REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Hampir selama sebulan Januari lalu, saya mendapat kesempatan untuk kembali ke Tanah Air tercinta. Sebagai putra bangsa yang telah hidup di luar negeri lebih 31 tahun, sejak memulai kuliah di Pakistan sekitar tahun 1988 hingga saat ini, pulang kampung adalah momen yang selalu menarik dan manis.
Sering saya sampaikan ke teman-teman di Tanah Air bahwa sejauh kaki berjalan, sejauh mata memandang, merah putih tetap eksis di dada ini. Hubbul wathon (cinta Tanah Air) itu memang bagian dari tabiat (nature) manusia. Nabi pun mengungkapkan itu ke kota kelahirannya: “kalau saja mereka tidak mengusirku keluar darimu, tak bakal kutinggalkan engkau (Makkah)”.
Kepulangan saya kali ini punya makna dan nilai tersendiri. Selain karena saya membawa misi dan mungkin juga sebuah ambisi besar, yaitu rencana membangun pesantren pertama di Amerika, juga berekesempatan bersilaturrahim dengan orang-orang hebat. Mereka adalah anak-anak bangsa yang mungkin tidak salah kalau saya menyebut “pilihan” (the chosen).
Pada kepulangan tiga bulan lalu, saya berkesempatan ketemu dengan orang-orang hebat, di antaranya Wapres Jusuf Kalla, mantan presiden RI Bambang Susilo Yudhoyono, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Komisaris BPK Agus Joko, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang.
Mereka semua adalah putra-putri terbaik bangsa ini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mereka telah menempatkan diri di garda terdepan melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini.
Dalam tulisan bersambung ini akan saya tuliskan pengalaman bertemu dengan sebagain tokoh-tokoh pilihan itu. Tujuannya, hanya agar membiasakan diri mengapresiasi kelebihan dan kontribusi putra putri terbaik bangsa, tanpa tendensi politik apapun.
Sang jenderal, sang pemimpin
Jenderal Gatot Nurmantyo saya kenal sebagai panglima TNI RI yang merakyat, tawadhu dan intelektual. Di bawah kepemimpinan beliau TNI menjadi lebih solid dan dekat dengan rakyat. Saya diingatkan masa-masa seorang putra Bone, Sulsel, Jenderal Jusuf memimpin tentara nasional kita saat itu. Kedekatan antara rakyat dan TNI menjadikan bangsa dan negara semakin kuat.
Keinginan saya untuk bersilaturrahim dengan beliau berawal ketika mendengar bahwa beliau tiba-tiba mengalami “insiden” pelarangan masuk Amerika. Padahal saat itu beliau adalah Panglima TNI dan diundang oleh Panglima militer Amerika Serikat.
Ketika saya mendengar bahwa itu adalah kesalahan administrasi dan keprotokolan Amerika, saya bertanya pada diri sendiri. Sedemikian kacaukah kerja-kerja administrasi dan keprotokoleran Amerika? Sejujurnya kata hati saya menolak jika insiden itu disebabkan oleh kesalahan administrasi.
Saya bahkan curiga jika ada faktor yang lebih besar di balik dari itu. Melalui kebaikan hati seorang teman baik terjadilah pertemuan itu. Awalnya saya merasa kaku, maklum akan ketemu dengan seorang jenderal bintang empat dan menjadi pucuk pimpinan di TNI kita. Seorang tentara apalagi seorang jenderal dengan posisi puncak di TNI pasti sangat disiplin dan berwibawa.
Dalam benak saya suasana pasti akan kaku dan menegangkan. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Saya bersama tiga orang lainnya diterima dengan suasana cair dan akrab. Bahkan suasana keakraban itu semakin terasa dalam diskusi terbuka tentang banyak hal sambil menikmati makan siang dengan masakan Mandi (ala Yaman). Tidak canggung-canggung beliau sendiri menuangkan makanan di piring kami.
Berbagai tema pun mengalir dalam diskusi kita di siang hari itu. Dari sejarah Nusantara dan Islam, hingga peranan ulama dalam menjaga NKRI, dan banyak lagi.
Tapi, dari semua itu yang paling saya rasakan dari beliau adalah komitmen dan loyalitas yang tinggi kepada bangsa dan negara. Dan uniknya loyalitas itu terbangun di atas komitmen dan kebanggan beliau sebagai seorang Muslim. Sehingga saya menilai jika pada diri beliau ada “melting pot” (titik temu) antara komitmen keagamaan dan loyalitas kebangsaan sekaligus.
Mengenal beliau lebih dekat menjadikan kita semakin tersadarkan betapa bangsa ini memerlukan sosok “pemersatu” dalam keragamannya. Apalagi belakangan ini, terjadi ketegangan-ketegangan antar elemen masyarakat akibat memanasnya suhu politik di tanah air.
Anak-anak bangsa memerlukan sosok yang bisa merangkul semua elemen bangsa dengan hati dan jiwa besar. Dan tampaknya beliau inilah sosok tokoh yang memiliki karakter itu.
Kesimpulan ini tentunya bukan tanpa alasan. Ambillah sebagai misal, di saat-saat tensi meninggi pasca pernyataan Gubernur Ahok yang dianggap melecehkan Alquran.
Berbeda dengan pejabat lain di negara ini. Pendekatan beliau adalah pendekatan yang merangkul. Pernyataan-penyataan beliau saat itu jelas merangkul pihak-pihak yang kecewa, bahkan pada tingkatan tertentu marah. Pendekatan ini adalah sikap bijak dari seorang jenderal, yang sekaligus menampakkan karakter seorang pemimpin sejati.
Kebijakan-kebijakan beliau selaku panglima TNI itu menjadikan beliau semakin dikenal oleh khalayak ramai. Sehingga banyak yang mengharapkan beliau menyiapkan diri untuk memainkan peranan yang lebih besar di negara ini.
Hal itu pula yang saya tanyakan pada saat pertemuan terakhir. Bahkan saya termasuk salah seorang yang mengharapkan dan mendorong beliau untuk memainkan“peranan lebih besar” itu.
Sungguh mengejutkan jawaban beliau kepada saya: “saya khawatir jika hal itu saya lakukan bukan karena ridho Tuhan, atau bukan untuk kepentingan negara. Tapi karena ambisi dan ego saya”.
Beliau kemudian melanjutkan: “biarkan saya membenahi hati terlebih dahulu. Saya mau nyantri dulu ustaz”.
Belakangan beliau intensif melakukan kunjungan ke tokoh-tokoh agama, khususnya ke pesantren-pesantren. Saya melihat keinginan beliau untuk nyantri bukan basa basi. Tapi sebuah komitmen untuk menata diri, mempersiapkan peranan yang lebih besar itu.
Sejujurnya, di tengah arus globalisasi yang semakin deras, dunia semakin terbuka, menjadikan hampir tiada batas antara manusia dan negara, hanya ada dua kemungkinan di hadapan kita.
Menjadi pemain dan menentukan wajah dunia. Atau menjadi korban-korban keganasan globalisasi dan keterbukaan itu. Dan untuk menjadi pemain dan ikut mewarnai dunia, bangsa dan negara ini memerlukan pemimpin yang berani dan kuat.
Pemimpin yang memiliki kharisma di mata dunia, didengar, dan memiliki kekuatan yang menentukan (decision power). Jika tidak, maka negara akan dilirik setengah hati dan kurang nilai (value). Akhirnya negara dan bangsa besar bagaikan buih yang bergerak mengikut arah hempasan ombak lautan.
Beberapa waktu terakhir ini, beliau menjadi sorotan luas karena pernyataan tentang pemberhentian dirinya dari jabatan tertinggi di TNI. Beliau menyatakan bahwa dirinya tidak dipecat, tapi justeru digantikan dengan orang lain. Beliau bahkan menyampaikan terima kasih kepada presiden, karena penggantian itu memberikan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan introspeksi diri.
Menata kembali hati dan jiwa pengabdiannya, bahwa semua itu beliau lakukan bukan untuk sebuah pamrih dan kepentingan pribadi. Tapi untuk Tuhan dan negara (for God and country).
Beliau dalam menyampaikan pernyataan itu teringat oleh sebuah peristiwa sejarah yang agung dalam perjalanan umat ini. Sejarah Khalifah Umar dan Panglimanya, Khalid bin Walid. Sebagai santri, saya tahu betul bahwa penyebutan fakta sejarah itu sangat tepat pada tempatnya. Karena sejarah memang untuk ditauladani. Bukan untuk dihafal.
Pernyataan beliau itu ditanggapi sangat positif oleh banyak kalangan. Salah satunya dari seorang tokoh Jaya Supriyana yang menyebut dirinya sebagai pembelajar makna keluhuran budi pekerti. Beliau menuliskan kekaguman itu dalam sebuah tulisan dengan judul “Mencari Keridhoan Allah”. Penyebutan diri Jaya Supriyana sebagai pembelajar makna keluhuran budi pekerti menunjukkan keluhuran budi pekerti sang jenderal.
Yang pasti bagi saya pribadi pernyataan itu adalah ekspresi alami dari sebuah hati dan jiwa yang “down to earth” (tawadhu). Sebuah kejiwaan yang tegar, yang tidak terombang ambing oleh arus pergerakan dunia. Sebuah karakter patriotik sejati dari sang panglima, yang terayomi oleh rasa religiositas yang dalam.
Kalau ada pihak-pihak yang ngeyel, mencari-cari celah untuk menyalahkan, saya yakin hal itu tidak mengganggu kebesaran jiwa beliau. Lebih dari itu saya yakin jika hal ini akan diingat oleh bangsa ini, khususnya umat Islam, bahkan menjadi catatan indah dalam sejarah kebangsaan itu sendiri.
Saya hanya bisa mendoakan semoga sang jenderal diberikan kemuliaan lebih, di dunia dan di akhirat. Semoga dijaga dari berbagai serangan dan terpaan fitnah. Teringat kata-kata beliau: “Begini saja sudah diserang sana-sini. Apalagi kalau menyatakan keinginan untuk berbuat yang lebih besar bagi negara ini”.
Merespon itu saya menyampaikan kepada beliau: “hidup itu hanya sekali. Dan hidup itu adalah asas manfaat. Bahwa yang terbaik di antara kita adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Setiap orang ada momentum yang tepat untuk memberikan manfaat terbaiknya bagi manusia dan dunia. Dan karenanya Bapak Jenderal, for god and country (untuk Tuhan dan negara) Bapak dituntut untuk melangkah lebih tinggi. Semoga Allah menguatkan”. Amin!
New York, 14 Februari 2018
*) Presiden Nusantara Foundation