Senin 05 Mar 2018 11:46 WIB

Kopi, Pulut, Konfik Umat Islam, dan Pertanyaan Ahistoris

Yang pertama merupakan pernyataan, dan yang kedua merupakan pertanyaan.

Dua wisatawan mancanegara bersama seorang pemandu ketika mengunjungi Masjid Raya Al-Mashun, Medan, Sumut, Selasa (5/6). Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan menyatakan, kunjungan wisatawan mancanegara ke Medan meningkat 20 persen dari bulan seb
Foto: Antara
Dua wisatawan mancanegara bersama seorang pemandu ketika mengunjungi Masjid Raya Al-Mashun, Medan, Sumut, Selasa (5/6). Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan menyatakan, kunjungan wisatawan mancanegara ke Medan meningkat 20 persen dari bulan seb

Oleh: Maiyasyak Johan*

Pagi ini, bakda subuh tadi, seperti biasa, seorang teman datang bertamu dan membawa pulut dan pisang goreng untuk sarapan pagi, jika aku sedang di kota Medan. Kadang-kadang ada yang membawa lupis dan lontong medan. Tentu saja aku segera meminta disiapkan kopi khusus untuk melengkapi sarapan pagi yang dibawa temanku itu.

Sembari membuka bungkusan pulut temanku tersebut mengawali cerita pagi ini dengan sedikit nada sinis, “Aku kemarin melihat di youtube, sebuah siaran tentang pertanyaan seorang petinggi dan orang nomor satu di institusinya. Mulanya aku pikir dia akan bertanya tentang sesuatu yang penting dan strategis, tetapi ternyata hanya sebuah pertanyaan yg menunjukkan betapa lemah pengetahuan sejarah nasional dan sejarah dunianya - terutama ttg sejarah western dng midle-east,” kata temanku itu.

“Apa alasan kau mengatakan demikian?”, tanyaku.

“Coba kau bayangkan, dia bertanya tentang bagaimana caranya agar Indonesia tidak mengalami hal yang sama seperti yg dialami oleh Afghanistan, Suriah, Irak, Libia dan lain sebagainya”.

“Apa yang salah dengan pertanyaannya tersebbut menurut kau?” tanyaku lagi.

“Ada beberapa hal yang aku lihat dia keliru dan karena itu aku keberatan sekali atas pertanyaannya yang tidak adil tersebut. Pertama, pertanyaan itu mengandung prejudice terhadap  umat islam. Kedua, pertanyaan tersebut sama sekali tdk berdiri di atas causa dan sejarah dari konflik yang ada di sana pada satu sisi, sedangkan disi lain dia seakan mengatakan Islam dan umat Islam itu tidak mampu memberi kedamaian, melainkan melahirkan konflik yang berkepanjangan."

"Dia mengenyampingkan fakta, bahwa Afghanistan misalnya, semua kita tahu, sejak awal telah menjadi wilayah yang diperebutkan dan karena itu menjadi medan konflik timur dan barat guna menguasai kekayaan alamnya. Sedangkan Libia dan Irak, adalah juga korban dari keserakahan barat yg ingin menguasai kekayaan alamnya - dan dengan modal rekayasa informasi untuk menyalah,an pemimpin di kedua negara tersebut diperolehlah alasan untuk mengintervensi negara tersebut secara militer dan menghabisi penguasanya, “ tukasnya menambahkan.

‘’Lalu apa yang salah lagi dalam pernyataan itu?’’ ujarku kembali.

"Kedua, bahwa konflik di middle-east dan Balkan tidak akan pernah tumbuh serta bertahan hingga kini jika tidak ada pasokan dana, logistik dan senjata serta amunisi yang datang dari barat dan timur. Belum lagi operasi intelijen. Dengan kata lain, damai atau konflik itu semuanya berkaitan dng kepentingan kapitalisme barat dan timur. Dan semua itu terjadi pasca sekutu memenangkan perang dunia kedua,” jawabnya.

Jadi belum pernah ada konfilk yang parah di kawasan itu?,’’ tanyaku melanjutkan.

“Sebelum itu tidak pernah ada konflik yang sangat parah yang terjadi di sana. Pertanyaan ku adalah: mengapa dia tidak melihat dan bertanya, mengapa barat dan timur tidak menghentikan pasokan senjata dan amunisi? Kok mengapa ia begitu naif menyalahkan rakyat dan umat Islam yg menjadi korban seakan-akan pencinta konflik atau perang? Hal itu jelas terlihat dari pertanyaannya yang mengkaitkan jumlah umat islam indonesia sebagai yang terbesar di dunia dengan kemungkinan konflik dan upaya mencegahnya,” jelasnya.

“Dan, kau tahu ini bukan yang pertama, melainkan yang kedua dia mengemukakan sesuatu yg bersifat ahistoris. Yang pertama merupakan pernyataan, dan yang kedua merupakan pertanyaan.”

“Lalu apa jawaban yang ditanya?”, tanyaku

“Jawaban yang ditanya diplomatis dan normatif, yakni: lakukan klarifikasi dengan tabayun. Serta berikan kepastian hukum dan tegakkan hukum secara adil”.

“Apa kau puas dengan jawaban itu?”, tanya ku.

“Tidak!!!”, jawabnya.

“Mengapa??”, tanyaku

“Sebab harussnya dijawab dengan sejarah. Berikan penjelasan dengan contoh aktual tentang kekuatan anti islam di dunia yg telah merampas kemenangan politik yang diraih secara demokratis oleh umat Islam di Mesir melalui kudeta meliter. Dan anehnya semua negara pendukung demokrasi mendukung dan membantu rezim kudeta itu dengan anggaran."

"Pertanyaannya, mengapa negara-negara pengusung demokrasi dan Ham mendiamkan dan membantu kudeta meliter? Lalu siapa yang akan disalahkan jika umat Islam bangkit melawan rezim kudeta tersebut? Palestina, beranikah dia melihat jejak sejarahnya dari masa perang dunia pertama yang melahirkan declarasi Belfour (1917) atau bahkan jauh ke belakang ke masa Ustmani? Dan melihat tindakan Inggris yang menyerahkan Jerusalem kepada zionis Israel sudah terencana jauh, bukan pada tahun 1947, melainkan jauh sebelum itu sebagai causanya? Mengapa dia tidak melihat Itu?” tanyanya.

“Apakah dia tidak tahu itu?”, sambungnya lagi.

                                                   

                                                                      *******

Aku tersenyum, menganguk, sembari menjawab: ”Mungkin sudah saatnya sejarah nasional dan dunia dibedah secara terbuka dan disosialisasikan secara intensif dan masif kepada umat, agar posisi umat Islam yang secara historis menjadi korban kejahatan politik, ekonomi, dan militer secara sistematis di dunia ini termasuk di Indonesia bisa dihentikan,” kataku.

“Aku setuju,” jawabnya.

“Jika kau setuju, mulai sekarang kau harus pahami dan lawan dengan pengetahuan serta sejarah, bahwa isu radikalisme dan plurlisme yg diusung kaum sekarang ini di indonesia ini tidak lain adalah untuk menghapus atau memberangus hak politik, sosial, budaya, dan historis umat Islam dalam demokrasi. Kau bisa bayangkan, jika 60% umat Islam indonesia menuntut dan menggunakan hak politik dan demokrasinya, apa yg akan terjadi? Bukan saja mereka tidak pernah menang, tetapi nilai- nilai Islam akan hadir dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Aku hanya menjawab: "Nah untuk menghalangi itu terwujud, maka pilihannya hanya satu, mereka gencarkan diskursus dan sosialisasi tentang isu radikalisme dan pluralisme. Aneh bukan? Bagaimana caranya kita bisa memahami pluralisme yang diartikan sama dengan orang Islam tidak boleh berpihak pada orang Islam dan kebenaran Islam. Dan bagaimana bisa kita memahami radikalisme yang mereka usung, jika maksudnya adalah agar kau tidak mengenal, menghayati, dan menjalankan agama kau?''

“Betul juga kata kau,” katanya sambil menghirup kopi yang mulai dingin.

“Oke, nanti kita sambung lagi diskusi kita. Aku harus bersiap-siap kembali ke Jakarta,” kataku.

Dia pun mengangguk sembari menarik isap rokoknya dalam-dalam. Sementara aku bangkit permisi untik mandi. Dan dia kutinggal sendiri sebentar.

*Maiyasyak Johan, Mantan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement