REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)
Tahun 10 kenabian bertepatan dengan 619 M merupakan momentum penting yang cukup menyedihkan dalam perjalanan sejarah kehidupan Rasul yang Agung Baginda Nabi Muhammad SAW, dimana Abu Thalib Sang Paman yang senantiasa melindungi beliau pada bulan Rajab wafat. Sehingga, orang-orang kafir Quraisy semakin kurang ajar terhadap beliau. Tiga bulan kemudian (Ramadhan) istri tercinta Ummul Mukminin Khadijah al Kubra juga wafat. Namun, duka cita dan kesedihan tidak menurunkan spirit perjuangan Beliau dalam dakwah, maka diputuskanlah untuk ekspansi berdakwah ke Thaif.
Ketika berdakwah kepada suku Tsaqif di Thaif Rasulullah SAW menghadapi tantangan yang luar biasa, mereka boleh disebut sebagai mewakili prilaku jahiliyah saat itu. Bukannya menerima dakwah Nabi Muhammad SAW, mereka justru menyambut Baginda Nabi SAW dengan caci maki dan pengusiran disertai dengan melempar kotoran dan batu, bahkan menurut riwayat yang masyhur, kaki beliau sampai berlumuran darah.
Setelah kurang lebih sepuluh hari berdakwah di Thaif, Baginda Nabi meninggalkan mereka dengan perasaan yang sangat sedih. Tentu tidak semata-mata merasakan apa yang Beliau pribadi terima, namun lebih kepada rasa sayang yang mendalam dan prihatin terhadap kaumnya.
Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury dalam Ar-Rahiq al-Makhtum menulis bahwa ketika sampai disuatu tempat Qarn al-Manazil saat Rasulullah menengadahkan kepala, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu, Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka”.
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku, kemudian berkata, “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu, jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan”.
Nabi SAW menjawab, "Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang punggung mereka, suatu kaum yang menyembah Allah SWT semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (Shahih al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah kesempatan, ketika bertausiyah, Ustaz Abdul Somad saat menceritakan kisah di atas mengungkapkan, andaikan kitalah yang ditanya Malaikat “Hai Abdul Somad ...tunjukkan mana bukit biar aku timpakan kepada mereka, langsung saya sebutkan Gunung Bromo, Bunung Kidul, gunung segala gunung, Gunung Merapi, Gunung Kelud tolong timpakan Malaikat...”
Tentu dalam konteks ini, beliau bermaksud melempar ungkapan jenaka untuk menyegarkan suasana majelis yang kerap menjadi bumbu penyedap dari ceramah-ceramah beliau agar kedalaman ilmu yang luar biasa tersebut dapat disimak dan dicerna dengan baik karena dikemas dengan bahasa yang renyah dan santun, beliau sering menyebutnya dengan eskrim enak dan lembut, bukan ekstrim.
Terpikir oleh saya bagaimana sekiranya ketika mengalami beberapa insiden penolakan bahkan “pengusiran” baik di Bali maupun Hongkong lantas beliau bermohon kepada Allah sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam guyonannya itu, meskipun saya berkeyakinan dengan asbab kedalaman ilmu dan kematangan spiritual serta emosionalnya tentu Insya Allah beliau akan memperlakukan ummat yang jahil dan awam sebagaimana baginda Rasulullah SAW contohkan.
Begitu lembutnya hati dan sikap Baginda Rasulullah SAW terhadap ummat, sampai Allah SWT menyebutnya dengan sangat merasakan penderitaan ummatnya (QS.9.At Taubah:128), bahkan ketika Beliau membaca ayat Alquran “Jika Engkau (Ya Allah) menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu...” (QS.5. al-Maidah:118), beliau mengulang-ulangnya dengan berlinang air mata hingga fajar dan terdengar Bilal mengumandangkan adzan Subuh.
Hal demikian menjadi pelajaran penting bagi para pendakwah dalam melipatgandakan kesabaran dan keteguhannya dalam menyampaikan risalah (ajaran) Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun demikian, sebagai manusia yang beradab hendaknya kita lebih dapat bersikap arif dan santun terhadap para pendakwah yang nota bene mereka adalah manusia biasa yang meskipun menempatkan Baginda Rasulullah SAW sebagai tolok ukur dan teladan, tentu barangkali kesabaran mereka belum setara dengan kesabaran Baginda Nabi. Khawatir dalam keadaan tertekan dan dizalimi--dimana orang yang dizalimi doanya adalah maqbul--mereka mendoakan yang kagak-kagak hehehe.
Pengusiran pendakwah tidak saja dialami oleh Ustaz Abdul Somad. Sebut saja misalnya dari penuturan yang disampaikan secara “viral” tentu barangkali tidak melalui media sosial, melainkan dari penuturan-penuturan langsung tentang pengalaman saudara kita yang aktif di jamaah tabligh dimana mereka kadangkala diusir dari masjid yang tidak jarang dilakukan bahkan tengah malam, bukan oleh orang-orang yang mohon maaf belum mengenal agama. Namun, ironisnya dilakukan justru oleh jamaah masjid yang barangkali dengan keterbatasan pemahaman mereka terhadap jamaah tabligh.
Sesungguhnya, kita harus bersyukur masih ada segolongan ummat yang sudi berdakwah secara direct selling dari pintu ke pintu mendakwahkan kalimah tauhid dan mengajak warga untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid sehingga amalan-amalan agama bisa dihidupkan di dalam masjid untuk memakmurkannya.
Belakangan, pada Kamis 18 Januari 2018, Ustaz Zulkifli M. Ali LC yang akrab dengan sebutan Ustaz ahir zaman karena sangat intens berdakwah tentang hal-hal yang terkait dengan ahir zaman, ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan penyidik Siber Bareskrim atas laporan bernomor LP/1240/XI/2017/Bareskrim tertanggal 21 November 2017. Dalam laporan itu, Zulkifli dituduh terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana menunjukkan kebencian kepada orang lain berdasarkan diskriminasi SARA. Dia juga disangkakan dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. (Republika.co.id, 18/1/2018).
Terkait substansi kasus tidak pada tempatnya kita kupas di sini, namun justru yang menarik adalah mengapa ketika ada orang, sebut saja misalnya, oknum politisi Nas**m berinitial “VL” yang sudah sangat nyata melakukan provokasi, menghasut masyarakat dan menunjukkan kebencian terhadap golongan masyarakat lain negeri ini yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kasusnya tidak jelas, namun ketika ada ustaz yang materi ceramahnya diduga provokatif begitu cepat aparat penegak hukum mengambil tindakan?
Bahwa dalam konteks penegakan hukum siapapun setara dihadapan hukum (equality before the law) dengan demikian kita sangat berharap aparat kepolisian sebagai bagian dari elemen penegakan hukum harus tetap professional dan proporsional.
Sejatinya berbagai hambatan dan tantangan serta penolakan bahkan pengusiran yang dilakukan oleh mereka yang jahili tidak akan menyurutkan semangat para pendakwah sejati. Justru hal tersebut menjadi amunisi dan menambah kekuatan iman serta militansi mereka yang berjuang di jalan Allah. Semoga kita dapat menjadi bagian dari golongan yang berada diatas jalan dan petunjuk-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected].