REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pada diri Rasulullah SAW terdapat kekuatan dan magnet yang luar biasa. Kekuatan dan magnet itu menjadikan kawan maupun lawan mengakui kehebatannya, bahkan mereka yang mengingkari ajarannya sekalipun.
Dalam sebuah syair mengenai baginda Rasul yang kerap didedangkan oleh masyarakat Muslim di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) disebutkan: “Kesempurnaannya mencapai ketinggian. Keindahannya menyingkap tabir kelam. Indah segala sifatnya. Maka bersholawatlah kepadanya dan keluarganya”.
Dalam syair lain disebutkan: “Muhammad adalah manusia, tapi tidak seperti manusia (lainnya). Melainkan permata, dan manusia (lainnya) adalah bebatuan”.
Berbagai syair Arab telah dituliskan memuji ketinggian sifat-sifat Rasulullah SAW. Tapi pujian tertinggi adalah pujian Pencipta langit dan bumi: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlaq yang agung”.
Cinta Rasul, kunci surga
Cinta ayah, ibu, anak atau suami dan isteri semuanya adalah bagian dari kehidupan yang alami. Bahkan cinta kepada Allah itu menjadi fitrah manusia. Karena fitrah itu memang menjadi bagian dari penciptaan manusia.
Tapi cinta kepada Rasul itu adalah cinta pilihan. Anda cinta kepada Rasul, belum tentu karena ada hubungan darah, ras atau etnik, kebangsaan atau relasi kepentingan tertentu. Tapi sebuah pilihan istimewa, yang dibangun di atas dorongan hati yang dalam (iman).
Karenanya cinta Rasul itu adalah jembatan cinta kepada Allah SWT. “Katakan (wahai Muhammad) jika kamu cinta kepadaKu (Allah) maka ikutlah kepadaku, niscaya Allah akan mencintaimu”.
Artinya cinta Allah itu hanya akan diraih ketika umat ini ikut kepada Rasul. Dan kata “ittiba’ itu hanya akan terjadi ketika ada cinta kepada “muttaba’” (yang diikuti). Bukan secara pura-pura. Mengikut secara pura-pura sudah pasti tidak mendatangkan kecintaan Allah SWT.
Di sinilah letaknya kenapa cinta Rasul itu menjadi kunci syurga itu sendiri. Sebuah hadits menceritakan seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “kapan kiamat akan terjadi?”.
Pertanyaan itu tidak ditanggapi oleh Rasulullah SAW karena memang tidal punya kemampuan untuk menjawabnya. Ilmu itu hanya milik Allah semata. Oleh karenanya beliau diam dan tidak merespons.
Sang sahabat itu kemudian mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Dan pada kali ketiga Rasul merespon dalam bentuk pertanyaan: “lalu apa yang engkau telah persiapkan?”.
Sahabat itu menjawab: “tidak banyak ya Rasulullah. Akan tetapi saya cinta Allah dan RasulNya”.
Mendengar itu, sang Rasul menjawab: “engkau akan bersama dengan siapa yang engkau cintai di hari kiamat nanti”.
Kisah singkat Rasul dan sahabatnya ini bermakna, pertama, menyampaikan kepada kita betapa Rasul itu selalu mengapresiasi sisi positif orang lain. Yang selalu dikedepankan adalah sisi positif seseorang. Nabi SAW tidak menjawab: “ngapain engkau tanya kapan terjadinya Kiamat, padahal amalan kamu sedikit?”. Sebaliknya justeru “cinta” kepada Allah dan Rasul yang menjadi modalnya diappresiasi oleh baginda Rasul.
Dan kedua, yang terpenting dari kisah itu adalah bahwa cinta Allah dan Rasul merupakan kunci syurga. Sayangnya saat ini “rasa atau emosi” cinta kepada Rasul itu semakin mengikis bahkan dipertanyakan. Sensitifitas umat semakin tumpul karena cinta itu semakin memudar.
Empat pilar kekuatan Rasul
Suasana emosi (emotional state) seseorang itulah gambaran relasinya kepada lainnya. Cinta atau benci itu adalah suasana hati.
Tapi dalam Islam cinta itu bukan sekedar suasana hati. Melainkan dorongan hati yang paling dalam dan dibuktikan oleh aksi (amal).
Dalam kaitannya dengan Rasul, cinta itu harus dibuktikan dengan “ittiba’” tadi. Maka menjadikannya sebagai “ikutan” atau “panutan” (uswah) merupakan tuntutan pengakuan cinta itu.
Kali ini saya ingin menggaris bawahi empat hal yang akan menjadi pilar kekuatan seorang Muslim ketika mengikuti Rasulullah SAW. Saya menyebutnya sebagai empat pilar kekuatan Rasulullah SAW.
Pertama, kekuatan ruhiyah.
Kekuatan ruhiyah adalah modal terutama dalam menjalankan hidup Rasul, baik pada tataran pribadi maupun pada tataran hidupnya sebagai “Pesuruh Allah” dalam menyampaikan petunjukNya.
Kita tentu tidak melupakan kebesaran jiwanya di saat diminta menghentikan kerja dakwahnya. Tidak tanggung-tanggung dengan godaan dunia yang lengkap. Tahta, harta dan wanita (3 T) yang kita kenal dalam sejarah. Tapi semua itu dengan tegas ditolak: “kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, tak akan ketinggalkan tugas ini hingga Allah menentukan lain atau aku hancur bersamanya”.
Ketegaran jiwa dan ketegasan iradah (kemauan) seperti ini adalah bukti kekuatan ruhiyah Rasulullah SAW. Orang yang lemah ruhiyah tidak akan punya nyali menghadapi tantangan atau godaan hidup.
Tentu kita juga tidak melupakan ketika beliau bersama sahabatnya Abu Bakar RA di gua Hira. Ketika sang sahabat menangis karena khawatir dan sedih tentang apa yang bisa menimpa Rasulullah SAW. Respon beliau tegas: “jangan sedih dan jangan khawatir karena Allah bersama kita”.
Kisah demi kisah memenuhi perjalan sirah baginda Rasulullah SAW. Semuanya menjadi bagian dari “ketauladanan” yang harusnya umat ini tauladani. Bahwa umat ini tidak akan pernah punya nyali untuk bangkit dan maju kecuali dengan kekuatan “ruhiyah”.
Kedua, keluasan visi dan pemikiran
Memang sejak awal perjalanan risalah ini, wawasan, visi dan pemikiran menjadi pegangan penting. Maka IQRA adalah amanah yang umat ini harus pegang.
Itu pulalah salah satu pilar kekuatan baginda Rasul. Beliau dalam menyikapi masalah apapun dalam hidupnya selalu mengedepankan visi dan pikiran yang luas, serta petimbangan yang matang.
Mungkin kisah perjanjian Hudaibiyah adalah satu dari sekian contoh yang bisa disampaikan. Bayangkan sebuah persetujuan yang sangat tidak adil. Menjadikan banyak sahabat yang memprotes, termasuk Umar RA. Tapi nabi justeru menerimanya dengan lapang dada.
Penerimaan beliau ini tentunya karena visi yang jauh ke depan, pemikiran yang tajam, dan pertimbangan yang matang. Nyatanya perjanjian Hudaibyah menjadi pintu “fathun mubiin” (kemenangan besar/nyata) itu.
Selanjutnya ketika terjadi kemenangan besar itu, beliau kembali masuk ke kota tercinta, Makkah Al-Mukarramah, dengan pasukan besar yang sejatinya menjadikan penghuni Mekah ketakutan. Tapi suasana itu tidak dipergunakan oleh beliau memaksa penduduk Mekah menerima Islam.
Alasannya jelas. Karena iman (keyakinan) tidak dapat dipaksakan (laa ikraaha fid diin). Selain itu, mereka ini (kaum musyrik) adalah kekuarga dan rekan-rekan nabi juga. Maka harusnya demi kekokohan komunitas dan kekeluargaan ke depan mereka diharapkan akan menerima Islam dengan hari nuraninya.
Wawasan, visi dan pertimbangan matang menjadi kebutuhan mendesak umat saat ini. Emosi dan semangat ketika tidak diimbangi oleh pemikiran yang luas dan pertimbangan matang kerap kali membawa kepada konsekwensi yang lebih buruk. Mengejar kepentingan, bahkan atas nama Islam sekalipun, jika tidak dipertimbangkan semua hal yang terkait dapat membawa dampak buruk yang lebih besar.
Perpecahan dan friksi yang terjadi di kalangan umat ini umumnya karena “pandangan sempit” (short sightedness), dan pertimbangan yang kurang matang dan parsial (immature and partial judgement). Di mana-mana terjadi perpecahan, bahkan permusuhan dan konflik internal dalam tubuh umat. Sekali lagi, umumnya karena pemikiran yang kurang luas dan pertimbangan yang dadakan.
Ketiga, keindahan akhlaknya
Pilar kekuatan ketiga baginda Rasulullah SAW adalah keindahan akhlak (prilaku) beliau. Sejatinya Islam itu esensinya ada pada akhlak. Iman dan ritual ubudiyah yang kita lakukan harusnya bermuara kepada terbentuknya prilaku mulia dalam hidup.
Sholat mencegah kemungkaran dan perbuatan keji. Puasa menahan diri dari hawa nafsu yang membinasakan. Zakat menumbuh suburkan motivasi kebajikan. Haji membangun kesatuan umat dan manusia.
Kegagalan umat dalam menghadirkan prilaku mulia (akhlak karimah) dengan berselimutkan ibadah-ibadah ritual menandakan kegagalan beragama secara sosial. Dan karenanya di sinilah urgensi “beruswah” (berpanutan) kepada baginda dalam mewujudkan karakter mulia itu.
Jangankan orang-orang beriman, mereka yang kafir saja kepada beliau saat itu diam-diam mengagumi karakter beliau yang agung. Tidak jarang karen akhlak beliaulah menjadikan mereka yang benci berbalik menjadi pengikut setianya.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang wanita tua yang sangat benci mendengar jika di kota Mekah saat itu ada seorang pemuda yang mendakwahkan ajaran baru. Hingga suatu hari sang nenek itu berhasil mengumpulkan kayu bakar untuk djual, lebih dari kapasitasnya untuk membawanya pulang. Dia meminta ke semua pria yang di masjidil haram ketika itu, tak satupun yang mau membantunya.
Tiba-tiba seorang pria yang masih relatif muda mendekat dan langsung mengangkat kayu-kayu itu untuk dibawa ke rumah sang nenek. Di tengah jalan sang nenek tak henti-hentinya mengingatkan sang pria itu agar berhati-hati dengan yang namanya Muhammad di kota Mekah. Dia gia, ahli sihir, memecah masyarakat dengan ajaran barunya.
Sesampai di rumah sang pria itu dengan tenang dan penuh senyum meletakkan bawaannya. Sambil pamit, sang nenek itu bertanya: nak, siapa namamu?
Dengan tenang dan senyum sekali lagi, sang pria menjawab: “saya adalah Muhammad. Iya nek, Muhammad yang nenek sebut-sebut tadi di jalan”.
Mendengar itu sang nenek langsung merasa malu yang luar biasa. Bahkan sambil meneteskan airmata menyatakan ingin menjadi pengikut Muhammad. Diapun dituntun oleh baginda Rasul berikrar: “Asyhadu an laa ilaaha illa Allah-wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah”.
Sungguh akhlak mulia itu adalah kekuatan ampuh, melumpuhkan kebekuan jiwa-jiwa kufur. Melumpuhkan keangkuhan ego manusia, lalu bertekuk lutut di hadapan kebenaran Ilahi.
Keempat, kelihaian komunikasi
Komunikasi itu adalah penentu warna kebenaran yang disampaikan. Kebenaran yang disampaikan dengan komunikasi yang salah boleh jadi menjadi kesalahan di mata orang. Oleh karenanya Allah berpesan di awal Ar-Rahman, salah satunya: “allanahul bayaan”.
Bahwa untuk menusia hidup dengan makna dan kemuliaan, komunikasi menjadi salah satu pilar kehidupan. Komunikasi mencipatakan peperangan. Tapi dengan komunikasi pula peperangan dapat dihentikan dan tercipta kedamaian.
Hakikat ini disadari oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau dalam menyampaikan kebenaran selalu memakai komunikasi yang sesuai. Satu misal adalah ketika seorang pengantin baru melakukan pelanggaran dengan hubungan suami isteri di siang bulan puasa. Sang pemuda bersegera melaporkan dan mengakui kesalahan itu.
Singkat cerita, yang terjadi bukannya disalahkan. Bukannya dibebani perasaan salah di atas perasaan bersalah yang sudah ada. Tapi justeru diterima dengan kasih sayang dan diberikan jalan keluarnya. Pada akhirnya sang pengantin baru itu bergembira, bahkan mendapat bonus memberikan makanan pemberian Rasul kepada isterinya.
Atau seorang pemuda yang kurang etis, atau pada tingkatan tertentu dapat disebut kurang ajar kepada Rasulullah SAW. Sang pemuda itu meminta izin untuk berzinah. Walaupun mengaku cinta kepada Allah, Rasul dan Islam.
Umar RA yang menyaksikan itu geram, bahkan ingin memenggal leher sang pemuda. Oleh Rasulullah SAW beliau diingatkan: “pelan yang Umar”.
Beliau kemudian bertanya kepada sang pemuda: “apakah anda punya Ibu, adik wanita atau tante?”.
Sang pemuda menjawab: “iya ya Rasulullah”.
Rasulullah bertanya: “relakah anda jika ada yang melakukan itu dengan ibumu, adikmu atau tantemu?”.
Sang pemuda menjawab: “tidak akan rela dan akan membunuh pelakunya”.
Rasulullah SAW kemudian menegaskan bahw semua wanita itu adalah ibu, adik/kakak atau tante dari seseorang. Dan tak seorang pun yang rela ibu, saudari atau tantenya diperlakukan demikian.
Setelah itu Rasul meminta kepada pemuda itu mendekat, lalu tangan beliau ditempelkan di dadanya seraya mendoakan agar Allah membersihkan hatinya.
Sejak itu sang pemuda menjadi salah seorang pemuda di Madinah yang paling taat dan rajin beribadah.
Masa kini kejelian atau keahlian dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Kesalahan komunikasi kerap kali menjadi beban bagi berbagai tuduhan yang seolah-olah itu karena ajaran Islam.
Memakai komunikasi yang biasa saya sebut dengan “komunikasi bolduzer” menjadikan pendengar Islam, jangankan simpatik. Justeru akan semakin salah paham, curiga dan bahkan membenci. Akhirnya dakwah yang dilakukan bukan lagi ajakan, tapi merubah menjadi pengursiran.
Mengkomunikasikan Islam di dunia Barat memerlukan kejelian atau keahlian tertentu. Jangankan kepada teman-teman non Muslim. Anak-anak kita sendiri yang lahir atau paling tidak tumbuh besar di Amerika, memerlukan komunikasi yang sesuai.
Sebagai misal saja. Beberapa kali saya menemukan anak-anak jika ditanya kenapa tidak ke mesjid? Jawabannya karena I don’t understand what the Imam says. Bukan karena tidak bisa bahasa Inggris. Tapi cara penyampaian atau komunikasi yang tidak sesuai. Ada jurang dalam membahasakan agama kepada generasi muda masa kini.
Di sinilah kehebatan Rasul dalam mengkomunikasikan Islam. Bahasa sederhana, singat dan padat. Tapi yang terpenting menghindari kemungkinan kesalah pahaman, apalagi jika menjurus kepada menyakiti perasaan orang lain.
Komunikasi Rasul tidak pernah bersifat menghakimi dan merendahkan. Tapi mengayomi dan mengangkat. Tidak menggali kesalahan dan kekurangan. Tapi mengangkat kebaikan dan mengedepankan kebaikan orang lain.
Inilah metode komunikasi yang perlu ditauladani oleh umat ini dari baginda Rasul. Karen dalam dunia telekomunikasi dan informasi cara komunikasi kerap menentukan warna putih atau hitamnya masalah yang kita sampaikan.
Apalagi bahwa dunia kita sekarang ini dilanda peperangan besar. Bukan peperangan nuklir. Tapi peperangan persepsi. Siapa yang mampu membangun persepsi dialah yang memenangkan pertarungan itu. Tidak salah jika terjadi perang pencitraan....
Akhirnya, umat ini harus menyadari kembali pentingnya membangun kecintaan kepada Rasulullah SAW. Tapi cinta yang sejati adalah cinta dengan pembuktian. Dan pembuktian cinta itu adalah dengan menauladani hidup dan prilaku Rasul. Empat hal di antaranya itu; kekuatan ruhiyah, keluasan berpikir, keindahan akhlak dan komunikasi yang baik, menjadi kunci kekuatan dalam perjuangan. Semoga!
New York, 3 Maret 2018
* Presiden Nusantara Foundation