REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Frederikus Bata *)
Sepak terjang Napoli pada kancah Serie A Liga Italia musim 2017/018 sangat berkelas. Hingga giornata ke-26, armada Partenopei berada di puncak klasemen sementara kompetisi terelite ranah Italia.
Belakangan, anak asuh Maurizio Sarri kian menancapkan taji. Sejak imbang lawan Fiorentina pada Desember 2017, kubu I Ciucciarelli tak terbendung. Marek Hamsik dan rekan-rekan meraih 10 kemenangan beruntun.
Juara bertahan Juventus tak diberi celah untuk nongkrong di singgasana. Juve yang baru memainkan 25 pertandingan tertinggal empat angka dari sang rival dan menghuni kursi runner-up. Pasukan biru di atas angin.
Apa rahasia sukses Napoli? Secara kasat mata, manajemen mempertahankan sebagian besar pemain utama yang telah bermarkas di San Paulo dalam beberapa tahun terakhir. Di antaranya, Marek Hamsik, Pepe Reina, Jose Callejon, Raul Albiol, Lorenzo Insigne, Dries Mertens, juga Kalidou Koulibaly. Ada harmonisasi terbangun.
Trik penting lainnya, ketika seorang Maurizio Sarri memimpin Partenopei dengan gaya sepak bola menyerang. Ia mengubah tradisi tim-tim Italia yang cenderung bertahan alias mengamankan hasil. Aliran bola Callejon dan rekan-rekannya tertata bak Barcelona, Manchester City, atau Bayern Muenchen.
Puja-puji kepada sang allenatore berdatangan. Sarri disandingkan dengan Josep Guardiola hingga Arrigo Sacchi. Umumnya para kesohor itu mengutamakan permainan indah yang berujung pada hasil positif.
Namun sebuah ironi terlihat. Kubu I Ciucciarelli yang begitu digdaya di Italia, tak mampu berbuat banyak di Eropa. Napoli tersingkir dari putaran grup Liga Champions musim ini.
Pemilik Stadion San Paulo kalah bersaing dengan Shakhtar Donetsk dan Manchester City. Partenopei yang finis di peringkat ketiga Grup F terlempar ke babak 32 besar Liga Europa.
Pada level itu, Napoli gagal melewati RB Leipzig. Suara-suara menyatakan pasukan Sarri hanya fokus ke Serie A nyaring terdengar. Di sinilah terlihat kelemahan mental para gladiator Kota Naples.
Sebuah stigma yang menyatakan Juventus, AC Milan, dan Inter Milan paling mampu mewakili Italia di Eropa tak terbantahkan. Dalam beberapa tahun terakhir, Napoli dan AS Roma menjadi pesaing Juve di liga lokal. Tapi apa yang terjadi? Dua tim itu jadi bulan-bulanan di Liga Champions.
Bianconeri bertarung sendirian. Meski gagal juara, pasukan hitam putih menembus dua final dalam tiga tahun terakhir. Itu yang membuat koefisien Serie A kembali naik hingga menambah jatah Liga Chanpions menjadi empat tim.
Publik Eropa, atau minimal pecinta Liga Italia seakan merindukan duo Milan. Jika sudah bertarung di Benua Biru, baik Rossoneri maupun Nerazzurri tak pernah pilih-pilih. Raihan trofi jadi bukti.
Si Merah Hitam mengumpulkan tujuh kuping lebar. La Beneamata kebagian tiga. Dalam konteks ini, ada keseimbangan motivasi. Jika bahasa langsungnya, percuma berjaya di liga lokal, kalau di level tertinggi jadi bulan-bulanan.
Kepada penggemar Napoli, di sini saya bukan menyepelekan mental Eropa tim kalian. Tapi fakta berbicara, Partenopei belum sepercaya diri layaknya Juve, Milan, atau Inter. Secara kualitas tak jadi masalah. Kemampuan Albiol dan rekan-rekan merata di setiap lini.
Pada akhir tulisan, saya sependapat jika anak-anak Kota Naples dinilai mendobrak tradisi Italia. Sepak bola modern mengalami banyak perubahan. Tim dengan permainan menyerang kebanyakan menjadi jawara. Tengok saja kiprah Barca, Real Madrid, Muenchen dalam dua dekade terakhir.
Tapi konsistensi mental perlu dipupuk. Napoli harus menunjukkan cara bermain yang menjadi identitas mereka di semua kompetisi tanpa rasa gugup. Kasarnya jangan cuma jago di kandang sendiri.
*) Wartawan Republika Online