REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Baru pertama kali menginjakkan kaki di Kosovo, negara ke-67 yang Allah izinkan saya kunjungi, hati saya dihujani limpahan keramahtamahan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ditemui dengan sukacita menjawab pertanyan jika kami mengalami kebingungan.
Tidak hanya itu, mereka akan melemparkan senyum dan berusaha menyapa, tak jarang menghampiri sekadar mengucapkan, “Thank you for coming to Kosovo!”
Perjumpaan di warung kecil bisa berujung foto bersama tak hanya dengan cucu pemilik toko yang ramah, tapi juga ayah, bahkan sang nenek. Sering kali berlanjut dengan bertukar akun media sosial hingga silaturahim terjalin. Mendadak seolah saya punya adik, abang, ibu, ayah, dan anak di Kosovo.
Namun sejatinya, di balik keramahan mereka, tersimpan luka. Sejarah kelam yang menyesakkan dada, dan membuat air mata saya menitik.
Terenyuh mengamati sekitar memorial Adem Jashari. Sebuah rumah besar bertingkat yang dikoyak perang, dan kompleks pemakaman. Tiga hari tiga malam lelaki saleh yang menancapkan awal perlawanan rakyat Kosovo, bersama keluarganya dibantai hujan peluru, tak tanggung-tanggung oleh 2.000 tentara Serbia.
Tak sejengkal tembok di sekitar rumahnya yang luput dari terjangan peluru. Selebihnya jejak lubang dan kehancuran menganga akibat hantaman rudal yang meluncur tanpa henti.
Rumah besar tempat keluarga memahat kasih sayang itu padahal sama sekali tidak menyerupai benteng. Bentuknya lebih mirip bangunan sekolah SMP atau SMA sederhana di Indonesia. Memanjang, terdiri atas tiga lantai dengan genteng menutup atap. Sama sekali tidak terlihat seperti benteng yang perlu dibombardir. Bahkan, tidak tampak sedikit pun pagar pengaman mengelilingi rumah.
Akan tetapi, tentara Serbia melibatkan ribuan pasukan melakukan serangan habis-habisan. Helikopter, kendaraan lapis baja, serta barisan tentara mengepung. Tak jauh dari sana, artileri bom juga siap diluncurkan untuk menghancurkan kediaman tokoh pejuang Kosovo itu.
Adem Jashari merupakan bapak pendiri KLA (Kosovo Liberation Army) yang berjuang untuk membebaskan rakyat Kosovo dari cengkeraman Serbia. Setelah berpuluh tahun kehilangan kemerdekaan, sesudah Uni Soviet hancur, bangsa dengan 90 persen Muslim ini ingin meraih kebebasannya.
Lelaki dengan janggut tebal yang terkenal saleh bahkan tetap berpuasa saat berperang, memimpin perlawanan dengan merebut senjata dari pos polisi dan tentara Serbia. Gerakannya menginspirasi perlawanan di seantero negeri.
Serbia yang tidak ingin gerakan ini meluas, merasa harus menghabisi Adem Jashari. Itulah sebabnya, 2.000 tentara Serbia mengepung rumah pahlawan Kosovo ini.
Walau tanpa pasukan yang layak, keluarga Adem Jashari dan sedikit pasukan pembebasan Kosovo tak gentar tetap melancarkan perlawanan.
Puncaknya, sebuah bom menembus masuk ke rumah Jazhari melalui atap dan meledak di dalam rumah serta menewaskan penghuni di dalamnya. Ya, setelah dua atau tiga hari tiga malam, pertempuran berjalan tanpa henti, Adem Jashari bersama keluarga: istri, anak, juga ayah, saudara lelaki dan istrinya, serta anak-anak mereka bertahan dan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Dua puluh anggota keluarga dan segelintir pasukan melawan 2.000 tentara. Ketika akhirnya tak lagi ada desing peluru keluar dari rumah, pasukan Serbia merangsek ke dalam dan menemukan Jasad Jashari tertembak di bagian leher. Di sana juga ditemukan keluarganya yang tewas.
Total 20 jenazah anggota keluarga ditemukan terkapar di dalam rumah. Sementara korban penyerangan massal dari Serbia menewaskan 59 orang yang kini dimakamkan di Adem Jashari Memorial di kota Prekaz, Kosovo.
Pihak rezim mengira, pembantaian tersebut dan kematian Adem Jashari akan menjadi peringatan bagi rakyat Kosovo sehingga mereka berhenti melawan. Yang terjadi justru sebaliknya.
Kematian Jashari dan keluarga menjadi legenda yang menyemangati perjuangan rakyat Kosovo. Tidak hanya itu, pembantaian ini juga akhirnya ikut menginisiasi terlibatnya NATO untuk memerangi Serbia.
Setelah abai dengan kesadisan Serbia di Bosnia, yang menyebabkan korban banyak berjatuhan, NATO memutuskan tidak tinggal diam hingga akhirnya terlibat. Kebebasan Kosovo diraih setelah Serbia mundur tahun 1999. Kosovo meraih kemerdekaannya.
Tetap, bangsa ini menolak lupa. Mereka tidak ingin peristiwa heroik perlawanan Adem Jashari hilang dari ingatan. Ia harus menjadi tonggak inspirasi bagi generasi setelahnya juga dunia.
Saudara lelaki Adem Jashari yang ketika peristiwa tragis itu berada di Jerman, memutuskan membiarkan bangunan yang tercabik perang itu apa adanya. Tanpa renovasi apa pun.
Mereka membiarkan lubang-lubang peluru dan serangan rudal, atap dan sebagian besar bagian yang hancur tetap tak diusik agar masyarakat, anak muda, juga dunia tahu, ada satu keluarga pejuang yang mengorbankan nyawa mereka demi kemerdekaan. Sebagai penghormatan atas jasa sang pahlawan, Bandara Internasional Pristina, ibu kota Kosovo, diberi nama Adem Jashari, stadion olahraga pun diberi nama sang pahlawan, selain sebuah rumah pertunjukan teater.
Menolak lupa juga banyak dilakukan negara lain.
Pemandangan yang sama saya saksikan di Bosnia, tidak sedikit gedung yang dibiarkan hancur akibat pengeboman dan pembantaian bangsa Serbia. Bangunan rumah yang menjadi awal tunnel of hope; terowongan bawah tanah sepanjang 800 meter yang menjadi satu-satunya penghubung dan jalan bagi lalu lalang bantuan dan pasokan senjata, ketika Kota Sarajevo diblokade selama tiga tahun, dibiarkan apa adanya oleh sang pemilik. Lubang-lubang pada dinding, retakan tembok, bahkan tanahnya menyimpan rudal yang gagal meledak.
Menolak lupa, juga dilakukan Pemerintah Jepang atas Hiroshima, membiarkan salah satu gedung tersisa agar dunia tetap mengingat akibat ledakan sebuah bom atom. Semakin saya berjalan dan melihat upaya panjang menolak lupa ini mendetakkan rasa syukur tak berkesudahan di hati. Juga semangat untuk belajar dan tidak melupakan sejarah. Betapa pun kelam dan pahit, semoga menggerakkan setiap kita untuk menjadi masyarakat dunia yang mencintai perdamaian, sebab sepanjang sejarah sudah terlalu banyak perang yang menewaskan warga dunia dan mencabik kemanusiaan.