Jumat 31 Jan 2020 10:56 WIB

Regresi Demokrasi: ‘Arab Winter’

Di wilayah MENA, kemerosotan demokrasi berlanjut, memperpanjang ‘Arab Winter'.

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Azyumardi Azra

Indeks Demokrasi 2019 (dikeluarkan The Economist Intelligence Unit) yang diumumkan pekan lalu di awal 2020 tidak menggembirakan. Laporan Edisi 12 sejak pertama kali diluncurkan pada 2006 bertajuk tidak menggembirakan: ‘Democracy Index 2019: A Year of Democratic Setbacks and Popular Protests’ (London: 2020, 73 halaman).

Laporan ini mengamati terjadinya regresi atau kemunduran (setbacks) demokrasi di 165 negara—praktis meliputi seluruh negara di berbagai penjuru dunia.  Dari jumlah itu, 22 negara (13,2 %) termasuk ke dalam kategori ‘full democracy’; 54 negara (32,3 %) terkategori ‘flawed democracy’, demokrasi cacat; 37 negara (22,2 %) di bawah kekuasaan ‘hybrid regimes’; dan 54 negara (32,3 %) merupakan negara otoriter.

Ada sedikit pergeseran atau turun naik jumlah negara ‘full democracy’ dan ‘flawed democracy’, meski tidak terlalu signifikan, Tetapi skor indeks demokrasi secara global menurun dalam skala 0-10 dari 5,48 pada 2018 menjadi 4,44 pada 2019 . Penurunan ini terburuk sejak Indeks Demokrasi diperkenalkan pada 2006.

Regresi ini lebih buruk dibandingkan dengan skor 5,46 pada 2010 ketika banyak bagian dunia mengalami krisis keuangan, ekonomi dan politik.  Antara 2011 sampai 2014 perkembangan demokrasi membaik; tetapi pada 2015-2016 mengalami stagnasi; dan pada 2017-18 kembali mengalami regresi.

Regresi demokrasi paling buruk terjadi di kawasan Amerika Latin dan Afrika Hitam (Afrika sub-Sahara). Selanjutnya kemerosotan signifikan terjadi di kawasan MENA (Middle East and North Africa) yang sering juga disebut sebagai WANA (West Asia and North Africa).

Melihat regresi demokrasi di Amerika Latin dan WANA, apakah ada hubungan antara agama dengan demokrasi? Mayoritas penduduk Amerika Latin adalah penganut Katolik, sedangkan mayoritas warga MENA/WANA adalah Muslim.

Boleh saja di kedua kawasan ini, masing-masing agama berkelindan dengan faktor lain semacam tradisi dan praktek politik, budaya, sosial dan ekonomi. Jalinan dan kelindan semua faktor itu menciptakan lingkungan tidak kondusif bagi tumbuh dan menguatnya demokrasi.

Berbeda dengan fenomena itu orang juga bisa melihat di negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas Katolik, Kristen (Protestan), Ortodok atau Muslim menerima demokrasi. Boleh jadi demokrasi di negara-negara ini juga mengalami peningkatan atau kemerosotan dalam skala tertentu; tetapi tingkat kemerosotannya tidak seburuk di kawasan Amerika Latin dan MENA.

Di wilayah MENA, kemerosotan demokrasi terus berlanjut, sehingga memperpanjang ‘Arab Winter’ (Musim Dingin Arab) yang berlangsung beberapa tahun terakhir. Fenomena ‘Arab Winter’ menggantikan ‘Arab Spring’ (Muslim Semi) yang sejak 18 Desember 2010 di Tunisia yang menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, negara-negara Teluk dan Syria.

Dalam kebangkitan ‘Musim Semi’ gerakan rakyat pro-demokrasi berhasil menumbangkan rejim-rejim otoriter dan diktatur yang berkuasa beberapa dasawarsa di negara-negara yang disebutkan tadi. Warga  tercerahkan di masing-masing negara menggunakan teknologi komunikasi instan untuk menggalang kekuatan yang berhasil menumbangkan rejim-rejim yang sebelumnya tidak pernah bisa dibayangkan dapat ditumbangkan.

Tetapi Musim Semi Arab berlangsung relatif singkat; demokrasi mengalami serbacks signifikan, Demokrasi mengalami regresi di hampir seluruh negara kawasan MENA; Tunisia dianggap sebagai satu-satunya negara di mana demokrasi bisa tumbuh dan terkonsolidasi 

Sedangkan di negara-negara MENA lain, berbicara tentang demokrasi adalah berkisah tentang kenestapaan. Militer kembali ke puncak kekuasaan politik sejak 3 Juli 2013 dengan menjatuhkan Presiden Muhammad Mursi yang dipilih secara demokratis.

Demokrasi tidak bisa tumbuh di Libya dan Yaman yang terus dilanda perang saudara. Keadaan menjadi sangat rumit di Yaman di mana pasukan koalisi di bawah pimpinan Arab Saudi terus melakukan perang. Keadaan yang tidak kurang buruknya terjadi di Iraq dan Syria. Kini pergolakan kembali melanda Lebanon.

Mempertimbangkan semua gejala itu, jelas perjalanan dan perjuangan masih panjang bagi warga dan negara MENA untuk dapat menghidupkan demokrasi. Kembali perlu pembenahan internal dalam berbagai bidang sejak dari politik, ekonomi, sosial-budaya sampai agama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement