REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*
Perdebatan masalah cadar membuat saya teringat masa saya melaksanakan studi S2 di University of Edinburgh, United Kingdom. Saat itu, pernah datang undangan debat publik kepada Islamic Society of Edinburgh University dari Humanist Society yang merupakan sebuah komunitas ateis.
Sebagai anggota Islamic Society tersebut, saya semangat datang untuk menonton. Pada debat tersebut, Muslim diwakili oleh mahasiswa PhD psikologi, Ustaz Khalid Shakir, dan seorang pengacara, Ustazah Safinah. Di sisi lain, the Humanist Society diwakili oleh seorang lawyer ateis dan eks ketua Humanist Society.
Tentu saja debat tersebut bertemakan pelarangan penggunaan cadar yang sempat diwacanakan di UK. Dan, situasi perdebatan yang muncul di masyarakat tercermin pada debatnya. Situasi seperti apakah itu?
Memang sentimen anti Muslim dan anti imigran cukup kuat di sana. Apalagi saya di sana dari tahun 2013-2014 ketika ISIS pertama kali mulai heboh di media barat. Tapi soal cadar? Sedikit tokoh dari kelompok intoleran yang mewacanakan larangan bercadar, lalu disambut kritik dari segala penjuru baik oleh Muslim maupun non-Muslim.
Begitu pula perdebatan antara Islamic Society versus Humanist Society. Di luar Ustaz Khalid dan Ustazah Safinah, penonton pun sambung menyambung membela hak mengenakan cadar dan 'menghantam' si eks ketua Humanist Society dengan bertubi-tubi. Bahkan, di luar dugaan, si lawyer ateis saat gilirannya berbicara malah 100 persen mendukung hak bercadar. Padahal ia pembicara di sisi Humanist Society, dan ini acara debat.
Eropa memang sungguh menarik. Sudah berapa tulisan yang saya buat dalam mengkritik HAM model Eropa. Tapi ada sisi Eropa yang menarik. Memang persekusi terjadi di beberapa negara Eropa, tapi umumnya hal tersebut tidak terinstitusionalisasi di level negara.
Prancis yang cukup terkenal ketika melarang cadar Pengadilan HAM Eropa pun mengatakan bahwa larangan tersebut tidak bertentangan dengan HAM ala Eropa. Memang aneh betul, tapi memang perlu logika berbeda untuk memahami HAM Eropa.
Mereka mutlak melarang hukuman mati, bahkan berusaha meminta negara-negara non-Eropa menghapus hukuman mati. Hak hidup itu mutlak, katanya. Bagaimana dengan hak janin? Adakah hak aborsi? Ternyata bagi rezim HAM Eropa, terserah negara masing-masing kalau soal ini, dan boleh saja melegalkan aborsi. Hak berekspresi? Tentu boleh. Tapi cadar dilarang antara lain karena masalah sekulerisme dan identitas? Ternyata tidak mengapa. Memang membingungkan.
Tapi, Indonesia berbeda, dan merupakan salah satu bukti keanekaragaman dalam konsep manusia di bumi. Beda konsep manusia, tentu beda konsep hak asasi manusianya. Universalitas mutlak adalah sesuatu yang sulit diklaim, kecuali mau masuk pada ranah debat teologis. HAM yang dikenal Indonesia adalah HAM yang spiritual-agamis, bukan condong pada hak individu saja, tetapi juga komunal. Allah punya tempat, alam punya tempat, dan manusia adalah bagian dari semesta yang saling bersimbiosis.
Indonesia memiliki Pancasila, UUD 1945 yang sangat agamis, serta masyarakat yang sangat plural. Mayoritas Muslim bermazhab Syafi'iyyah, dan sebagian mazhab ini mewajibkan cadar. Sebagian lain Syafi'iyah atau mazhab lain mensunnahkan atau memubahkan pemakaian cadar. Memang, pendapat yang memubahkan mungkin tidak terlalu pusing ketika ada larangan bercadar.
Tapi rasanya saya seperti mimpi buruk saja. Ternyata di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, yang ingin mempromosikan Islam yang toleran yang katanya berbeda dengan "Islam Arab yang intoleran" (katanya), tiba-tiba ramai dengan berita larangan bercadar. Ternyata, ditambah pula, yang membuat larangan ini ternyata adalah universitas Islam milik negara yang makin hari semakin terkenal karena menggaungkan harusnya bertoleransi antar mazhab dan pendapat yang berbeda.
Saya tidak tertarik memperdebatkan substansi HAM dan cadar terlalu dalam. Rasanya semua orang yang masih berakal sehat mengetahui bahwa walaupun HAM bisa dibatasi antara lain dengan alasan keamanan, cadar tidaklah berhubungan dengan terorisme. Atau cadar adalah radikal? Banyak argumen lain tapi itu lagu lama semua dan barangkali kita sudah bosan.
Tentu bukan ekspektasi yang terlalu jauh bila saya berharap Indonesia tidak mengikuti penafsiran Pengadilan HAM Eropa yang mengatakan larangan bercadar adalah tidak bertentangan HAM. Apalagi, tentu bukan sebuah asumsi yang muluk jika saya mengira bahwa sebuah universitas Islam akan menjadi yang pertama dalam memahami betapa tidak rasionalnya melarang cadar. Tapi kenapa universitas Islam ini malah memilih melakukan ini?
Barangkali memang saya terlalu muluk ekspektasinya. Tapi pikiran saya kembali pada masa-masa di Edinburgh dulu. Pada akhirnya memang Pengadilan HAM Eropa menegaskan bahwa larangan bercadar tidaklah bertentangan dengan HAM. Tapi ternyata malah hanya sedikit negara Eropa yang memilih untuk melarang bercadar. Sebagian besar tetap memberi kebebasan. Barangkali perlu dibuat sinetron berjudul "Larangan yang tertukar".
*Penulis adalah dosen pada Departmen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada