REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aditya Ramadhan *)
Dulu, saat Indonesia sudah merdeka, namun bumi Papua masih menjadi wilayah pemerintahan Belanda, kehidupan manusia di selatan Irian Jaya masih pada era zaman batu. Dunia yang begitu berbeda ketika Perang Dunia II sudah selesai, sementara satu suku yang tinggal di hutan dan rawa-rawa di timur Nusantara masih menjalani tradisi perang antarkampung, memenggal kepala musuh, bahkan memakan bangkainya beramai-ramai dalam satu pesta kemenangan atas suatu perang.
Foto udara hamparan rumah di atas rawa dan sungai di kota Agats Kabupaten Asmat, Papua.
Itulah Suku Asmat di Papua. Suku yang dikenal dunia akan keganasannya karena kanibalisme. Serta keindahannya karena karya seni ukiran patung kayu yang amat mendunia.
Budaya perang dan kanibalisme di Suku Asmat, mulai sirna ketika misionaris datang dan membangun pos misi di Asmat pada 1953. Kontak pertama Suku Asmat secara aktif dengan dunia luar.
Para pastor mengenalkan nilai-nilai Kristiani untuk saling mengasihi, tidak saling membunuh sesama manusia, dan melahirkan perdamaian antarkampung. Sementara mengajarkan nilai-nilai keluhuran agama, para pastor juga mengenalkan peradaban pada suku yang sejatinya adalah peramu.
Pastor yang mengenalkan kapak besi kepada Suku Asmat yang sebelumnya menggunakan kapak batu untuk menebang pohon. Mereka mengenalkan kail dan senar pancing menggantikan tali dari kulit kayu untuk menangkap ikan.
Misionaris pula yang mengajarkan cara bercocok tanam meski konsep itu tidak begitu sukses diterapkan di Asmat hingga saat ini. Karena Suku Asmat adalah peramu sejati yang menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam dalam menyediakan sumber makanan.
Suku Asmat hidup dengan meramu berbagai tumbuhan dan berburu binatang yang ada di hutan. Ketika lapar, mereka akan ke hutan mencari sagu, memburu babi, atau menombak ikan.
Kekayaan alam Papua dengan hutan lebat dan sungai-sungai sesungguhnya dapat menjamin kelangsungan hidup. Suku Asmat begitu dimanjakan oleh alam Papua.
Konsep meramu dan berburu itu belum hilang, dan masih ada hingga saat ini. Ya, di tahun 2018. Khususnya bagi penduduk Asmat yang tinggal di kampung-kampung.
Begitu pula dengan rumah-rumah bivak yang terbuat dari kayu pohon dan daun-daun rumbia sebagai atap masih bisa ditemui. Budaya-budaya warisan nenek moyang Suku Asmat masih dijalankan dan mengisi kehidupan sebagian masyarakat.
Wilayah Asmat yang berupa rawa-rawa dengan tanah lumpur menjadi sulit untuk digarap sebagai lahan pertanian. Jalur antar distrik dan kampung hanya lewat sungai dan mengandalkan perahu membuat sulit dijangkau. Air bersih pun bergantung pada air hujan.
Ada satu sumur bor yang dibangun di Kota Agats berlokasi dekat muara. Pipa harus ditancapkan pada kedalaman 200 meter untuk menghasilkan air baku, itu pun masih payau kekuningan dan hanya 0,3 liter per detik. Kerja sumur bor juga terbatas hanya tiga jam, lewat dari itu yang keluar hanya air belerang dan lumpur.
Satu-satunya harapan ialah pada air hujan. Rumah-rumah, perkantoran, dan penginapan di Kota Agats benar-benar memanfaatkan air hujan dengan memasang talang air di setiap tepi atap rumah dan mengalirkannya ke penampungan sebagai simpanan air bersih.
Jika tidak ada hujan selama satu minggu, penduduk akan kelimpungan. Bagi warga di kampung-kampung, air sungai berwarna coklat pun akan ditenggak. Sementara di Kota Agats, air hujan itu dicuri dengan memotong pipa saluran dari penampungan.
Perempuan tulang punggung
Budaya lainnya yang masih kental hingga sekarang ini ialah kaum perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Pada masa dulu lelaki Suku Asmat sibuk berperang, dan mengukir patung, pekerjaan yang dinilai perkasa dan bermartabat tinggi. Sementara para ibu bertugas mencari makan di hutan dan mengurus anak.
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat.
Pembagian tugas untuk perempuan itu masih dijalani hingga kini. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats Riechard Mirino menceritakan hampir seluruh pasien ibu hamil yang ditangani memiliki kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang rendah.
Kondisi paling parahnya bahkan Hb ibu hamil hanya empat-lima gram per desiliter dari kondisi normal yang seharusnya di atas 11 gram per desiliter. Hal semacam ini yang mengakibatkan ibu mengalami pendarahan luar biasa saat melahirkan, melahirkan anak dengan gizi buruk, atau bahkan kematian pada ibu dan bayinya.
Di Asmat, perempuan masih ada yang memiliki anak sampai 13. Atau ibu muda berusia 25 tahun yang sudah melahirkan anak ke delapan, dan hanya enam anak yang bertahan hidup.
Mengetahui kondisi seperti itu, tak dielakkan masyarakat Asmat hidup berdekatan dengan penyakit. Ditambah lagi lingkungan berupa rawa-rawa yang menjadi tempat tinggal nyamuk anopeles penyebab malaria. Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk pun terjadi yang menewaskan 72 anak.
Oleh karena itu, kehadiran negara mutlak dibutuhkan bahkan sampai ke pelosok pedalaman kampung tanpa listrik untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Asmat. Pemerintah pusat dan daerah harus bergotong- royong menyediakan air bersih sebagai kubutuhan dasar, akses sanitasi yang layak, ketersediaan pangan, layanan kesehatan, pendidikan, dan edukasi tentang perilaku hidup yang sehat.
Benar kata para menteri yang menyebutkan penanganan masalah di Asmat harus dilakukan secara menyeluruh, berkesinambungan, dan bergotong royong. Masalah kesehatan di Asmat tidak akan selesai hanya dengan mengirimkan petugas kesehatan yang mengobati, tapi juga harus mengajari tentang menjaga kesehatan dengan perilaku hidup yang bersih dan sehat.
Harus ada pendekatan lebih spesifik untuk mengubah perilaku tidak menguntungkan masyarakat Asmat guna hidup yang lebih baik, namun tidak melupakan nilai-nilai budaya yang telah terwarisi secara turun menurun.
*) Pewarta Antara