REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Daud Risin *)
Saat ini pemeluk agama apa pun tidak mungkin lagi hidup menyendiri secara eksklusif, tertutup, tetapi mesti terlibat secara terbuka dalam dialog dan perjumpaan dengan pemeluk agama lain. Dengan kata lain to be religious, someone has to be interreligious. Banyak umat beragama yang kaget dan tidak siap memasuki kehidupan dan pergaulan lintas umat beragama yang semakin mengglobal dan intens. Adanya pusat kajian studi agama-agama ini akan menambah rujukan untuk melihat keragaman agama dan merambah jalan kebenaran menuju pada Tuhan Yang Maha Absolut.
Kemajemukan agama merupakan realitas konkret, suka atau tidak suka. Mesti semua penganut agama yang beragam itu meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Esa, namun kenyataannya di muka bumi ini terdapat macam-macam suku, bahasa, bangsa, warna kulit dan juga beragam agama (QS al-Hujurat 49 : 11-13 dan QS Ar-Rum : 22).
Kenyataan keragaman ini pun ditegaskan oleh Tuhan dengan menyatakannya dalam berbagai Kitab Suci. Di dalam Alquran sendiri disebutkan tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang mereka menghadap kepada-Nya. Tuhan juga telah menetapkan aturan dan jalan terang yang berbeda-beda bagi tiap-tiap umat (QS Al-Ma'idah : 48).
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah sejak awal kemerdekaan juga sudah menyepakati secara bulat konstitusi tersebut. Pada muktamar di Pondok pesantren Situbondo , Jawa Timur tahun 1984, NU menekankan kembali komitmen kenegaraan dan kebangsaan tersebut dan menegaskan Pancasila sebagai dasar Negara secara final. KH Ahmad Siddik salah seorang ulama terkemuka dan kharismatik, mengemukakan tiga gagasan persaudaraan (Al-Ukhuwwah); Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan napas-napas Islam), Ukhuwwah Wathoniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan Ukhuwwah Insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).
Hal ini menunjukkan keragaman/pluralisme telah diterima para ulama Islam NU dan Muhammadiyah beserta para pengikutnya atas dasar agama Islam.
Jika hari ini keragaman (pluralisme) ditolak oleh sebagian kecil kelompok yang mengatasnamakan Islam yang ingin menegakkan negara khilafah maka hal itu akan memicu bahkan menjadi ancaman yang serius bagi sistem kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, dan menyalahi firman Allah dalam Alquran surat Al-Hujurat QS 49: ayat 13, yang berbunyi: "Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berbeda warna kulit, beraneka bahasa, beraneka agama, dan beraneka pemahaman agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang orang yang paling bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha teliti)".
Membaca argumentasi kelompok anti keragaman (pluralisme) yang mengatakan, "Bahwa tidak boleh menerima keyakinan dan pikiran lain kecuali keyakinan dan pemikiran Islam", tampak jelas bahwa mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam dan luas untuk bisa memahami sumber-sumber otoritatif agama (Islam), Alquran dan al-Sunnah.
Pembacaan mereka atas teks-teks keagamaan tampak sangat dangkal, partikulatif, eklektik, dan harfiah, lalu membuat generalisasi atasnya. Argumen mereka sangat kering dan konservatif. Pola pembacaan teks seperti itu, bagaimanapun telah mereduksi lautan Ilmu Tuhan yang Maha tak terbatas (ocean without shore). Klaim kebenaran atas pemahaman literal, tunggal, dan final sambil menyalahkan pemahaman pihak lain adalah bentuk kebodohan yang nyata sekaligus kekeliruan besar terhadap teks-teks Suci Islam. Di dalam Alquran pun Tuhan mengkritik mereka yang anti keragaman ini sebagai orang-orang yang tertutup pikiran dan hatinya (QS Muhammad 47:24).
Begitu banyak Tuhan menuturkan tentang ide-ide keragaman/pluralisme ini. Tuhanlah yang menghendaki makhluk-Nya bukan hanya berbeda dalam realitas, fisikal, melainkan juga berbeda beda dalam ide, gagasan, berkeyakinan, dan beragama sebagaimana yang disebut dalam beberapa firman-Nya antara lain:
"Sekiranya Dia menghendaki, bisa saja komunitas besar manusia hanya dibentuk satu umat yang homogen, namun Tuhan tidak melakukannya". (QS Hud: 118).
Karena itu, keragaman agama adalah takdir Tuhan yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan apalagi diingkari. Jika hukum itu coba diubah dan dilawan, maka akan berakibat fatal bagi kelangsungan dan kedamaian hidup umat manusia. Tuhan telah mengutus Nabi-nabi agung dan membangun banyak jalan untuk kembali kepada-Nya. Syariat-syariat (aturan-aturan dalam agama) berbeda karena mereka tidak mungkin untuk tidak berbeda. Keseluruhan syariat tersebut mengarah kepada-Nya, namun masing-masing memiliki sebuah spesifikasi yang sudah ditaqdirkan oleh Tuhan dengan tetap memertimbangkan kebahagiaan manusia.
Rahmat dan kasih Tuhan sejatinya lebih agung, luas, dan lebih dahulu dibanding murka-Nya. Rahmat ini jelas dibutuhkan oleh kemajemukan agama demi kebahagiaan manusia. Karena kecenderungan watak manusia yang berbeda-beda, maka dispensasi Tuhan bagi manusia juga berbeda sesuai dengan perbedaan yang ada.
Sentral pemikiran yang ingin saya utarakan adalah konsep mengenai "the Unity of Being" (Wahdatul Wujud) atau "Kesatuan Wujud". Tuhan, alam, dan manusia pada dasarnya satu, yang berpusat pada Tuhan sebagai Wujud Absolut (Absolute Being, wajibul wujud), sedangkan alam dan manusia ada karena diadakan atau karena keberadaan Tuhan (mumkin al wujud, contingent being). Alam dan manusia adalah lokus bagi tajalli (manifestasi) Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya dan agar dikenal oleh makhluk-Nya. Karena keberadaan manusia adalah tajalli (manifestasi) dari eksistensi Tuhan yang Esa dan Absolut, dengan berbagai sifat dan nama-Nya.
Konsep Kesatuan Wujud ini bila dikaitkan dengan diskursus seputar beragamnya agama akan menjadi bahan studi yang menarik. Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah, apakah dengan banyak agama berarti banyak Tuhan, ataukah Tuhan itu satu namun didekati oleh berbagai ragam pemeluk agama? Jika agama ternyata beragam, apakah keragaman itu semata produk sejarah ataukah ada campur tangan Tuhan yang telah mengirim beragam Rasul (utusan)-Nya dengan ajaran yang berbeda-beda? Kata "pluralisme" pun tak luput dari perdebatan. Apakah pluralisme berarti menyamakan semua agama ataukah sekadar sikap mengakui eksistensi agama-agama dengan keunikannya masing-masing?
Selama ini diskursus tentang pluralisme agama selalu merujuk kepada karya-karya sarjana agama dari dunia Barat. Mereka mendefinisikan pluralisme sebagai pandangan dan keyakinan bahwa Yang Esa memanifestasi pada yang banyak atau agama-agama partikular merupakan respons terhadap Yang Esa. Beberapa tokoh Sufi di abad-abad ke-13 dan 14 sesungguhnya telah mendiskusikan hal itu secara filosofis dan mendalam. Uraian ini secara serius berusaha menyuguhkan pandangan tentang bagaimana Tuhan ber-tajalli (menampakkan diri) dan bagaimana respons umat manusia terhadap Tuhan Yang Esa sehingga terwujud kemajemukan keyakinan keagamaan.
Hakikat kebenaran itu hanya satu, tetapi di hadapan manusia terbentang banyak jalan dan apa yang bisa diraih oleh manusia hanyalah serpihan-serpihan kebenaran. Para pemeluk agama dan pemerhati tradisi-tradisi agama apapun patut belajar bahwa keberagamaan yang inklusif dan pluralis itu tidak serta merta menanggalkan atau meninggalkan identitas agama historisnya.
Pengalaman menjadi praktisi dan akademisi tasawuf (Spiritualitas universalitas Islam) dan pengalaman menyelami tradisi agama-agama lain memberikan pengaruh yang dalam bagi pengalaman profesionalitas dan keberagamaan saya. Ekspresi pengalaman keberagamaan yang otentik yang universal merdeka dari belenggu pengkultusan itu seringkali menimbulkan kontroversi yang tajam di kalangan ulama-ulama syariat.
Pandangan yang banyak disalahpahami adalah konsep tentang kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Konsep kesatuan agama-agama dalam pandangan yang benar hanya dapat terjadi pada wilayah esoterik atau yang transenden. Agama-agama mesti berbeda satu sama lain pada dimensi eksoterik atau pada bentuk, institusi, syariat, doktrin dan simbol-simbol. Dengan kata lain, agama-agama secara substantif dapat menyatu meski berbeda bentuk secara formal.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pandangan-pandangan keagamaan yang toleran dan inklusif perlu terus diupayakan dan disosialisasikan betapa pun kerasnya benturan dan hambatan datang meradang dari kelompok-kelompok yang yang berpandangan sempit merasa benar sendiri yang tidak menyetujuinya. Apalagi mayoritas Muslim Indonesia dengan nilai-nilai ketimuran yang dikenal santun dan toleran merupakan modal sosial yang baik. Ibarat benih yang unggul, tinggal terus disirami dan diberi pupuk yang memadai.
Kompleksitas kehidupan keagamaan pada masyarakat dunia yang mengglobal membuat kajian studi spiritualitas agama-agama ini tetap penting dan relevan. Hasil studi agama-agama juga dapat menjadi basis teologis yang kukuh bagi pluralisme modern, bahwa agama, yang dipahami kaum Sufi (orang yang ber-Tasawuf/gnostik), memberi apresiasi yang dalam bagi kemajemukan. Pada tataran praktis hal itu dapat mendorong terjadinya kesepahaman yang baik dan hubungan yang harmonis antar pemeluk agama yang berbeda-beda.
Esoterik-eksoterik
Nah, dalam konsep kesatuan agama-agama akan dibahas kategorisasi esoterisme dan eksoterisme sebagai proses analisis yang menjadi dasar argumentasinya. Penting juga dikemukakan adanya kesamaan makna dan tujuan yang terkandung dalam tradisi esoterik agama-agama.
Secara etimologis, esoterisme berasal dari kata Yunani esoteros lalu menjadi esoterikos, yang kata dasarnya adalah eso, berarti di dalam, atau suatu hal yang bersifat bathin bahkan mistis (bukan klenik). Dictionary of Philosophy menjelaskan kata esoterik bermakna ritual, doktrin, atau puasa. Istilah ini sendiri ditemukan pada catatan dialog Plato, Alcibiades sekitar tahun 390 SM.
Secara terminologis, dalam kamus Webster dijelaskan "esoterik" ditujukan kepada atau dipahami hanya oleh murid-murid terbatas, terpilih, dan yang telah diinisiasi. Dalam nada yang sama, kata ini juga digunakan untuk menunjukan ajaran rahasia Phytagoras kepada beberapa muridnya yang terpilih. Dalam diskursus Filsafat perennial, esoterisme adalah dimensi terdalam atau intinya agama (the heart of religion).
Membicarakan esoterisme berarti membincangkan pasangannya, yakni eksoterisme. Keduanya menyatu, tak dapat dipisahkan. Seperti halnya esoterisme, eksoterisme juga berasal dari kata Yunani exoterikos yang kata dasarnya adalah exo yang berarti aspek luar (eksternal) atau yang di luar (outside).
Secara terminologis Webster menjelaskan eksoterisme adalah suatu pengetahuan yang diajarkan bagi masyarakat luas dan tidak dikhususkan bagi murid-murid yang terpilih dan yang telah diinisiasi. Dictionary of Philosophy juga menjelaskan kata eksoterik digunakan untuk menyebut pengajaran yang dimaksudkan untuk dapat dipahami dan disampaikan kepada khalayak umum, sebagai kebalikan dari aspek pengajaran yang bersifat esoterik. Eksoterisme biasanya diartikan sebagai aspek luar, eksternal, formal, dogma, ritual, etika atau moral sebuah agama sebagai kebalikan dari esoterisme sebagai inti terdalam agama.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Ketika esoterisme dalam beragama ditinggalkan, maka yang terjadi adalah saling curiga satu sama lain, saling klaim kebenaran. Untuk itulah esoterik berfungsi bagaikan "hati" dan eksoterik ibarat "badan agama".
Kehidupan keagamaan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi Yang Tak Berbentuk (the Formless Essence) atau yang esoterik. Dimensi esoterik berada di atas atau melampaui dimensi eksoterik.
Kesatuan agama-agama, hanya akan terjadi pada level yang tak berbentuk, yang batin atau esoterik. Pada level eksoterik (di antara agama-agama), yang dapat dilakukan adalah dialog, pembicaraan, atau diplomasi berdasar rasa hormat satu sama lain dan dalam harmoni.
Esoterisme adalah inti terdalam agama yang mengejawantah dalam bentuk eksoterik dan sekaligus menjamin perkembangan (bentuk agama itu) secara normal dan dalam stabilitas maksimal. Esoterisme merupakan pancaran sinar tetapi sekaligus tabir bagi eksoterisme.
Jika suatu agama, tepatnya para pemeluk agama yang bersangkutan, menolak keberadaan inti atau yang esoterik karena ketakpercayaannya atau ketakpahamannya terhadap dimensi ini, maka, bangunan agama itu akan berguncang, bahkan mengalami kehancurannya bagian demi bagiannya. Lalu yang tersisa unsur-unsurnya yang paling luar saja, yang kering tanpa makna yang dalam. Bahkan sekedar kata-kata kosong dan sentimental belaka.
Eksoterisme membutuhkan esoterisme karena dua hal. Pertama, dengan sebab esoterisme, eksoterisme dapat muncul dan mewujud secara normal. Maksudnya, esoterisme sebagai inti, berfungsi mensuplai darah segar yang merupakan sumber hidup bagi bentuk atau eksoteris agama.
Tanpa inti ini, eksoterisme terpaksa hanya bersandar dan tergantung pada dirinya sendiri yang terbatas. Kedua, karena keterbatasan merupakan karakteristik utama dari eksoterisme, dan hal itu memang telah meliputi seluruh dirinya, maka jika eksoterisme tercabut dari dimensi inti (esoterik) nya, ia hanya menjadi semacam badan yang padat dan gelap, yang karena kepadatannya sendiri akan menyebabkan keretakan.
Eksoterisme akhirnya hanya akan terkungkung oleh berbagai akibat lahiriah dari keterbatasannya sendiri. Dengan demikian, agama yang hanya mementingkan sisi eksoterisme (syariat) belaka tidak memiliki kepastian mutlak, ia bersifat relatif. Kebenaran sejati atau absolut tidak mungkin dapat ditemukan hanya pada sebuah bentuk atau perwujudan yang mungkin (ada).
Suatu bentuk pasti bersifat terbatas, karena itu tidak mungkin suatu bentuk merupakan satu-satunya perwujudan (dari kebenaran) yang mungkin dari apa yang diungkapkannya. Dalam konteks ini, agama berarti suatu bentuk, dalam arti perwujudannya yang pasti bersifat formal, khusus dan terbatas, meskipun ia tetap memiliki kebenaran internal yang bersifat transenden dan universal. Karena keterbatasannya, suatu bentuk atau agama seharusnya membiarkan sesuatu yang lain berada di luar dirinya, yakni (sesuatu) yang tidak tercakup dalam batas-batasnya.
Dengan kata lain, suatu bentuk atau agama mesti mengakui kebenaran dirinya sebagai relatif, sebab masing-masing bentuk memiliki potensi klaim yang sama-sama absah dan valid serta berdiri sejajar satu sama lain. Karena kesejajaran dan keserupaan antar berbagai bentuk itu, maka hal itu mesti diimbangi oleh suatu persamaan, kesamaan atau titik temu yang relatif ada di antara mereka.
Kesamaan perlu ada, agar tidak timbul perbedaan mutlak antara satu dengan yang lainnya. Jika tidak diakui adanya kesamaan atau titik temu, maka akan timbul ide yang absurd tentang kesatuan keberagaman atau kesatuan eksistensi, yang pada gilirannya akan muncul pandangan satu bentuk atau agama tidak berhubungan sama sekali dengan bentuk-bentuk lain, padahal semua (bentuk atau agama) itu merupakan perwujudan dari Yang Ilahi, Yang Satu, dan Yang Maha Mutlak.
Zat yang Tak Terbatas, Tak Berbentuk dan Yang Unik hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan logika ini, maka, semua bentuk atau perwujudan tidak dapat menganggap dirinya sebagai pemilik dari satu-satunya kebenaran Yang Mutlak. Demikian pula, kaum eksoterik (ahl al-shariah) tidak dapat mengklaim sebagai pemilik kebenaran satu-satunya.
Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen tidak ada agama yang lebih tinggi atau sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakkan Tuhan.
Seperti telah saya singgung, esoterisme dan eksoterisme tidak dapat dipisahkan. Tanpa esoterisme, agama bagaikan tak memiliki jantung, tak memiliki kuasa supranatural. Sebaliknya, tanpa eksoterisme, agama tak berbentuk tak mewujud karena itu tak akan dikenal.
Signifikansi hubungan erat antara yang esoteris dengan yang eksoteris dapat dikatakan sebagai berikut "Jika engkau ingin memiliki isinya, engkau mesti mengupas kulitnya" (if you would have the Kernel, you must break the husk). Karena itu, untuk sampai kepada yang esoterik tak ada cara lain kecuali melalui yang eksoterik.
Untuk sampai pada hakikat isi mesti melalui kulit (syariat). Namun, bagi seseorang dengan pengetahuan (ketuhanan) yang tinggi dan pengalaman spiritual yang memadai, kepuasan dan kesempurnaan agamanya dikecap pada pengetahuan dan pengalaman esoterik.
Sebaliknya, kaum eksoterik yang tidak mau atau tidak dapat memahami realitas esoterik, kepuasan agamanya hanya berada pada dimensi eksoterik an sich. Karenanya, sering terjebak pada klaim pemilik kebenaran satu-satunya.
Pandangan eksoterik merupakan kehendak Ilahi, dalam arti ia bukan muncul berasal dari esoterisme melainkan berasal dari Tuhan, sebab itu ia bukan saja benar dan sah bahkan diperlukan. Apalagi, cara pandang esoterik hanya dianut oleh segelintir orang saja, khususnya dalam kehidupan modern saat ini. Sebagian besar orang, jika tidak dikatakan seluruhnya, menganut cara pandang eksoterik.
Hal ini absah dan memang demikian seharusnya. Namun, yang perlu diwaspadai adalah sifat otokrasi atau eksklusivitasnya yang cenderung mengarah pada kehidupan beragama yang intoleran, disharmoni, destruktif bahkan chaos yang dihasilkannya.
Klaim sebagai satu-satunya pemilik kebenaran mutlak (truth claim) yang melekat di dada para pemeluk agama lalu bertikai satu sama lain bukanlah isapan jempol belaka. Peradaban umat manusia dari masa ke masa selalu dinodai oleh konflik-konflik antar dan intra agama, yang tak jarang dipicu oleh otokrasi dari eksoterisme.
Lebih lanjut, keharusan berpegang pada kebenaran eksoterik adalah karena ia menjanjikan keselamatan (salvation) individu. Biasanya kaum eksoterik menganggap agama atau jalan yang ditempuhnya membawa keselamatan mutlak baik di dunia ini atau kelak di hari kiamat, karena itu tidak ada keperluan untuk mengetahui kebenaran dari (bentuk) agama lain.
Bahkan, mereka tidak hanya tidak tertarik untuk mengetahui kebenaran agamanya sendiri yang paling dalam. Namun, juga menolak pandangan tentang kebenaran agama-agama lain, karena ide tentang kemajemukan bentuk agama dan kandungan kebenarannya masing-masing tidak menguntungkan bagi mereka, khususnya dalam ikhtiar mencari keselamatan pribadi.
Namun, sekali lagi perlu dipertegas kebenaran eksoterik adalah relatif. Meski keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan (atau kewajiban) sebagai bentuk nyata dari dimensi esoteris, namun karena ia amat tergantung kepada Yang Inti, maka ia "benar" tapi relatif. Tanpa jantung atau Yang Inti itu, eksoterisme ibarat patung atau benda tak bernyawa tak bisa bergerak. Wajib adanya tidak berarti mutlak. Keharusan bentuk eksoterik tidak membuatnya menjadi mutlak.
Inti dari eksoterisme adalah kepercayaan kepada sebuah dogma eksklusifistik (formalistik) dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Dengan kata lain, keberagamaan model eksoterik adalah keberagamaan literal atau tekstualis. Keberagamaan model ini atau yang melulu berorientasi eksoterik akan rentan terjebak pada sikap bibliolatria (menuhankan teks kitab suci). Benar, bahwa yang eksoterik adalah perlu dan harus, namun dalam menjalani kehidupan keagamaan, seseorang siapapun mereka mesti memahami dan menembus yang esoterik demi mencapai kesempurnaan atau ketinggian puncak derajat kemanusiaannya.
Sejatinya, esoterisme melampaui "huruf", bentuk formal, dogma, simbol, atau segala perwujudan yang mungkin ada. Esoterisme mengatasi semua bentuk paradoks, pertentangan atau kontradiksi. Dengan kata lain bisa diungkapkan dalam cara pandang bahasa eksoterik; Aku dan Engkau. Bahasa esoterik; Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku.
Pengetahuan esoterik bukanlah tentang Aku maupun Engkau, melainkan tentang Dia.
Keesaan Tuhan atau manifestasi dari Realitas Yang Satu tidak berimplikasi pada pengakuan satu Nabi saja, melainkan justru pada banyak dan beragam nabi, karena Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas menciptakan dunia yang di dalamnya terdapat keragaman, termasuk keragaman pada tatanan manusia. Karena itu, ketunggalan dalam beragama dan berkeyakinan tidak dikehendaki oleh Tuhan. Yang dikehendaki-Nya adalah keanekaragaman.
Tuhan menghendaki keanekaragaman tetapi pada saat yang sama Dia menghendaki perdamaian, bukan konflik dan perpecahan. Kehendak-Nya ini berarti membawa dua hikmah yang amat besar bagi kebernilaian hidup dan sekaligus kemuliaannya. Pertama, manusia harus mencari kedalaman keagungan Tuhan dalam konteks hubungan-Nya dengan alam (manusia). Kedua, manusia harus cerdas mengelola keragaman dan perbedaan untuk tujuan-tujuan positif bagi keberlangsungan hidup mulia. Untuk yang kedua ini, Tuhan memerintahkan manusia agar berkompetisi dalam berbuat kebajikan dalam kenyataan hidup yang majemuk.
Jika Tuhan menghendaki bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, maka adalah sangat logis dan amat bijaksana bahwa Dia juga memberikan perlindungan-Nya kepada para pemeluk agama yang berbeda-beda dan tempat-tempat ibadah mereka untuk mengagungkan nama Tuhan sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam konteks ini , pernyataan Tuhan yang melarang umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain (QS Al-An' am 108) menemukan relevansinya.
Karena itu, keyakinan agama adalah bagian paling personal, eksklusif, tersembunyi dari manusia, dan karenanya tidak ada kekuatan apapun selain kekuasaan Tuhan yang dapat memaksakan suatu keyakinan.
Campur tangan Tuhan tentu saja adalah kasih sayang-Nya karena sifat itu yang permanen dan dominan, serta segala sesuatu ada, mewujud, dan berakhir disebabkan rahmat-Nya. Karena itu, sulit rasanya untuk menerima bahwa Tuhan adalah Maha Adil, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang, jika Dia hanya membimbing bangsa-bangsa tertentu di belahan bumi tertentu kepada keselamatan dan kebahagiaan, tetapi membiarkan bangsa-bangsa lain di belahan bumi lain dalam kesesatan.
Sulit untuk membenarkan bahwa Tuhan adalah Maha Adil, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang, jika Dia mengutus para rasul hanya kepada bangsa-bangsa Semitik dan meninggalkan bangsa-bangsa Yunani, India, Cina, Negro, dan lain lain, dalam kesesatan.
Dalam perspektif esoterik, hakikat Tuhan yang maha baik, adil, kasih dan sayang tecermin dari nilai-nilai kebenaran yang dikandung oleh banyak agama dan keyakinan. Mari mensyukuri keragaman dengan menyadarkan diri bahwa " Manusia adalah satu keluarga, sebagai sesama hamba Tuhan dan berasal dari Adam. Semua orang adalah sama dipandang dari martabat dasar manusia dan kewajiban dasar mereka tanpa diskriminasi ras, warna kulit , bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, status sosial, atau pertimbangan-pertimbangan lain. Keimanan yang benar pada Tuhan menjamin berkembangnya penghormatan terhadap martabat manusia dengan manusia yang lainnya. Agama bukan tujuan (ghayat) , melainkan sarana (wasilat) yang mengantarkan semua pemeluk agama menuju Tuhan yang sama. Allahu A'la wa A'lam wa Ahkam.
*) Ambassador of peace Kaiciid centre (King Abdullah bin Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue) , praktisi dan akademisi Tasawuf, dosen tamu di berbagai universitas sekaligus direktur SophiaCitra Institute PhiloSufi Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue Surabaya.