Hubungan antara Islam di Indonesia dan politik modern bisa ditelusuri 'bermula' pada awal abad 18 M. Kala itu, di belahan Barat terjadi revolusi industri dan Revolusi Prancis. Imbasnya tentu saja mengalir ke tanah Hindia Belanda selaku jajahan kongsi dagang Belanda, yakni VOC. Kedua revolusi itu merengut segalanya. Bahkan, revolusi Prancis berhasil mengusir Ratu Belanda mengungsi ke Inggris. Sementara, tanah jajahannya yang 'mahaluas' di Hindia Belanda ikut berpindah tangan dengan hadirnya Gubernur Jenderal Daendels sebagai pihak baru yang berkuasa. Kekuasaan Prancis sempat begitu berdaya, seiring juga dengan tenggelamnya kongsi VOC ke dasar sejarah pada awal tahun 1800.
Tentu saja di Hindia Belanda terjadi berbagai peristiwa besar. Secara perlahan tapi pasti negeri ini masuk ke dalam 'penjajahan model baru' yang bersendikan kapitalisme modal. Dunia pun makin rakus dengan munculnya berbagai penaklukan, mulai dari penaklukan Kerajaan Ternate hingga penaklukan sekaligus peristiwa 'perampokan' akbar Kerajaan Mataram oleh legiun Inggris yang dengan legiun tentara Bengala dan Gurkha-nya.
Peristiwa itu tentu saja mengubah suasana politik, apalagi kemudian muncul Perang Padri hingga Perang Diponegoro. Lalu, hadiah terbesarnya justru jatuh ke tangan Belanda, seiring dengan kemenangannya pada kedua perang itu. Ini karena semenjak 1830, mulailah secara nyata negara Belanda resmi menjajah negara ini: usaha ini dirintis mulai tahun 1800 setelah VOC bangkrut.
Dalam banyak hal, kekuatan politik Islam yang merupakan 'pelawan utama' kaum penjajah kini mulai disingkirkan. Di Kerajaan Mataram, Yogya–seiring dengan hadirnya Tanam Paksa–Belanda memulai kebijakan amputasi penyingkiran Islam dari kekuasaan. Para pangeran dan kaum priyayi tak boleh lagi kawin dengan sanak keluarga para kyai di pesantren. Mereka juga tak boleh menempuh pendidikan di sana. Kenangan menjadi anak pesantren, seperti dilakukan para Sultan Mataram hingga Pujangga Rangawarsita, hanya tinggal kenangan.
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannay di tepisan sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Bukan hanya itu, raja hanya dipakai sebagai lambang budaya karena esensi gerak pemerintahan itu di tangan gubernur jenderal Hindia Belanda melalui tangan 'patih kerajaan'. Semua lambang yang bernuansa 'Islam politik' diberangus. Hanya yang bernilai 'ibadah pribadi' dan budaya agama, seperti Sekatenan, yang kala itu masih dibolehkan. Sultan Mataram sekilas tampak masih eksis, tetapi sebenarnya kekuasaannya sudah dipreteli. Contohnya pada kasus penahanan Pangeran Diponegoro. Meskipun secara nyata Belanda adalah keluar sebagai pemenang, Kesultanan Mataram diharuskan membiayai seluruh biaya kehidupan dari Diponegoro selama hidup dalam penjara. Sultan Mataram seolah hanya berkuasa di bawah pundak lain, yakni dibawah penindasan Belanda.
Ketiadaan Islam politik juga terbukti sangat berperanguh pada perkembangan agama Islam. Kala itu warga yang beragama Islam menjadi warga pinggiran. Kalau ingin menikmati sejumput kekuasaan, mereka harus melepaskan 'baju agamanya' atau minimal tak lagi setaat laizimnya sebagai orang 'putihan' atau santri. Teritori Islam dalam bidang kenegaraan tersudut. Kawasan wilayah kerajaan yang dahulu hanya boleh didirkan masjid, kini menjadi dimasuki pihak lain. Orang Jawa--sekitar 40 tahun-- dari usai perang Jawa mulai muncul pembatisan masal. Padahal, sebelum perang Jawa, VOC pun enggan memasuki wilayah sensitif ini, tetapi kala itu sontak berubah saat arus kekuasaan juga berubah.
Di Jawa, perlawanan kemudian meredup. Ulama dan para haji hanya mampu meletupkan kerusuhan kecil, yang buahnya hanya sekadar pemberontakan kecil layaknya perlawanan Iman Syafi'i di sekitar Pekalongan dan Pemberontakan Petani Banten, atau hingga sekadar ribut di pinggiran Batavia dengan Pitung dan Entong Gendut. Islam tersingkir dari percaturan. Bahkan kemudian menjadi sunyi senyap ketika kaum Muslim memutuskan melakukan 'uzlah' dalam politik kenegaraan.
****
Gairah Islam politik baru muncul kembali ketika kaum santri di Laweyan Solo mulai menggeliat. Di sini ada penyebabnya. Mereka melalakukan gerakan Islam politik karena terpengaruh dari 'Pan Islam' hingga perlawan terhadap dominasi asing. Awalnya memang berasal dari organisasi pendidikan. Namun kemudian berubah menjadi gerakan kongsi dasar melalui Sarekat Dagang Islam. Ada yang mengatakan gerakan ini lebih dahulu dari berdirinya organisasi Priyayi Jawa 'Boedi Oetomo' karena dia mengaku punya akta pendiriannya yang tercantum tahun 1904.
Perlahan tapi pasti 'kesadaran Islam politik' muncul kembali. Saat itu ada rayuan kebijakan dari Snouk Hurgronje agar Islam didekati secara pasif: Islam ibadah dibiarkan, Islam politik dilarang atau diberangus! Target kaum Islam politik bertabrakan dengan cita pemerintah kolonial. Yang satu ingin bentuk negara merdeka atau mandiri, sementara pihak kolonial ingin bentuk negara yang lebih 'soft': semacam Uni Belanda atau pesemakmuran ala Inggris.
Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwingingi, Kendal, Jawa Tengah
Lagi Islam Politik berjalan dan tersingkir sendirian. Tapi letupan kian menyala ketika kemudian berdiri Sarekat Islam yang menjadi pangganti Sarekat Dagang Islam. Ketuanya adalah anak bupati yang santri yakni Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Pergerakan Islam politik yang semula mati kini bangkit lagi. Arahnya jelas mencapai negara bebas dari kolonial. Dan Islam menjadi alat pemersatunya karena alat selain itu --idiologi nasionalisme -- belum tersedia. Berbagai kisah perjuangan masa lalu pun muncul kembali. Poster tentang sosok Pangeran Diponegoro misalnya, yang marak bermunculan. Saat itulah orang awam mulai menyadari siapa sosok Pangeran Yogyakarya yang suka bersurban dan berjubah itu.
Langsung saja Sarikat Islam menyambar ide pemikiran publik dengan menjadi organisasi yang luar biasa besar. Tak hanya orang biasa, para bangsawan dan Raja Kesultanan Mataram baik Solo mapun Jogja mendukungnya baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Untuk raja Pakubuwono X di Solo misalnya merestui putranya untuk menjadi pimpinan Sarekat Islam di Jawa Tengah. Taman Sriwedari pun menjadi ajang aneka pertemuan organisasi masa Islam itu. Sedangkan Sultan Yogyakarta terlihat secara nyata merestui sebagian abdi dalem 'Pametakan (Keputihan)-nya' mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Sultan membiarkan KH Akhmad Dahlan menggerakan organisasi yang pusatnya berada tak jauh dari Istana Raja itu sendiri.
Zaman terus berlalu, Sarekat Islam kemudian pecah dan melemah karena digerogoti unsur komunis yakni anggota SI Merah. SI Merah sempat berkembang namun kemudian layu setelah melakukan kudeta tahun 1927. Dan SI yang asli (akrab disebut juga Sarekat Hejo) berusaha kompromi dengan represi kolonial yang sibuk membentuk parlemen (Volksraad). Para pemimpinnya, seperti Cokro Aminoto dan Agus Salim menjadi anggotanya. Mereka berada di sana untum memanfaatkan sempitnya kesempatan walau mereka tahu bila Volksraad hanya sekedar arena komedi omong sebagai imbas dari politik etis.
Tapi apa boleh buat, Islam politik terus berjalan. Setelah berlanda bertekuk lutut kepada Jepang, para aktvis gerakan Islam menjalin cikal bakal organisasi umat Islam (yang kemudian berubah setelah merdeka menjadi Masyumi). Tak cukup ikut berdebat dan merancang dasar negara melalui rapat BPUPKI mereka beberapa tahun berikutnya menjadikan organisasi para ulama itu menjadi Partai Masyumi. Mereka terang terangan ingin mendirikan negara berdasarkan ajaran agama Islam dan menjadi 'lawan tangguh' dari idelogi nasionalsme yang diusung murid bapak SI, yakni Sukarno.
Rivalitas ide ini berlangsung seru. Mulai bertabrakan secara diametral semenjak masa pembuangan Sukarno di Ende dengan adanya perdebatan ulama asal Bandung A Hassan dengan Sukarno. Atau hingga perdebatan keras di BPUPKI antara kelompok Islam dengan sokongan tokohnya Ki Bagus Hadikusumo dan Wahid Hasyim. Dan juga sebelumnya adanya perdebatan antara M Natsir dan Sukarno tentang Islam dan kemoderenan.
Tapi sekeras apa pun perdebatan itu akhirnya jalan tengah bisa dicapai yakni dengan hadirnya Piagam Jakarta yang didalamnya ada butir lima aturan berbangsa yang kemudian disebut Pancasila. Sesaat, minimal antara tahun 1945-1950, terkesan perbedaan soal Islam politik meredup dengan adanya kesibukan perang kemerdekaan. Namun, perdebatan Islam politik ini muncul kembali pada dekade 1950-an hingga menjelang Pemilu 1955. Bahkan, kemudian semakin seru ketika hadir dalam bentuk pembahasan Badan Konstituante hingga tahun 1959. Sukarno kemudian mengelurkan kebijakan pamungkas berupa Dekrit Presiden.
Pemilu 1955
Setelah 1959, antara gerakan Islam Politik dan kekuasaan seperti terjadi perang dingin. Perpecahan makin keras ketika Sukano membubarkan keanggotaan Badan Konstituante yang angggotanya terpilih melalui ajang pemilu. Antara Islam Politik dan gerakan nasionalis berpisah jalan. Keadaan menjadi semakin akut ketika pecah pemberontakan PRRI dan Permesta. Dan makin seru karena pemainnya bertambah yakni kekuatan PKI dan tentara. Dan kekuatan Islam Politik diberangus habis ketika kemudian timbul penangkapan, ancaman pembubaran organisasi Islam (HMI), hingga penangkapan dan pemenjaraan tanpa pengadilan berbagai tokoh gerakan Islam. Gerakan Islam Politik menjadi layu atau bergerak diam-diam di bawah permukaan dan jauh dari 'sorotan lampu kekuasaan'.