REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali, Cendekiawan Muslim
Dalam membaca secara cepat buku Mr Clark dari Parepare, mata penulis tertumbuk pada Bab 7, ’’N-250 Menghilang, R-80 Terbilang”. Bab ini mendeskripsikan proses pembuatan dan peluncuran pesawat rancangan Habibie pada 10 Agustus 1995. Peluncuran pesawat itu adalah event yang menyumbangkan titik kesadaran mendalam penulis atas eksistensi Habibie.
Sambil meneteskan air mata, kepada kawan yunior, Prof Dr Bahtiar Effendy, penulis berkata, “Saya melihat yang terbang mengapung di udara itu bukan pesawat, melainkan ‘Islam’.” Dalam bab 7 ini, penulis menemukan perasaan terharu itu bukan milik penulis semata.
Pasangan suami istri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Sutrisno serta ribuan awak IPTN berkombinasi dengan jutaan pemirsa televisi pada saat yang sama ikut terharu. Jadi keharuan penulis di rumah, di depan televisi, menjalar dan menyatu dengan jutaan lainnya.
Namun, apa arti “Islam” di sini? Jawaban umumnya, mungkin event itu merefleksikan peristiwa “antropologis” di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), representasi dunia modern, menyatu dengan dunia agama. Makmur Makka, penulis buku Mr Clark dari Parepare yang diterbitkan Penerbit Republika (2018), mendeskripsikannya. Ia menceritakan, sehari sebelum terbang perdana, karyawan IPTN yang Muslim, berdoa bersama di Masjid Habibur Rahman, di kompleks IPTN.
Sekitar 7.000 jamaah memadati ruang berukuran 50 x 50 meter. Mereka shalat Isya berjamaah, dilanjutkan pemanjatan doa bersama yang dipimpin Ketua MUI Jabar, KH Totoh Abdul Fatah. Jamaah yang hadir seperti sedang mengikuti shalat Id.
Mereka mengenakan pakaian terbaik, batik dan jas. Ada di antara mereka bahkan mengajak anak-anaknya. ‘’Dengan doa kita malam ini dan juga doa rakyat Indonesia, insya Allah, masa depan bangsa menjadi cerah,’’ kata BJ Habibie di depan jamaah.
Di sini, kita melihat agama, yaitu “Islam”, telah “dianggap” kekuatan tersendiri dalam “membantu” keberhasilan kinerja iptek. Anggapan ini, seperti terlihat pada paragraf di atas, juga dimiliki Habibie, sang ilmuwan dan teknolog terkemuka dunia.
Namun, agama “Islam” yang terbawa ke dalam event proses peluncuran pesawat N-250, lebih bersifat suportif dan “penyerahan” diri. Dengan kehadiran jamaah yang begitu besar, event ini sulit kita katakan hanya memenuhi kewajiban. Ada unsur “kesukarelaan”.
Di atas itu, ada pengharapan “di luar dunia teknikal” atas keberhasilan eksperimen iptek, peluncuran penerbangan N-250. Apa yang bisa kita catat dari fenomena ini?
Dengan metode berpikir antropologis seperti dikembangkan antropolog Perancis Claude Levie-Strauss tentang “totemisme”, kita bisa mencerna pantulan balik karya iptek seperti pesawat N-250 ke dalam penghayatan keagamaan.
Coba perhatikan pernyataan Levi-Strauss, ’’Pertama-tama, totemisme adalah pantulan dari luar alam kita sendiri, seakan-akan melalui sejenis upacara pembebasan diri dari roh jahat, tindak-tanduk alami yang tak sejalan dengan krisis yang dilahirkan ketidaksinambungan antara manusia dan alam.’’ Ini bersambung dengan pernyataan antropolog Roger Poole, betapa pun tersembunyinya pikiran dalam diri manusia, jejaknya tetap bisa ditemui.
“Krisis” atau exigency yang lahir dari ketaksinambungan antara alam dan manusia yang dinyatakan Levi-Strauss di atas identik dengan kegalauan berbagai pihak yang terlibat pembuatan dan peluncuran pesawat N-250. Absennya kemampuan iptek dalam memprediksi esok hari adalah wujud krisis tersebut. Itulah yang dikompensasi dengan ritual keagamaan.
Maka itu, tingkah-laku “istimewa” para pengunjung di masjid IPTN satu malam sebelum peluncuran pesawat N-250 adalah sebuah teks, dalam versi Poole di atas, yang memungkinkan kita membaca pikiran para pengunjung di masjid IPTN malam itu. Upacara keagamaan yang berlangsung khusus pada malam itu bukanlah sesuatu yang biasa. Melainkan, betapa pun tersembunyi, adalah refleksi pemikiran jamaah, yang mengharapkan bantuan kekuatan supranatural untuk keberhasilan eksperimen iptek itu.
Dalam arti kata lain, melalui karya ipteknya, Habibie mempertautkan dunia modern dengan agama “Islam”. Bukan saja iptek tak bertentangan, melainkan juga agama dijadikan supporting element bagi kinerja iptek. Ini mengingatkan penulis pada konsep ie yang diperkenalkan antropolog Jepang, Nakane. Secara harfiah, kata ie di dalam bahasa Jepang adalah keluarga.
Namun, dalam konteks sejarah dan sosiologis, ie adalah sistem keluarga yang menjadi pedoman kaum feodal Jepang pada masa lalu. Keanggotaan dalam ie bukan ditentukan garis darah, melainkan kesamaan lapangan dan tempat kerja.
Kesetiaan anggota terhadap ie-nya inilah yang menjadi landasan struktur sosial Jepang dalam menerima modernisasi. Lembaga tradisional ini secara fungsional bertransformasi menjadi unit-unit usaha modern, seperti Toyota, Mistsubishi, dan Panasonic.
Walau sedikit agak “dipaksakan”, peleburan “antropologis” antara agama “Islam” dan iptek yang terjadi melalui karya Habibie, yaitu N-250, itu menunjukkan fenomena sama dengan dukungan sistem dan lembaga tradisional Jepang atas perkembangan modernisasi. Bisalah disebut “peleburan antropologis” ini merupakan sumbangan Habibie bagi peradaban yang berarti bagi bangsa Indonesia, ketika peristiwa iptek mendapatkan “pengesahan” agama.
Lalu, apa arti pesawat yang mengapung terlihat sebagai “Islam” yang mengudara, seperti pernyataan penulis kepada Prof Dr Bahtiar Effendy di atas? Pada Agustus 1995 itu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) baru berumur setengah dasawarsa. Kemunculannya pada 1990, membelah “kekuatan politik” nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler.
Walau penulis tak suka dengan frasa ini, penggolongan bersifat dikotomis ini bisa memberikan kita pegangan untuk melihat arti keberhasilan peluncuran N-250 dalam konteks “politik budaya” kala itu.
Nasionalisme sekuler berakar dari elite kaum inteligensia didikan Barat yang bukan saja berhasil merumuskan konsep negara-bangsa Indonesia yang terlepas dari penjajahan, melainkan juga mengabdikan diri dalam perjuangan merealisasikannya.
Gagasan mereka, terciptanya negara-bangsa bersifat sekuler, di samping mewadahi pluralisme, peranan agama tak boleh diformalkan. Karena pada mulanya Presiden Soeharto, sejak 1967, memperlihatkan kecenderungan pemikiran yang sama, maka sampai akhir 1980-an, akomodasi politik terhadap kalangan nasionalisme sekuler berlangsung besar-besaran ke dalam sistem politik negara.
Namun, pada akhir 1980-an dan awal 1990-an politik budaya Presiden Soeharto berubah kepada “Islam”. Indikasi paling mencolok adalah dukungan politiknya pada pendirian ICMI pada 1990. Perubahan inilah yang memunculkan kembali kekuatan politik nasionalisme Islam.
Kendatipun demikian, walau sekadar ─mengutip frasa yang pernah penulis buat─ “akomodasi nonpolitik”, kemunculan kekuatan politik Islam nasionalis awal 1990-an ini menimbulkan reaksi kaum nasionalis sekuler.
Inilah yang menyebabkan pembelahan politik nasional. Dalam keterbelahan politik ini, Habibie tampil memberi “isi” atas kebangkitan kelompok nasionalis Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini, tentu berbeda dengan gambaran kelompok “Islam” masa lalu yang ditandai keterbelakangan sosial-ekonomi, terlebih dalam iptek. Dalam konteks inilah penulis menghayati melesatnya N-250 bukan sekadar benda yang terbang melainkan “Islam”.