REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar *)
Lafaz al-hamdu lillah (segala puji hanya bagi Allah) sesungguhnya bisa dimaknai sebagai ikrar yang mempunyai efek positif bagi para pembacanya. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu, lafaz al-hamdu sebuah lafaz pujian tulus diucapkan dimulut dan dirasakan dalam hati. Bukan sekadar pujian basa basi (tatsniyah), apalagi bukan pujian untuk cari muka (tamaddah) yang lain di mulut lain di hati. Lafaz tahmid (al-hamdu lillah), yang muncul di bagian awal surah al- Fatihah berarti ikrar pujian tulus akan kemahakuasaan Allah SWT yang sekaligus berfungsi untuk mengikis sikap ujub dan sombong yang mungkin masih terselip di dalam lipatan kalbu kita.
Sekecil apa pun sampai sebesar apa pun sebuah pujian, jika masih memberikan kesan ujub, seolah-olah masih ada objek yang layak dipuji selain Allah, maka itu berarti kita masih memelihara apa yang disebut dalam kitab-kitab tasawuf hijab cahaya (al-hijab al-nuraniy), bukan hijab gelap (al-hijab al-dhulmany) seperti dosa-dosa besar. Meskipun hijab nurani bersifat halus, tidak sedikit orang yang jatuh karena kesilaaun cahayanya.
Ini lesson learning bahwa bukan cuma hijab dhulmani yang bisa menjatuhkan orang ke dalam l bang, tetapi juga hijab nurani. Bahkan, mungkin hijab nurani lebih banyak menjatuhkan orang besar daripada hijab dhulmani yang sering menjatuhkan orang-orang awam.
Dengan ikrar tahmid mestinya tidak menyisakan sedikitpun rasa ujub dan kesombongan dalam hati. Sekecil apapun kesombongan itu tidak akan pernah mencium bau surga bagi pemiliknya. Demikian diungkapkan dalam hadis. Dalam hadis lain disebutkan: Kesombong an adalah pakaian-Ku, jangan ada siapa pun yang menggunakannya. Banyak lagi ayat dan hadis yang mencela ujub dan kesombongan.
Bagi orang yang menghayati lafaz tahmid, jika dipuji ia menyesal seraya memohon ampun kepada Allah: Ya Allah, ampuni hamba-Mu karena sesungguhnya ia salah alamat memuji. Mestinya yang dipuji hanya Engkau, bukan aku. Bukankah objek pujian itu keseluruhannya berasal dari-Mu. Jika orang menghayati lafaz tahmid, maka ia gembira saat ia terhindar dari pujian dan bersedih jika ia dipuji. Amat naif mulut mengucapkan tahmid, tetapi hati merasakan ke banggaan dari sebuah pujian. Orang yang arif lebih senang mendapatkan kritikan daripada pujian.
Bukankah pujian lebih banyak menjatuhkan orang daripada pujian? Jangan bersedih dan bersy kurlah ketika dikritik karena orang itu membantu menunjukkan kelemahan yang mungkin luput dalam perhatian kita. Jika seorang arif di puji ia menjawab: Ya Allah, jika kritikan itu benar, ampuni aku, dan jika keliru, ampuni dia. Dengan demikian, tidak pernah lagi ada benci dan dendam yang bermalam di dalam kalbu. Alhamdulillah.
Lafaz tahmid bukan hanya ber isi ikrar kerendahan diri, melainkan juga penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Kita seolah tidak memiliki kekuatan dan daya apapun, sepenuhnya kita pasrahkan diri kita hanya kepada Allah SWT, sejalan dengan ikrar iftitah kita di awal shalat: Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabb al-'alamin (sesungguhnya shalatku, ibadah dan pengabdianku, serta hidupku hanya tercurah kepada-Mu Tuhan sekalian alam semesta).
Lafaz tahmid menjadi ikrar untuk kembali ke jati diri sesungguhnya sebagai manusia yang dhaif, yang diberi amanah sebagai hamba dan khalifah di muka bumi. Amatlah naif jika ada orang selalu mengucapkan tahmid setiap hari, tetapi pada waktu bersamaan masih menampakkan sikap-sikap keangkuhan dan kesombongan.
Jika dimungkinkan tahmid itu menjadi kepribadian dan jati diri setiap ahli shalat (al-mushalli) karena setiap rakaat, baik shalat fardhu, maupun shalat sunah terus mengikrarkan kalimat tahmid. Tidak sah shalat seseorang tanpa membaca surah al-Fatihah yang dalam ayat keduanya tercantum alhamdu lillah Rabb al-'alamin. Dalam hadis ditegaskan: La shalata liman la yaqra' bi fatihah al-kitab (tidak ada shalat tanpa membaca surah al-Fatihah).
Lebih dalam lagi jika dimungkinkan lafaz tahmid dimaknai dengan tasyakur, yaitu pujian yang di sertai dengan realisasi pengabdian dalam bentuk berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Jika lafaz tah mid dimaknai hanya sebagai lafaz tatsniyah yang hanya berhenti mulut. Idealnya lafaz tahmid dimaknai sebagai lafaz tasyakur, sebuah pujian yang tidak hanya berhenti di mulut dan hati, tetapi diiringi dengan perbuatan dan perilaku nyata dalam kihidupan masyarakat.
Sebuah pujian disebut tasyakur jika tidak hanya diungkapkan pujian dalam bentuk kata-kata, baik kata hati maupun mulut, tapi juga di manifestasikan dalam bentuk berbagi kebahagiaan dengan cara mentraktir kawan-kawan dan koleganya di sebuah restoran. Harta yang su dah cukup nisab dan persyaratannya langsung dikeluarkan zakatnya minimun 2,5 persen ditambah dengan sedakah, infak, jariyah, waqaf, hibah, dan lain-lain. Inilah yang disebut syukur.
Namun, lafaz syukur masih bisa dibedakan antara syakir dan syakur. Pertama, memuji dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT. Sedangkan, lafaz syakur memuji dan mensyukuri apapun yang datang dari Allah SWT, baik untuk diri maupun keluarganya, termasuk mensyukuri musibah dan kekecewaan yang meninpa dirinya. Jika ditimpa musibah penyakit ia tetap bersyukur dengan mengagumkan Tuhan, seolah hendak mengatakan:
Terima kasih ya Allah Engkau te lah menurunkan 'surat cinta' berupa penyakit yang menggerogoti seluruh makanan dan minuman yang tidak halal yang sudah menjadi darah daging di dalam tubuhku. Terima kasih ya Allah Engkau menggerakkan hati orang untuk memfitnah kami, sebagaimana kami tahu fitnah adalah pencuci dosa paling keras.
Apa pun yang datang menimpa dirinya disyukuri karena sudah tidak pernah lagi salah paham terhadap qadha dan qadar dari Allah SWT. Orang yang menghayati tahmid lebih dalam tidak akan lagi merasakan kekecewaan, penderitaan, dan stres. Dengan demikian, betul kata Nabi bahwa surah al-Fatihah juga dikenal sebagai surah al-Syifa' (penyembuhan). Allah a'lam.
*) Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah