu terwujud pemerataan pendidikan, fasilitas, dan kualitas guru. Jika kualitas belum merata dan tetap dipaksakan, akan tidak adil dan menjadi pemborosan serta penyia-nyiaan potensi. Anak yang sangat berprestasi bisa mendapat sekolah dengan fasilitas dan mutu minim hanya karena ia tinggal di zona dengan kualitas sekolah seadanya, sedangkan sekolah bagus fasilitasnya lalu menjadi tidak maksimal karena anak yang tinggal di sekitarnya bukan anak yang secara akademis berprestasi.
Kedua, keinginan menerapkan kebijakan baru di bidang pendidikan, harus dimengerti sebagai proses jangka panjang sebagaimana karakter pendidikan itu sendiri. Misalnya untuk zonasi SMA, maka ini harus berlaku pada anak yang baru masuk SMP, hingga mereka tahu bagaimana tiga tahun kemudian. Jadi akan ada cukup kesempatan menyiapkan diri. Bukan sebaliknya, diterapkan terhadap pelajar yang sudah mempersiapkan diri dan memiliki rencana jauh-jauh hari untuk diterima di sekolah favorit, tapi tiba-tiba dipaksa mengikuti peraturan baru yang terasa merugikan. Perkara yang jika dikaitkan dengan bisnis sama seperti kita memberi produk yang tidak sesuai perjanjian.
Ketiga, harus ada fleksibilitas dan pengecualian atau kekhususan. Sekolah harus memberi pengecualian terhadap pelajar yang berprestasi khusus sebagai bentuk keadilan. Maksud pemerataan, tapi dijalankan dengan membabi buta justru mengkhianati semangat keadilan. Sementara anak-anak rela repot, pergi jauh dari keluarga, mengeluarkan biaya tinggi demi sekolah yang sudah sejak lama mereka incar. Hargai pilihan para pelajar kita, selama mereka siap ‘membayar’ harganya dan telah membuktikan dengan catatan prestasi. Sementara itu, pemerintah bekerja menyiapkan segala sesuatu agar ketika zonasi diterapkan, tak ada yang merasa dirugikan.
Nilai, sertifikat, piala, dan semua yang dulu diiming-imingi akan berharga tidak seharusnya kemudian menjadi tidak bernilai. Sungguh saya berharap, fleksibilitas kebijakan zonasi ini dikaji kembali sebelum seratus persen diterapkan.
Demi anak-anak kita yang sudah belajar keras. Demi para murid yang sudah berjuang merencanakan masa depan. Termasuk agar kelak tidak ada lagi anak-anak kita yang membakar sertifikat dan membuang piala sebab merasa dikhianati, ke tempat sampah.