REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Namanya ‘Kesepakatan Abad Ini’. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyebutnya ‘The Deal of the Century’. Bahkan beberapa kali ia mengatakan ‘The Big Deal of the Century’. Media Arab biasa menyebutnya sebagai Shifqat al Qorn.
‘Kesepakatan abad ini’yang dimaksud adalah sebuah rancangan perdamaian yang dibuat Presiden Trump untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama untuk mengakhiri konflik panjang Palestina-Israel. Disebut ‘abad ini’, karena inilah salah satu konflik terpanjang dalam sejarah.
Bila Trump bisa mengakhiri konflik paling pelik tersebut, maka ia akan bisa membanggakan diri, inilah ‘kesepakatan abad ini’, yang tidak bisa dilakukan para Presiden AS sebelumnya. Mungkin begitulah yang ada di benak Trump.
Bila ‘kesepakatan’ itu terjadi, Trump juga akan dikenang dalam sejarah, sejajar namanya dengan Arthur James Balfour. Nama terakhir ini adalah Menlu Inggris setelah Perang Dunia I. Ia tercatat dalam sejarah lantaran janjinya untuk mendukung pembentukan Negara Yahudi di Tanah Air Palestina.
Janji yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour itu tercantum dalam sebuah surat tertanggal 2 November 1917, dari Menlu Britania Raya Arthur Balfour kepada Lord Walter Rothschidl, pemimpin komunitas Yahudi Inggris Raya. Teks deklarasi lalu disampaikan kepada pers pada 9 November 1917.
"Saya sangat senang untuk memberi tahu Anda, atas nama Pemerintah yang Mulia, tentang pernyataan simpati atas aspirasi Yahudi dan Zionisme. Hal itu telah disampaikan ke kementerian dan disetujuinya. Pemerintah yang Mulia memandang dengan penuh simpati pada pembentukan tanah air nasional di Palestina untuk orang-orang Yahudi, dan akan melakukan yang terbaik untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini."
Kini Trump tampaknya ingin menuntaskan Janji Barfour lebih dari satu abad itu. Sebuah janji yang telah memunculkan konflik dan penderitaan panjang bangsa Palestina.
Rencana tentang ‘The Deal of The Century’ mulai disampaikan Presiden Trump beberapa bulan setelah ia bersinggasana di Gedung Putih. Ia pun membentuk tim tiga orang sebagai arsiteknya. Mereka adalah Jared Kushner, menantu Trump. Lalu Jason Greenblatt, utusan khusus Trump untuk Palestina. Terakhir adalah David Friedman.
Ketiga orang itu dikenal sebagai Zionis garis keras. Bahkan Greenblatt pernah menyerukan untuk menghentikan bantuan buat PLO dan anak-anak korban perang Palestina. Sedangkan Friedman adalah aktivis Zionis yang tinggal di pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Trump kemudian menunjuknya sebagai Dubes AS untuk Israel.
Dari sini bisa diketahui bahwa The Deal of The Century sebenarnya dirancang untuk kepentingan Israel, bukan untuk Palestina. Mari kita simak pula siapa saja yang diundang ketika rancangan Trump untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel ini dirilis 28 Januari lalu.
Bertempat di aula timur Gedung Putih, duduk di deretan depan ada miliarder Sheldon Adelson dan istrinya Miriam. Mereka merupakan pasangan kaya dunia dari bisnis kasino dan arena perjudian di Las Vegas. Pasangan ini memiliki hubungan dekat dengan PM Israel Benjamin Netanyahu serta Presiden Trump dan keluarganya.
Pada November 2018, Presiden Trump memberi penghargaan kepada Miriam Adelson, berupa ‘Presidential Medal of Freedom’, sebuah medali sipil tertinggi di AS. Ia dinilai telah berjasa dengan berbagai proyek amalnya untuk mendukung Israel. Pasangan Edelson ini juga banyak menyumbang gereja-gereja Evangelis yang mendukung negara Yahudi itu.
Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak pendeta Evangelis yang juga diundang dalam acara itu. Mereka antara lain Pendeta John Hagi, Lydor, dan Robert Jeffreys. Ketiganya dikenal sebagai pendeta Evangelis yang rasis dan ekstremis. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang mendukung mitos-mitos Evangelis tentang Israel dan ‘Tanah yang Dijanjikan’. Trump sendiri ketika menyampaikan pidato di podium didampingi PM Netanyahu.
Rancangan Trump tentang perdamaian di Timur Tengah terdiri dari 181 halaman, dibagi dua bab. Pertama terkait dengan kerangka kerja politik dalam 22 bagian, dengan lampiran peta negara Palestina mendatang. Kedua, berkaitan dengan kerangka ekonomi.
Menurut rancangan Trump itu, Yerusalem adalah ibu kota Israel, satu dan tidak dibagi-bagi. Sedangkan ibukota Palestina akan berada di pinggiran Kota Yerusalem, dengan janji AS akan membangun Kedubes di sana.
Daerah-daerah yang kini didiami warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat akan tetap menjadi wilayah Palestina. Namun, ribuan pemukiman Yahudi yang telah dibangun di wilayah itu — di Yerusalem, Gaza, dan Tepi Barat — akan menjadi wilayah Israel. Wilayah-wilayah Palestina, terutama Gaza dan Tepi Barat, akan dihubungkan dengan jalan darat yang dikendalikan Israel, sehingga menjadikan Palestina seperti pulau-pulau yang terpisah secara geografis.
Sedangkan yang terkait dengan para pengungsi Palestina, sebagian akan ditempatkan di wilayah Gaza yang diperluas, terutama yang mengarah ke gurun Negev. Sebagian lainnya diharapkan bisa berintegrasi di negara-negara tempat tinggal mereka sekarang, lainnya lagi akan ditempatkan di salah satu negara Islam yang belum disebutkan negaranya.
The Deal of the Century juga menegaskan pengakuan terhadap Negara Palestina yang akan datang tergantung pada sejumlah syarat. Yang utama adalah pengakuan bahwa Israel adalah negara Yahudi. Berikutnya, demiliterisasi di semua wilayah geografis Negara Palestina, dengan kewajiban melucuti semua senjata dari tangan organisasi-organisasi seperti Hamas dan Jihad Islam. Selanjutnya, Israel boleh bertindak apa saja terhadap pihak-pihak Palestina yang bisa mengancam keamanan nasional Israel.
Rancangan Trump itu juga tegas melarang Otoritas Palestina, Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, dan organisasi-organisasi lain Palestina untuk bergabung dengan organisasi-organisasi internasional tanpa izin dari penguasa Israel. Selanjutnya, mereka juga dilarang mengajukan kasus apa pun terhadap AS dan Israel ke pengadilan pidana, mahkamah agung, atau pengadilan lainnya. Selain itu, mereka juga tidak diperkenankan mengajukan langkah hukum terhadap warga Israel dan AS di luar sistem peradilan Israel dan AS.
Rancangan Trump untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah itu pun menyebutkan Otoritas Pelestina mempunyai waktu empat tahun untuk terlibat langsung dalam negosiasi dengan Israel/AS. Namun, juga diingatkan bahwa tidak ada jaminan pihak Palestina akan mendapatkan apa yang diinginkan di luar yang termaktub dalam The Deal of The Century. Sebelum masuk perundingan, Ororitas Palestina juga diharuskan mengakui eksitensi Israel sebagai negara Yahudi.
Rancangan Trump yang disebut The Deal of The Century tampaknya memang bukan sebuah kesepakatan pada lazimnya. Yaitu kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dan terkait. Rancangan Trump adalah lebih sebagai kesepakatan Gedug Putih dengan Israel, yang dipaksakan kepada bangsa Palestina dan negara-negara di Timur Tengah.
Rancangan Trump jelas menyimpang dari hukum internasional dan referensi politik tentang solusi dua negara. Misalnya resolusi PBB, Penjanjian Oslo, Prakarsa Perdamaian Arab, dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya. The Deal of the Century jelas merupakan kudeta Presiden Trump terhadap solusi dua negara yang sejajar dan kebijakan para presiden AS sebelumnya.
Itulah yang disebut Trump sebagai The Deal of The Century atau bahkan The Big Deal of the Century, yang tak lain untuk menuntaskan Janji Balfour seabad lalu. Yaitu mendirikan Negara Israel Raya dengan mengorbankan bangsa Palestina.