Zamannya Presiden Suharto (akrab dipanggil Pak Harto) ada organisasi kreditur yang bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). Bertindak sebagai ketua IGGI yakni menteri kerja sama luar negeri Belanda, JP Pronk. ‘Meneer’ ini secara pribadi merupakan salah satu sahabat menteri Ekonomi Keuangan dan Industri (Ekuin), Radius Prawiro.
Namun, meski banyak bersahabat dengan para pejabat Indonesia, Pronk dan IGGI tidak mendapat perlakuan khusus atau keistimewaan. Bahkan bila perlu ketika dianggap bertindak berlebihan Pronk tetap saja diputuskan ‘minggir dari gelanggang’.
JP Pronk (tengah). Foto: wikipedia.
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun awal 1991-an. Pronk merasa dirinya luar biasa dan bisa mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. IGGI sendiri terdiri terdiri dari para negara kreditur Indonesia baik bilateral maupun multilateral, misalnya Bank Dunia dan ADB (Asian Develompent Bank), sedangkan negara anggotanya terdiri banyak negara barat, utama negeri Jepang. Kala itu IGGI dianggap sebagai organisasi yang ‘maha penting’. Lembaga ini dianggap sebagai lembaga 'Ratu Adil' atau penyamun budiman 'Robin Hood' yang membagi-bagi uang dengan gratisan kepada orang miskin atau negara terlantar.
“Nah, pada suatu hari ketika Pronk ke Indonesiaa saat itu dia juga sibuk melakukan ‘blusukan’ di banyak kantong masyarakat miskin. Dia juga ketemu dengan petani di tengah sawah. Akibatnya, Pak Harto pun marah besar atas perilaku Pronk. Dia menganggap Pronk bertingkah seperti layaknya Gubernur Jendral Belanda di zaman penjajahan dulu. Imbasnya Pak Harto dengan segera membubarkannya IGGI yang menjadi lembaga kredit untuk Indonesia itu. Pak Harto kala itu bilang: ‘ora dibantu ora patheken’ (tidak dibantu tidak kurapan)!” kisah mantan Menteru Keuangan, Fuad Bawazier.
Setelah mengeluarkan kebijakan pembubaran IGGI itu, Pak Harto pun bertindak tegas dan cepat. Menteri Ekuin, Radius Prawiro segera dipanggil ke Cendana. Dalam pertemuan yang berlangsung pada sebuah sore di rumah pribadi Pak Harto itu, Radius diminta untuk menyampaikan keputusan kepada Pronk secara resmi dan secara tertulis kepada Pronk.
Tak hanya itu, Radius pun diperintahkan untuk menyerahkan surat itu langsung ke JP Pronk. Bahkan, pada malam itu juga Pak Radius disuruh berangkat ke Belanda untuk menemui Pronk.
’’Saya tahu karena waktu berkantor di lapangan Banteng. Jadi saya paham apa yang terjadi kala itu,” kata Fuad lagi.
Atas kebijakan pembubaran IGGI itu, para teknokrat Indonesia saat itu pun kebingungan dan ketakutan atas keputusan Pak Harto, tapi tak ada satu pun yang berani menentangnya. Akibatnya, secara diam-diam para tenokrat —Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Radius Prawiro— berusaha menghimpun kembali kembali para kreditor Indonesia melalui IGGI. Mereka mengganti sebutan organiasi itu dengan nama baru yaitu CGI (Consultative Grup in Indonesia). Dan JP Pronk tidak boleh ada di sana lagi.
‘’Makanya sekarang saya heran kalau sekarang ada keinginan bos IMF diajak blusukan ke pasar-pasar. Apa itu maksudnya dan di mana harga diri serta kedaulatan bangsa Indonesia. Mbok kalau pengin berkuasa lagi tidak usah dengan memakai cara begitu,'' tukas Fuad.
Apalagi di peringatan '50 tahun konfrensi Asia Afrika' di Bandung beberapa waktu lalu, di muka umum ada yang berpidato mengatakan ‘go to hell with You Aid’. Ini jelas persis dengan pernyataan Bung Karno yang menginginkan kemandirian dan berlakunya Tri Sakti.
“Tapi kenapa ternyata hasilnya begini. Kenapa banyak orang lupa dan seperti membalik omongannya sendiri?,’’ kata Fuad.