Selasa 17 Sep 2019 06:38 WIB

BJ Habibie dengan Hati Putihnya

Hatinya putih seputih kapas, jabatan politik bukan suatu yang harus dipertahankan.

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pada 20 Oktober 1999, BJ Habibie meletakkan jabatannya sebagai presiden ketiga RI setelah dipegangnya sejak 21 Mei 1998. Mengapa demikian singkat anak bangsa yang berhati putih ini diberi kesempatan untuk memimpin Indonesia? Jawabannya adalah karena ranjau politik yang tajam sedang mengadangnya, terutama karena pertanggungjawabannya atas lepasnya Timtim (Timor Timur) ditolak MPR.

Dalam perjalanan waktu yang singkat, belum lama menjabat presiden, beberapa teman dekatnya mulai pula mengkritiknya dengan alasan yang dicari-cari, tetapi manusia berjiwa besar ini tidak pernah dendam. Bagi saya, lepasnya Timtim dari Indonesia memang sudah semestinya. Bukankah wilayah ini bukan termasuk jajahan Belanda yang dulu dikenal dengan Hindia Timur Belanda yang sekarang menjadi Indonesia?

Timtim adalah bekas jajahan Portugis selama 450 tahun. Tahun 1976, tentara Indonesia mengambilnya secara paksa dengan persetujuan Amerika Serikat yang berdalih karena wilayah ini akan menjadi pusat Marxisme Fretilin sebagai tetangga dekat Indonesia.

Pada 1970-an itu, Perang Dingin antara blok Barat dan Uni Soviet masih belum tampak ujungnya. Tembok Berlin dan Federasi Uni Soviet masih terlihat kokoh. Sedangkan Indonesia juga baru 10 tahun berhasil mematahkan kekuatan PKI.

Itulah suasana politik global pada 1970-an itu. Tetapi saat Habibie jadi presiden, peta dunia sudah berubah secara drastis, ancaman Marxisme telah sangat melemah. Dinding Berlin telah runtuh dan Uni Soviet telah berantakan karena rapuh dari dalam. Namun, Indonesia yang telah berhasil merebut Timtim yang bukan bagian Hindia Belanda itu berkukuh menjadikan wilayah ini sebagai provinsinya yang ke-27.

Semangat ultra-nasionalisme inilah yang melatarbelakangi alasan MPR menolak pertanggungjawaban presiden Habibie. Maka itu, presiden ketiga RI ini menjadi yang terpendek masa jabatannya, dibandingkan semua presiden Indonesia lainnya.

Tak lama setelah penolakan MPR itu, Ir Salahuddin Wahid dan saya menemui Pak Habibie di Petra Kuningan sebagai tanda kekecewaan terhadap sikap MPR. Di luar dugaan kami, wajah Habibie tidak menunjukkan tanda-tanda gusar karena posisinya sebagai presiden telah beralih ke tangan lain.

Karena hatinya putih seputih kapas, jabatan politik puncak baginya bukanlah suatu yang harus dipertahankan mati-matian dengan segala cara.

Selama 17 bulan berkuasa, Habibie telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Keran demokrasi dibukanya, mungkin terlalu besar, UU Otonomi Daerah digulirkannya, inflasi diatasinya, dan nilai tukar rupiah yang turun bebas sebelumnya dari 1:15 menjadi 1:6,7. Tahanan politik dibebaskannya. Sebuah prestasi kenegaraan yang spektakuler bagi sebuah negara yang sedang gaduh, yang nyaris gagal.

Semua prestasi ini gara-gara hengkangnya Timtim tidak dipertimbangkan dengan arif oleh sidang MPR, termasuk oleh mantan-mantan pendukungnya. Saya tidak perlu menyebut nama para mantan itu yang ketika Habibie wafat berbalik memujinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement